Opini

Menakar Standar Kemiskinan di Balikpapan

Kaltim Today
03 Januari 2020 11:27
Menakar Standar Kemiskinan di Balikpapan

Oleh : Djumriah Lina Johan, (Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam)

Badan Pusat Statistik ( BPS ) Balikpapan melakukan konferensi pers di hadapan awak media dalam rangka penyampaian data angka kemiskinan di Balikpapan. Ahmad Zaini mencatat jumlah masyarakat miskin di Balikpapan mengalami penurunan sepanjang periode 2019.

“Angka masyarakat miskin di Balikpapan menurun menjadi 15.780 orang pada 2019 ini, dari angka sebelumnya yang tercatat mencapai 17 ribu orang pada 2018 lalu,” kata Kepala BPS Balikpapan, Ahmad Zaini dalam keterangan pers bersama awak media, Senin (23/12/2019).

Pada 2019, tingkat kemiskinan Balikpapan kembali menurun dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 15.780 atau dengan presentase 2,42 persen. Tingkat Kedalaman Kemiskinan (P1) sebesar 0,26 dan Tingkat Keparahan Kemiskinan (P2) sebesar 0,06, serta Garis Kemiskinan perkapita perbulan sebesar Rp 572.108.

Di Kalimantan Timur, Balikpapan menempati posisi pertama sebagai kota dengan tingkat kemiskinan terendah. Disusul Samarinda, Bontang, Berau, Kutai Kartanegara, Penajam Paser Utara, Paser, Kutai Timur dan Mahakam Ulu.

“Sedang secara nasional, Balikpapan urutan ke 6 terkecil tingkat kemiskinannya dari 514 kabupaten/kota,” tambahnya. (TribunKaltim.co, Senin, (23/12/2019).

Tentu klaim tersebut menggelitik para pakar dan pemerhati sosial ekonomi Kota Minyak. Sebagaimana diketahui penurunan angka kemiskinan yang disebutkan oleh Kepala BPS yang dibuktikan dengan data BPS di atas sejatinya tidak bisa dijadikan acuan memandang fakta kemiskinan yang sebenarnya. Sebab, perhitungan angka kemiskinan yang digunakan BPS menggunakan standar kemiskinan perkapita bukan data riil yang dikumpulkan oleh pihak yang bersangkutan. Sehingga pendapatan di bawah rata-rata Rp 572.108  per bulan baru bisa dikategorikan keluarga miskin.

Ketika standarnya saja hanya melalui perhitungan rata-rata tentulah akan didapati terjadi penurunan angka kemiskinan namun nyatanya jauh dari fakta riil di lapangan. Siapa yang mampu hidup hanya dengan uang kurang dari Rp 600 ribu ketika biaya hidup semakin mahal? Sehingga wajar jika banyak warga miskin yang memilih untuk bunuh diri secara individu maupun sekeluarga. Karena sulitnya bertahan hidup di negeri ini. Inilah akibatnya apabila menggunakan sistem kapitalisme sekuler untuk mengurusi masalah umat.

Sistem kapitalisme sekuler hanya mementingkan para pemilik modal bukan rakyat. Sehingga tak ada lagi rasa perikemanusiaan melihat sulitnya kehidupan rakyat sekarang. Ditambah dengan semakin banyaknya kebijakan yang justru kian memperberat beban rakyat, semisal kenaikan iuran BPJS, kenaikan TDL listrik, kenaikan iuran air, kenaikan kebutuhan pokok, dan lain-lain.

Hanya Islam yang mampu menyejahterakan rakyat. Bukan hanya melalui perhitungan angka tetapi dengan periayahan langsung. Sebab, Islam memandang bahwa amanah kepemimpinan, pertanggung jawabannya langsung di hadapan Allah, bukan manusia.

Islam memiliki sudut pandang yang khas dalam menilai kemiskinan. Yakni ketika sebuah keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok, berupa sandang, pangan, dan papan. Ketiga hal ini wajib dipenuhi oleh seorang ayah maupun suami, sebagaimana firman Allah di dalam Alquran:

Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang makruf (TQS. Al Baqarah : 233)

Tempatlah mereka (para istri) di tempat tinggal kalian, sesuai dengan kemampuan kalian (TQS. Ath Thalaq : 6).

Dan dalil As Sunnah, Ibnu Majah meriwayatkan hadis dari Abi Al Ahwash ra. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah, bahwa hak mereka atas kalian adalah agar kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan” (HR. Ibnu Majah).

Ketika ayah atau suami tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan primer ini, maka syariah Islam telah merincikan tatacara membantu memenuhi kebutuhan keluarga tersebut. Mulai dari kerabat terdekat yang memiliki hubungan waris. Dimana pewaris yang dimaksud ialah siapa saja yang berhak mendapatkan warisan. Apabila ia tidak mempunyai sanak saudara maupun kerabat maka kewajiban memenuhi kebutuhan nafkah tersebut jatuh kepada negara. Disinilah peran Baitul Mal, pada pos zakat.

Selain itu, negara wajib memberikan jaminan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis. Sehingga tak akan didapati seorangpun hidup miskin pada masa penerapan Islam. Tidak cukup sampai disitu, negara juga wajib membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya demi memudahkan ayah maupun suami untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.

Maka, problem zero kemiskinan akan sangat mungkin terjadi di bawah kepemimpinan Islam. Hal ini pun terbukti di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tak ada seorangpun warga yang berhak mendapat zakat. Itu hanya berarti satu hal, yakni tidak ada rakyat yang hidup miskin. Semua masyarakat hidup dalam kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, serta kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka tidakkah kita sebagai warga Balikpapan juga ingin merasakan kenikmatan hidup diatur dengan hukum Islam? Wallahu a’lam bish shawab.

*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya