Opini
Konflik Kehampaan Hak: Warga vs Perusahaan Sawit di Indonesia Berdasarkan Pandangan Para Ahli
Oleh: Kiki Sabrina (Mahasiswa Magister Fisipol Universias Gadjah Mada) [email protected]
Konflik permasalahan terkait lahan kelapa sawit semakin menjadi penting. Hal ini dilihat banyak masyarakat yang tidak mendapatkan hak mereka sepenuhnya ketika terjadi permasalahan tentang konflik lahan kelapa sawit. Banyak kasus yang masih belum terselesaikan akibat masih kurang efektif cara penyelesaiannya. Konflik ini hadir di masyarakat disebabkan adanya faktor-faktor penyebab konflik tersebut.
Berdasarkan bacaan penulis, ada tiga faktor utama yang menyebabkan konflik tersebut. Pertama, di Indonesia sendiri masih sangat membatasi penguasaan lahan untuk masyarakat khususnya masyarakat dari pedesaan sehingga masyarakat desa ini, jika ditanya akan kepemilikan tanahnya masih lemah. Kedua, pendistribusian cara keuntungan yang tidak sesuai, di mana masyarakat desa mendapatkan keuntungan lebih sedikit berbeda dengan yang disampaikan di awal saat korporasi masuk.
Ketiga, menyatakan bahwa demokrasi yang ada di Indonesia sebagai penyebab konflik karena dianggap sebagai demokrasi yang oligarki. Hal ini dilihat, karena terdapat banyak politisi di daerah lokal yang memiliki hubungan akrab dengan korporasi kelapa sawit. Sehingga perusahaan kelapa sawit bisa terhindar dalam hukum peraturan masyarakat bahkan tindak protes yang ingin dilakukan masyarakat.
Adapun dibahas alasan terkait masyarakat desa melakukan protes. Protes ini disebabkan adanya keluhan yang dirasakan masyarakat desa. Dalam bacaan ini penulis menemukan ada beberapa keluhan urgent yang dirasakan masyarakat. Pertama, cara perusahaan kelapa sawit mendapatkan lahan masyarakat yaitu tidak ada perizinan dari masyarakat terkait. Kedua, perusahaan masih keliru dalam pembagian hasil keuntungan. Ketiga, perusahaan masih banyak yang melanggar perizinan yang ditentukan.
Namun tidak mudah untuk menyuarakan keluhan-keluhan masyarakat tersebut. Diperlukan sebuah strategi untuk menyampaikan protes tersebut. Dalam bacaan ini ada banyak strategi yang digunakan, tetapi ada dua strategi yang paling sering dilakukan masyarakat yaitu demonstrasi dan pertemuan dengan pemerintah lokalnya. Strategi tersebut juga tidak mudah dijalankan, banyak masyarakat yang mengalami kekerasan oleh aparat keamanan yang disewa perusahaan kelapa sawit.
Merasa strategi di atas kurang efektif, di buku ini dibahas beberapa cara yang efektif dalam menyelesaikan konflik lahan kelapa sawit tersebut. Ada tiga cara yaitu, melalui mekanisme hukum (pengadilan), mekanisme sesuai RSPO dan mekanisme mediasi. Namun untuk mekanisme pengadilan juga masih tidak efektif karena walaupun pihak masyarakat menang dalam pengadilan, perusahan juga tetap berupaya melakukan banding ke pengadilan. Bahkan walaupun sudah diputuskan oleh pengadilan, masih sulit dalam penerapannya.
Hal yang sama untuk mekanisme RSPO, karena jumlah masyarakat yang sangat terbatas yang membuat kegagalan. Untuk mediasi sendiri juga masih dianggap tidak bagitu efektif karena waktu yang dibutuhkan cukup lama dalam pengecekan dan memastikan semuanya.
Tiga cara tersebut dianggap tidak efektif dikarenakan adanya kendala-kendala yang cukup rumit saat dilaksanakan. Beberapa kendalanya yaitu, hukum dalam pengakuan lahan tadi daerah desa masih sangat lemah, adanya kolusi di antara pihak perusahaan dan pemegang kuasa di desa, kepemimpinan di masyarakat masih kurang memadai, ditemukannya gap antara keterampilan dan kapasitas masyarakat desa dalam menghadapi permasalahan kelapa sawit.
Respon penulis setelah membaca konflik permasalahan terkait lahan kelapa sawit yaitu penulis sangat setuju dengan apa yang dituangkan dan dijelaskan didalam buku Kehampaan Hak ini. Mengapa penulis setuju dengan apa yang disampaikan, dilihat sekarang bahwa ternyata konflik tentang kelapa await ini merupakan suatu konflik yang serius di masyarakat. Apalagi dilihat dari sasaran masyarakatnya merupakan masyarakat daerah pedesaan.
