Opini
Mengenal Restorative Justice dari Kasus Dugaan Penganiayaan Berat yang Dilakukan oleh Anak Mantan Pejabat
Oleh: Sheila Maulida Fitri, S.H., M.H (Advokat Pemerhati Hukum dan Sistem Peradilan Pidana)
Salah satu topik hangat di jagat pemberitaan Indonesia akhir-akhir ini adalah kasus penganiayaan oleh Mario Dandy (MD) yang merupakan anak mantan pejabat salah satu kementerian. Korbannya D masih berusia 17 tahun. D terluka parah hingga didiagnosa mengalami Diffuse Axonal Injury yaitu keadaan koma yang bertahan selama enam jam atau lebih setelah kejadian cedera otak traumatis yang secara konstruksi hukum masuk kategori luka berat.
Video penganiayaan tersebut juga tersebar luas di jagat media, bahkan sengaja diabadikan dan diduga sengaja diunggah oleh pelaku itu sendiri sehingga publik serta aparat penegak hukum yang bertugas dapat dengan mudah menilai betapa sadisnya penganiayaan yang dilakukan terhadap korban. Saat ini kasus tersebut sudah masuk pada tahap penyidikan dan telah dilimpahkan pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Namun, beberapa waktu lalu muncul wacana penawaran penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice mengingat ada pelaku dan korban yang masih berusia di bawah umur. Wacana tersebut kemudian memicu pertentangan dari berbagai pihak. Lantas apa itu restorative justice (RJ)?
Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana
RJ atau keadilan restoratif merupakan penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula. Hal ini sebagaimana termuat dalam Pasal 1 huruf 3 Peraturan Polri Nomor 8/2021 tentang Peraturan Polri Nomor 8/2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
RJ merupakan alternatif penyelesaian perkara yang berfokus pada pemidanaan, yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak terkait. Prinsip dasar RJ adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Pada awalnya, RJ hanya diterapkan pada kasus anak yang berhadapan dengan hukum melalui diversi hukum yang diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 3/1997 tentang Pengadilan Anak. Namun, seiring dengan perkembangan jaman, RJ kemudian dijadikan alternatif terobosan baru dalam menangani berbagai jenis tindak pidana. Hal ini seiring dengan semangat pembaharuan hukum pidana yang dulunya hanya berorientasi pada penghukuman pelaku, namun nilai itu kini bergeser. Bahwa penegakan hukum pidana juga harus diupayakan untuk memenuhi pemulihan bagi korban dalam bentuk kompensasi, atau pertanggungan biaya yang timbul akibat dari perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku, dll. RJ ini kemudian juga telah diakomodasi dalam KUHP baru yang akan mulai berlaku pada 2026 nanti.
Limitasi Kriteria Penerapan Restorative Justice pada Suatu Tindak Pidana
Meski dinilai sebagai terobosan yang baik dalam sistem peradilan pidana, namun tidak serta merta seluruh jenis tindak pidana dapat ditawarkan atau diterapkan dengan mekanisme RJ. Adapun kriteria tindak pidana yang dapat diselesaikan menggunakan RJ, secara materiil adalah sebagai berikut: Tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat, Tidak berdampak konflik sosial, Tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak radikalisme dan separatism, bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan, bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang.
Sedangkan persyaratan umum pelaksanaan RJ secara formil, meliputi perdamaian dari dua belah pihak yang dibuktikan dengan kesepakatan perdamaian dan ditandatangani oleh para pihak, kecuali untuk tindak pidana Narkotika dan Pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, berupa pengembalian barang, mengganti kerugian, mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana. Dibuktikan dengan surat pernyataan sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani oleh pihak korban (kecuali untuk tindak pidana Narkotika).
Selain itu, secara spesifik hal ini juga diatur dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15/2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dimana syarat RJ adalah: tindak Pidana yang baru pertama kali dilakukan kerugian di bawah Rp 2,5 juta, adanya kesepakatan antara pelaku dan korban, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun, tersangka mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban, tersangka mengganti kerugian korban, tersangka mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan/atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana.
Penolakan Wacana Restorative Justice dalam Kasus Penganiayaan Berat oleh Anak Mantan Pejabat
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa istilah RJ menjadi semakin terkemuka sejak adanya kasus penganiayaan tersebut. Statement penawaran RJ oleh Kejati DKI Jakarta banyak menuai penolakan dari berbagai pihak. Adapun penolakan tersebut memang didasarkan pada kajian secara teoritis dan hukum positif, kasus tersebut tidak memenuhi kriteria untuk diselesaikan dengan mekanisme RJ, hal ini dikarenakan pasal yang disangkakan kepada pelaku Mario Dandy (MD) adalah Pasal 355 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) subsider Pasal 354 Ayat (1) KUHP lebih subsider Pasal 353 Ayat (2) KUHP lebih subsider Pasal 351 Ayat (2) KUHP dan atau Pasal 76c juncto Pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. Sehingga tidak memenuhi kriteria tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
Selain itu, kasus ini juga justru menjadi gerbag terbukanya kasus pidana lain yang sangat besar seperti adanya dugaan korupsi dan/atau pencucia uang yang dilakukan oleh orang tua pelaku, dll. Maka sudah tepat kiranya bahwa penyelesaian melalui RJ tidak tepat jika diterapkan pada kasus dugaan penganiyaan berat yang dilakukan oleh MD ini.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Warga Loa Kulu Jadi Korban Penganiayaan di Kantor Desa Jembayan Dalam
- Sakit Hati karena Diselingkuhi, Pemuda di Berau Aniaya Pacar
- Kejari PPU Tempuh Keadilan Restoratif terhadap Kasus Penganiayaan
- Mobil Ditabrak Sopir Angkot, Warga Km 9 Malah Dianiaya
- Aniaya 3 Santrinya Pakai Rotan, Guru Ponpes di Samarinda Terancam Penjara 3 Tahun 6 Bulan