Advertorial
Wamenhumkam Eddy Hiariej Sampaikan KUHP Nasional Berorientasi dengan Hukum Pidana Modern
Kaltimtoday.co, Samarinda - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej atau akrab disapa Eddy itu datang langsung ke Unmul dalam kegiatan "Kumham Goes to Campus 2023". Sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah salah satu fokus pembahasan.
"Setelah KUHP selesai disahkan, Pak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengarahkan agar sosialisasinya bisa dilakukan ke kampus-kampus," ungkap Eddy, Kamis (8/6/2023) di Gedung Auditorium Unmul.
Diketahui, Rancangan Undang-Undang KUHP resmi disahkan menjadi UU oleh DPR RI pada 6 Desember 2022 dan diundangkan pada 2 Januari 2023. Oleh sebab itu, UU KUHP atau KUHP Nasional ini akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026.
"KUHP Nasional ini bukan barang atau benda yang tiba-tiba turun dari langit. Tapi ini melalui proses panjang mulai 1958 sampai 2022," sambung Eddy di hadapan para civitas akademika Unmul.
Dia memastikan, KUHP Nasional adalah UU yang paling lama digodok. Tidak ada satu pun UU di Indonesia yang digodok lebih dari 60 tahun.
Ada alasan mengapa KUHP Nasional membutuhkan waktu yang lama untuk disusun. Eddy mengakui, menyusun KUHP Nasional di negara yang multietnis, multireligi, dan multi-culture seperti Indonesia sangatlah tidak mudah.
"Jangankan antara masyarakat, pemerintah, dan DPR. Kami di antara 14 orang tim ahli KUHP berdebat untuk 1 pasal itu bukan 1-2 jam. Bisa berhari-hari bahkan berminggu-minggu," ujar Eddy lagi.
Namun ketika KUHP Nasional sudah disepakati bersama, maka pihaknya konsisten mempertahankan itu . Di sisi lain, dia menyadari bahwa KUHP yang disusun bukan KUHP yang sempurna.
"Tidak mungkin apa yang sudah kami tulis itu bisa memuaskan semua masyarakat," lanjut Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di Universitas Gajah Mada (UGM) itu.
Setiap isu yang pihaknya sampaikan di dalam KUHP Nasional itu, mesti menimbulkan kontroversi. Oleh sebab itu, pihaknya mencari jalan tengah. Di dalam KUHP Nasional, ada visi dan misi.
Dia menegaskan, KUHP tersebut tak lagi berorientasi terhadap keadilan retributif yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam. Eddy menyebut, jika menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam, kasihan mereka yang bekerja di lapas.
"Kami sadari betul, tidak mudah untuk mengubah pola pikir dan paradigma masyarakat. Termasuk saya, aparat penegak hukum dan kita semua yang ada di sini," tambahnya.
Dia mencontohkan, misal ada seseorang yang menjadi korban kejahatan, tentu yang diinginkan korban adalah agar pelaku bisa segera ditangkap, ditahan, dan dihukum seberat-beratnya.
"Di KUHP baru sudah tidak ada lagi seperti itu. Sanksi pidana yang ada di dalam KUHP Nasional itu hampir selalu dialternatifkan antara penjara atau denda," bebernya.
Hal itu terjadi, karena salah satu visi dari KUHP Nasional adalah mencegah untuk penjatuhan pidana dalam waktu singkat. Sehingga nantinya, hakim tidak lagi memutuskan seseorang 1, 2, 3, 4 atau 5 tahun penjara.
"Jadi kalau hakim mau menjatuhkan pidana penjara di atas 5 tahun. Sebab kita tidak lagi menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam," sambung Eddy.
Eddy menegaskan, visi KUHP Nasional berorientasi pada paradigma hukum pidana modern yang sudah berlaku lebih dari 4 dasawarsa di belahan dunia lain. Di satu sisi, Eddy mengungkapkan bahwa hukum pidana Indonesia sudah ketinggalan lebih dari 40 tahun.
Dia menambahkan, orientasi hukum pidana modern adalah keadilan korektif, yaitu pelaku dikenakan sanksi. Di KUHP Nasional, sanksi bisa berupa pidana atau tindakan, bergantung pada putusan hakim.
Kemudian, ada keadilan restoratif yakni pemulihan terhadap korban dan keadilan rehabilitatif yang berarti pelaku kejahatan tidak hanya dikoreksi tapi juga diperbaiki.
"Ini visi yang harus dipahami dulu. Penjara itu overkapasitas lebih dari 100 ribu. Daya tampung kita 160 ribu, jumlah narapidana itu 270 ribu," paparnya.
Oleh sebab itu, sistem tersebut harus diubah karena tidak akan selesai jika memenjarakan semua orang yang salah. Menurut Eddy, tidak semua orang yang ada di lapas itu buruk dan tidak semua orang yang berada di luar lapas itu baik.
"KUHP Nasional yang dibentuk itu sudah in line dengan UU Pemasyarakatan. Itu satu paket. Orientasinya sama, ke hukum pidana modern," ujarnya lagi.
Dia menyebut, ada lima misi pembaharuan hukum yang diusung dalam KUHP Nasional, yakni dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, harmonisasi, dan modernisasi.
Dekolonialisasi adalah upaya menghilangkan nuansa kolonial, yaitu mewujudkan keadilan korektif, rehabilitatif, restoratif, tujuan dan pedoman pemidanaan, serta memuat alternatif sanksi pidana.
Kemudian demokratisasi yakni pendemokrasian rumusan pasal tindak pidana dalam KUHP sesuai konstitusi dan pertimbangan hukum dari putusan MK atas pengujian pasal-pasal KUHP terkait.
Selanjutnya ada konsolidasi yakni penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan rekodifikasi. Lalu harmonisasi yaitu bentuk adaptasi dan keselarasan dalam merespons perkembangan hukum terkini, tanpa mengesampingkan hukum yang hidup (living law).
Terakhir, ada modernisasi yakni merujuk pada filosofi pembalasan klasik yang berorientasi kepada perbuatan semata-mata dengan filosofi integratif yang memperhatikan aspek perbuatan, pelaku, dan korban kejahatan.
[RWT | ADV KEMENKUMHAM]
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- BEM KM Unmul Minta Paslon di Pilgub Kaltim Jangan Balas Kritik dengan Lapor Polisi
- Pengaruh Black Campaign dan Negative Campaign di Pilgub Kaltim, Pengamat: Potensi Blunder dan Berbalik Arah Dukungan
- Komitmen Demokrasi, Rektor Beri Kesempatan Sama kepada Rudy Mas'ud dan Isran Noor untuk Beri Kuliah Umum di Unmul
- Beri Kuliah Umum di Unmul, Hilmar Farid Ajak Generasi Muda Bangun Ekosistem Kebudayaan Nusantara
- Dirjen Kebudayaan Beri Kuliah Umum di UNMUL, Bangun IKN sebagai Suluh Kebudayaan Nasional