Seperti yang dijelaskan di atas masyarakat desa ini kehilangan hak-hak mereka. Di mana salah satu faktor penyebabnya ialah lemahnya hukum di Indonesia terkait kepemilikan lahan bagi masyarakat desa. Sebagai contoh, terjadi kasus yang sama di sekitar tempat tinggal keluarga saya di Penajam.
Buktinya terdapat konflik antara masyarakat lokal dan pihak perusahaan. Masyarakat lokal ini berasal dari kalangan yang pendidikannya masih rendah, tidak adanya pengalaman terkait perebutan lahan. Apalagi yang menjadi lawannya ini adalah perusahaan. Sehingga saat itu warga tersebut mau tidak mau menyerahkan lahannya kepada perusahaan.
Saat itu dia tidak mempunyai cukup bukti untuk menyebutkan bahwa lahan ini miliknya, karena dia juga diwariskan tanahnya oleh orang tuanya. Ditambah desakan oleh salah satu pihak untuk menyerahkan saja lahannya lalu nanti akan diberikan kompensasi daripada tetap berkonflik, dan tidak mendapatkan apa-apa nanti akhirnya. Oleh karena itu, dia terpaksa memberikan lahannya kepada perusahaan, walaupun sempat terjadi adu mulut karena jumlah kompensasi yang dianggap tidak sesuai. Namun karena ketidakberdayaan tersebut mau tidak mau dia tetap menyerahkan lahannya tersebut untuk perusahaan.
Bukti lain yang ditemukan adanya konflik lahan kelapa sawit di Bontang tepatnya di Sagendis bahwa pihak perusahaan telah melakukan kegiatan namun belum memiliki perizinan. Bahkan perusahaan tetap bisa melanjutkan aktivitas proyeknya, walaupun surat keputusan belum kelua (Wahyuni & Susilo, 2023).
Masyarakat juga ingin mengadukan epengadilan namu sayangnya masyarakat tidak memiliki biaya yang cukup untukmembuka kasus di persidangan. Padahal bukti yang dimiliki masyarakat sangat kuat terkait legalitas kepemilikanlahan. Dan pada akhirnya kasus ini selesai secara non litigasi yang dimana berupa suatu perjanjian untuk mengakhiri konflik, namun masyarakat tetap teguh dengan pendiriannya (Wahyuni & Susilo, 2023). Kasus perizinan lahan inilah yang menjadi konflik kantara masyarakat setempat dan pihak perusahaan.
Disebutkan salah satu faktor penyebab dari konflik lahan yaitu karena sistem demokrasi yang digunakan seperti sistem oligarki. Dimana politik oligarki ini terjadi karena adanya pengambilan lahan kelapa sawit ini bisa terjadi karena adanya politik yang bermain di dalamnya. Studi kasus yang terjadi di Karawang mengandalkan pada kekuatan kekuasaan nya untuk mengakuisisi kekayaan suatu daerah tersebut (Gandung Senatama, 2023). Dimana siapa yang mempunyai modal terbanyak (kaya) akan berada atau menjadi berkuasa di lingkup masyarakat tersebut.
Selain itu, oligarki yang dimaksud juga banyak politisi-politisi yang merupakan pengusaha yang kaya yang ingin berkampanye yang memerlukan sumbangan dari orang yang kaya juga (Berenschot et al., 2021). Sehingga seringkali korporasi mendapat izin dari pemerintah lokal karena ujung-ujungnya ada memperoleh imbalan berupa dana yang digunakan untuk kampanyenya. Saya setuju dengan pernyataan tersebut, karena dimana ketika itu terjadi berarti saat ini juga di Indonesia terjadi rezim kekuasaan.
Rezim yang sama seperti masa orde baru yaitu dimana kelompok yang lemah lalu ditindas oleh pemerintah yang memiliki kuasa (Dedy Richi Rizaldy, 2022). Dimana masyarakat desa masih banyak yang tertindas karena lahan kelapa sawitnya dikuasai oleh pihak perusahaan.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Ancam Ruang Hidup Masyarakat Adat, Puluhan Aktivis di Kaltim Tolak Ekspansi Perkebunan PT Puncak Panglima Perkasa di Kukar
- Marak Pencurian TBS, Kepolisian Kaltim Tinjau Ketelusuran Rantai Pasok Sawit
- Alami Sedikit Penurunan, Pemprov Kaltim Tetapkan Harga TBS Sawit Jadi Rp2.656,02 per Kg Juli 2024
- APPKSI Desak Polri Tertibkan Pabrik Kelapa Sawit Tanpa Kebun
- Sawit Tujuannya Memberdayakan