Opini
Narasi Kota yang Timpang: Mengapa Balikpapan Butuh Ruang Sastra Inklusif
Oleh: Annisa Khaerani (Pemerhati Literasi Kalimantan Timur)
BALIKPAPAN adalah kota yang bergerak cepat. Pembangunan meluas, ruang-ruang publik bertambah, dan arus manusia terus bertambah seiring statusnya sebagai gerbang IKN. Namun, di tengah perkembangan fisik itu, ada denyut kebudayaan yang tetap hidup; pelan, bersahaja, tetapi konsisten: sastra. Kita melihat diskusi buku yang aktif, kegiatan perpustakaan daerah, serta komunitas akar rumput yang menjalankan obrolan literasi. Namun, bila dicermati lebih dekat, ruang tersebut masih terfragmentasi dan cenderung top-down. Banyak kegiatan berlangsung formal, dan forum kreatif yang mapan biasanya hanya dihadiri mereka yang sudah memiliki jejaring atau terbiasa tampil.
Akibatnya, warga Balikpapan yang sangat antusias terhadap literasi—terbukti dari selalu penuhnya acara ketika ada penulis nasional datang—sering kali hanya berhenti sebagai penikmat. Kita membaca, tetapi tidak selalu terdorong untuk mulai menulis. Padahal, kota yang berkembang pesat juga membutuhkan perkembangan pada narasi, refleksi, dan ekspresi warganya. Ruang sastra adalah salah satu cara sebuah kota memahami dirinya sendiri.
Salah satu kelompok yang paling sering tersisih dari ruang kreatif adalah perempuan. Bukan karena mereka tidak berminat, tetapi karena banyak ruang belum mengakomodasi kebutuhan dan tantangan yang mereka hadapi. Dalam beberapa forum, perempuan datang sebagai minoritas. Panel pembicara masih didominasi laki-laki, dan suasananya tidak selalu ramah. Ada ruang yang penuh asap rokok, kegiatan yang berlangsung terlalu larut, fasilitas yang tidak nyaman, atau kultur yang meremehkan pengalaman perempuan sebagai sesuatu yang “tidak cukup besar” untuk dibicarakan. Melihat kondisi seperti itu, kehadiran saja sudah sulit, apalagi untuk tampil dan berkarya.
Pengalaman mengadakan Workshop Puisi Perempuan pada 15 November lalu, yang saya selenggarakan bersama Balikpapan Women’s Book Club, memberi gambaran jelas tentang pentingnya ruang alternatif yang lebih aman dan inklusif. Acara tersebut kami buat dalam format sederhana: lingkaran kecil, tanpa penokohan, dan tanpa tekanan untuk tampil sempurna. Justru kesederhanaan itu menciptakan ruang yang selama ini jarang tersedia.
Sebagian peserta datang dengan keraguan. Ada yang merasa belum cukup memahami teori sastra, ada yang takut puisinya dianggap terlalu sederhana, ada pula yang pernah berada di ruang yang menertawakan pengalaman perempuan sebagai terlalu domestik atau intim. Padahal, pengalaman itulah yang sebetulnya menjadi inti keberagaman perspektif dalam sastra. Ketika perempuan berbicara tentang pengalaman menjadi ibu, pekerja, mahasiswa, atau warga kota, pengalaman itu bukan hal kecil. Ia adalah cermin sosial, bagian dari sejarah kultural, dan komentar terhadap realitas yang dihadapi sehari-hari.
Ketika ruang yang aman itu tersedia, hasilnya signifikan. Ada peserta yang membaca puisi lama yang ia simpan bertahun-tahun karena selalu merasa belum layak tampil. Ada pula yang puisinya sudah beberapa kali dimuat di media, tetapi baru kali ini berani membacakan puisinya langsung di depan publik. Keberanian itu tumbuh pelan-pelan, dipupuk oleh keberanian orang di sebelahnya. Suasana yang tercipta hangat dan egaliter. Tidak ada penilaian, tidak ada standar yang membebani, dan tidak ada hirarki "senior-junior". Setelah kegiatan, hampir semua peserta menyatakan keinginan agar forum semacam ini diadakan lebih rutin karena merasa menemukan ruang yang bukan hanya memfasilitasi karya, tetapi juga membangun solidaritas.
Model ruang seperti ini mudah direplikasi. Ia tidak membutuhkan panggung megah atau anggaran besar, hanya membutuhkan kesadaran untuk menyediakan ruang aman, fasilitator yang peka, dan komitmen untuk tidak meremehkan suara siapa pun. Formatnya bisa diadaptasi oleh perpustakaan, taman baca, sekolah, organisasi, bahkan ruang-ruang publik.
Pada titik ini, kita perlu mengajukan pertanyaan: mengapa Balikpapan membutuhkan ruang perjumpaan sastra yang inklusif? Jawabannya sederhana: sastra membantu kita melihat diri sendiri. Kota ini sedang berubah cepat, dan perubahan cepat membutuhkan ruang refleksi yang tidak kalah banyak. Pengalaman perempuan yang selama ini tersisih adalah bagian penting dari narasi kota. Jika ruang yang ada tidak memberi tempat pada perspektif itu, maka cerita tentang Balikpapan akan selalu timpang.
Sastra memungkinkan warga berbicara tentang hal-hal yang jarang mendapat tempat: tekanan sosial, ketidakadilan kecil yang terjadi sehari-hari, persoalan kerja pengasuhan, pengalaman tubuh perempuan, hingga kerinduan dan kehilangan yang membentuk kita sebagai individu. Ketika perempuan diberi ruang untuk menulis, kota ini mendapatkan lebih dari sekadar puisi; kita mendapatkan cara baru untuk memahami diri.
Ke depannya, saya membayangkan ruang sastra Balikpapan yang saling terhubung. Kolaborasi antara pemusik, teater, komunitas baca, organisasi, dan lembaga pendidikan bisa memperkaya ekosistem. Hal-hal kecil seperti mentoring rutin, forum-forum kecil, dan diskusi tematik bisa menjaga ruang ini tetap hidup. Kota yang terbiasa mendengar warganya akan tumbuh lebih manusiawi. Ruang sastra yang inklusif adalah salah satu jalan untuk mencapainya. Melalui workshopsederhana kemarin, saya melihat satu hal penting: keberanian itu menular. Jika satu ruang kecil bisa menyalakan api itu, bayangkan apa yang bisa terjadi jika ruang semacam ini tumbuh di seluruh Balikpapan. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Wabup Gamalis Dorong Event Pariwisata Berau untuk Tingkatkan Kunjungan Wisatawan
- Wabup Gamalis Ajak Berbagai Pihak Awasi Harga Pangan, Jika Meroket Segera Laporkan
- Bukan Sekadar Formalitas, Bupati Berau Tegaskan Komitmen Tekan Angka Stunting
- Peringati Hari Anak Nasional, Pemkab Kukar Tegaskan Komitmen Lindungi Kelompok Rentan
- Gubuk Liar di Median Jalan Ringroad 3 Dibongkar, Satpol PP Sebut Warga Enggan ke Panti Sosial








