Opini

Menyikapi Raperda Minuman Beralkohol: Dilema PAD dan Dampak Sosial

Kaltim Today
14 November 2025 08:03
Menyikapi Raperda Minuman Beralkohol: Dilema PAD dan Dampak Sosial
Penulis, Djumriah Lina Johan.

Oleh: Djumriah Lina Johan (Peneliti di Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

RANCANGAN Peraturan Daerah (Raperda) tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol (Minol) sedang digodok di Kabupaten Paser. Regulasi ini dianggap penting karena dapat memberikan nilai ekonomis bagi daerah dan mengatasi maraknya peredaran ilegal akibat belum adanya payung hukum yang mengikat.

Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Paser, Zulfikar Yusliskatin, menyampaikan bahwa digodoknya Raperda tersebut berpotensi memberikan kontribusi signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kendati demikian, peningkatan PAD bukanlah satu-satunya tujuan dari produk hukum yang sudah masuk tahap pembahasan naskah akademik ini.

"Pengawasan harus tetap diarahkan agar penjualan minuman beralkohol tidak menyasar kalangan remaja, maupun dilakukan di area yang dilarang. Perda ini bukan hanya membatasi, tapi juga mengatur mekanisme pengawasan agar penjualan minuman beralkohol tidak salah sasaran," tambahnya.

Regulasi tersebut, sambung Zulfikar, juga sangat penting dalam konteks posisi strategis Kabupaten Paser yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota Nusantara (IKN). Ia menilai, arus investasi dan peluang usaha di sektor hiburan malam akan meningkat seiring dengan perkembangan IKN, sehingga membutuhkan payung hukum yang jelas.

Dampak Sosial dan Dilema Pendapatan

Minuman beralkohol sering disebut sebagai induk segala keburukan (ummul khabaits). Ketika seseorang berada di bawah pengaruhnya, ia berpotensi besar melakukan berbagai kemaksiatan dan kejahatan. Berdasarkan data Polri tahun 2020, tercatat 276 kasus kecelakaan yang korbannya terindikasi menenggak miras, serta 233 kasus tindak pidana—mulai dari perkosaan hingga perkelahian—yang dipicu oleh miras. Data ini menjadi cerminan nyata bahwa konsumsi Minol berdampak langsung pada keamanan dan ketertiban masyarakat.

Namun, sayangnya, pemerintah daerah maupun pusat seolah menutup mata terhadap dampak buruk ini. Minol tetap dilegalkan dan diatur karena pertimbangan ekonomi. Industri Minol menyumbang pendapatan negara dalam bentuk cukai. Sebagai contoh, penerimaan cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) secara nasional mencapai sekitar Rp6,11 triliun pada tahun 2021. Angka triliunan ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal masih menempatkan Minol sebagai komoditas penyumbang signifikan, menciptakan dilema moral dan pendapatan.

Dalam sistem yang berorientasi pada keuntungan materi, standar halal-haram tidak akan menjadi standar baku dalam menilai sesuatu, termasuk miras. Standar yang berlaku seringkali hanyalah manfaat atau keuntungan materi. Inilah yang menjadi kritik utama bagi setiap upaya legalisasi atau regulasi Minol.

Mencari Standar Kebaikan Sejati

Manusia pada dasarnya tidak memiliki kemampuan penuh untuk menentukan hal-hal yang baik atau buruk secara hakiki bagi dirinya sendiri. Mereka membutuhkan seperangkat aturan dan pemahaman untuk mengarahkan diri menuju kebaikan yang sejati. Allah SWT berfirman, Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.(TQS al-Baqarah [2]: 216).

Tanpa bimbingan yang bersumber dari Al-Khaliq, manusia cenderung hanya akan mengikuti hawa nafsunya. Padahal, Andai kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti rusaklah langit dan bumi serta siapa saja yang ada di dalamnya. (TQS al-Mu’minun [23]: 71).

Bagi mayoritas penduduk Indonesia, yang beragama Islam, standar yang bersifat pasti untuk menilai baik-buruknya sesuatu adalah halal dan haram. Sesuatu yang menurut Islam haram, pasti buruk (syarr), tanpa melihat lagi apakah sesuatu itu bermanfaat ataukah mendatangkan madarat menurut pandangan materialistik manusia.

Dengan standar ini, status hukum miras/minol seharusnya dikembalikan pada penilaian syariah. Memproduksi, mengedarkan, menjual, dan mengkonsumsi Minol jelas haram. Minol terkategori buruk (syarr) serta pasti mendatangkan bahaya (dharar), sebagaimana ditegaskan, Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian mendapat keberuntungan. (TQS al-Maidah [5]: 90).

Prioritas Kebijakan Publik

Dalam konteks kebijakan publik, negara seharusnya memprioritaskan keselamatan moral dan sosial di atas kepentingan ekonomi. Regulasi yang bertujuan mencari keuntungan dari Minol tidak hanya menciptakan dilema moral, tetapi juga mengabaikan biaya sosial dan kesehatan yang jauh lebih besar.

Terdapat beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan:

  • Pencegahan Total: Perlunya jaminan bahwa seluruh aspek produksi dan distribusi Minol di masyarakat dilarang, selaras dengan norma agama yang dianut mayoritas masyarakat, dan bukan hanya sekadar dikontrol.
  • Sanksi Efek Jera: Penguatan mekanisme sanksi yang tegas dan benar-benar memberikan efek jera bagi para pelaku, baik produsen, penjual, maupun peminum, bukan sekadar denda administratif yang ringan.
  • Kebijakan Fiskal: Kebijakan fiskal yang tidak menjadikan komoditas haram sebagai sandaran utama pendapatan negara, sehingga menghindarkan pemerintah dari dilema moral.

Pemerintah dan seluruh rakyat wajib menetapkan baik dan buruk, serta boleh dan tidaknya sesuatu beredar di tengah masyarakat, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan publik yang selaras dengan nilai moral dan agama. Apabila Allah Taala menetapkan sesuatu itu haram, pasti ia akan menimbulkan bahaya dalam kehidupan masyarakat, termasuk miras.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab. (*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya