Opini

Napi Bebas Akankah Kriminalitas Kembali Meluas?

Kaltim Today
17 April 2020 09:18
Napi Bebas Akankah Kriminalitas Kembali Meluas?

Oleh: Syarifa Ashillah (Aktivis Muslimah Penajam dan Pemerhati Politik dan Sosial)

Di tengah pandemi Corona, sudah 35 ribu lebih narapidana yang bebas dengan program asimilasi dan integrasi Kemenkumham Yasonna berdasarkan  Permenkum HAM Nomor 10/2020 dan Keputusan Menkum HAM Nomor 19.PK.01.04/2020. Pembebasan dilakukan karena lapas yang over kapasitas sehingga sulit melakukan sosial distancing.

Meski demikian pembebasan besar-besaran tersebut menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat. Sebab, napi yang dibebaskan dikhawatirkan kembali berulah. Rupanya ketakutan itu pun benar. Contohnya seorang napi mendapat asimilasi pada 6 April Lapas Kelas IIA Pontianak berinisial GR, berusia 23 tahun. Dia bersama dua tersangka lain, MT dan ES, mencuri ponsel. GR tak hanya beraksi sekali, tapi setidaknya sudah empat kali setelah bebas (tirto.id). Dan masih banyak kasus lainnya.

Tim riset Tirto mencatat, ada tujuh berita soal narapidana bertindak kriminal usai bebas karena program asimilasi. Kejadian tersebut berlangsung dari 7-9 April 2020, dengan berbagai macam kasus seperti pencurian, kurir ganja, penjambretan, dan mengamuk.

Saat ini masyarakat tak hanya dirisaukan dengan penyebaran Covid-19, masyarakat juga harus mawas diri dari aksi kriminalitas. Karena kondisi ekonomi yang sulit di tengah wabah Corona, kebutuhan serba mahal, PHK, pekerjaan tidak ada, ini adalah salah satu faktor kriminologi tinggi. Maka tak heran sejumlah napi kembali nekat berulah.

Pembebasan napi memang perlu kajian mendalam, karena kondisi napi yang terisolasi dari dunia luar seharusnya lebih aman ketimbang harus berinteraksi dengan banyak orang di luar lapas. Hal ini dibenarkan oleh Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto. Dia menilai beberapa kejadian ini adalah buah dari kebijakan yang konyol.

Memang perlu memikirkan aspek kemanusiaan terhadap narapidana, tapi apa yang dilakukan residivis malah tak manusiawi. Jadi juga harus melihat faktor keamanan yang dirasakan masyarakat. Jangan sampai kebijakan ini berbuah masalah baru yaitu tingginya aksi kriminalitas di tengah-tengah masyarakat. Sehingga solusi pembebasan napi adalah solusi tambal sulam. Ini membuktikan sistem pemidanaan Indonesia gagal, padahal pemidanaan dalam rangka membuat efek jera, belum lagi program asimilasi tidak dibarengi dengan sistem kontrol para napi hanya sekedar pembebasan untuk melepas tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan warga binaan. Negara mengklaim telah berhemat hingga Rp 260 miliar (Republika).

Berbeda dengan Islam yang merupakan pandangan hidup punya cara yang khas dalam sistem sanksi. Sanksi di dalam Islam bersifat zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Maka Islam menerapkan konsep pencegahan seperti, perzinaan dicegah dengan aturan larangan mendekati zina (QS. Al Isra’: 32), berpakaian menutup aurat (QS. Al Ahzab: 59), larangan khalwat (berduaan) dan ikhtilat (campur baur). Bidang Ekonomi, baik mikro maupun makro terbabas dari riba (Al Baqarah: 275).

Jika aturan-aturan tersebut dilanggar maka dijatuhi sanksi tegas, misal pelaku zina yang akan menimbulkan efek jera bagi pelaku yaitu hukuman rajam atau cambuk (QS. An Nuur:2), pencuri dihukum potong tangan (QS. Al Maidah: 38), pembunuhan di qishas (dihukum dengan serupa apa yang ia lakukan) ( Q.S. Al-Baqarah:178-179) dan segala macam penyebab kerusakan (QS. Al Maidah: 33).

Sedang saat ini salah satu alasan kriminalitas tinggi karena impitan ekonomi dan sulitnya lapangan pekerjaan. Ini juga adalah salah satu alasan dari rentetan masalah yang dialami Indonesia seperti kemiskinan, gizi buruk, KDRT, putus sekolah dan masalah lainnya. Mengapa ini terjadi padahal jika ditelisik, kekayaan alam negeri ini melimpah ruah namun kondisi rakyat memprihatinkan. Lebih dari setengah dari jumlah penduduk Indonesia terkategori miskin dan terancam miskin itu pun dengan standar pendapatan per kapita yang ditetapkan masih kecil.

Ternyata kekayaan alam Indonesia telah dikangkangi oleh para kapital, seperti Freeport, Chevron, blok Mahakam, Natuna dan lainnya. Padahal dalam Islam, penguasaan seperti itu adalah sebuah keharaman karena SDA merupakan milik umum (rakyat) yang haram dikuasai/dimonopoli oleh perorangan maupun perusahaan. Harusnya negara yang mengelola dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk kesejahteraan rakyat, seperti menyediakan lapangan kerja, pendidikan dan kesehatan gratis atau dalam bentuk lainnya.

Apa yang terjadi dengan sistem perekonomian Indonesia yang memberikan kebebasan penuh bagi tiap orang/swasta untuk mengendalikan kegiatan ekonomi seperti perdagangan, industri, dan alat-alat produksi dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Sedang tugas pemerintah hanya sebagai pengawas dan regulator  ini membuktikan Indonesia telah menerapkan sistem Kapitalisme. Maka wajar rakyat terus menjadi korban karena mereka hanya diperas untuk menggenjot pemasukan negara melalui pajak, sedang kesehatan dan pendidikan harus mereka usahakan sendiri.

Berbeda dengan Islam, Islam memiliki prinsip ekonomi yaitu pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan adalah kebutuhan dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh negara rakyat untuk mencegah konflik. Maka Daulah harus memiliki dana yang cukup. Daulah memiliki lembaga keuangan negara yang di sebut Baitul mal, yang sumber pemasukannya dari pengelolaan SDA yang benar berdasarkan tuntunan Rasulullah "kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, api dan air (HR. Abu Daud dan Ahmad)" menjadikan SDA. Di tambah pos-pos yang lain seperti kharaj dan fai'.

Semua warga negara tunduk pada aturan untuk mencegah kerusakan dan tunduk pada sanksi yang ditetapkan karena dorongan keimanan, begitu pun kepala negara dan pejabat menjalankan amanah kepemimpinan karena ketakwaan kepada Allah.

Maka untuk mendapatkan negara yang menjamin kesejahteraan dan kenyamanan tak dapat berharap pada negeri yang menerapkan sistem kapitalisme. Saatnya kita menengok pada sistem yang menerapkan aturan sesuai dengan ketentuan Allah SWT yaitu sistem Islam yang diterapkan dalam negara.(*)

*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya