Opini

Nasib Demokrasi dan Gramatika Politik Baru  

Kaltim Today
11 November 2023 10:56
Nasib Demokrasi dan Gramatika Politik Baru   

Oleh: Nasrullah Mappatang (Dosen FIB Unmul dan Mahasiswa Doktoral University of Malaya)

Hari-hari terakhir, keriuhan pemilihan umum makin terasa. Bising sana bising sini tak terhindarkan. Riuh rendah, suara gaduh mendengung di mana-mana. Demokrasi belakangan tak ubahnya seperti atraksi topeng monyet di pasar-pasar malam. Transaksi juga terang benderang dipertontonkan di situ. Mirip betul pasar malam. Bising sangat. 

Media-media juga, terutama media televisi dan media sosial tak kalah bisingnya. Selain bias kepentingan yang berlebih, media - media juga seperti sengaja membisingkan keadaan. “Bising is beautiful”, nampaknya menjadi ideologi media hari ini. “Tak bising, tak ramai”, boleh jadi merupakan tujuan. Menyedihkan sekali. 

Hari - hari terakhir menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia kian menua. Bukan hanya usia para calon yang tua - tua, tapi ide dan gagasan serta kelakuannya tak ubahnya merupakan tata bahasa lama. Gramatika politik para calon, berikut penyokongnya, kelihatan sekali, merupakan gramatika politik lama. Gramatika ini ditandai dengan suburnya kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok kepentingan berbasis “hierarki material” (baca: kekayaan). 

Gramatika politik baru, yang berlawanan dengan gramatika politik tua adalah pemikiran milik filsuf Jurgen Habermas. Habermas bilang kalau laku politik lama menghasilkan tata bahasa yang juga tua. Tandanya, dia bicara melulu tentang kuasa, uang, jabatan, namun tetap “atas nama rakyat”. Padahal, rakyat juga tahu, bahwa dia juga diatasnamakan saja. Begitu juga kaum muda, mereka sadar betul, kaumnya diklaim dan ditunggangi semata. 

Perlawanan rakyat dan kaum muda terhadap “klaim” dan “peng-atas nama-an” mereka adalah penanda harapan hadirnya “gramatika politik baru”. Di dalam tata bahasa ini, isu dan cita - cita tentang kesetaraan, keberlanjutan, dan keadilan tak hanya dibincangkan, namun, diperjuangkan. Olehnya, mereka yang hanya bicara dan terbaca sebagai pembawa kepentingan kuasa, tahta, dan keluarga semata, menyebabkan “rasa muak” tak terhindarkan. 

Ada yang bilang, bahwa kondisi “muak” itu adalah tanda kematangan “rasa kecewa” rakyat banyak dan kaum muda. Bagaimanapun 60% kaum muda di Republik ini, bukan tak mungkin dimanipulasi oleh pembawa “laku politik tua”. Pelakunya tak harus benar - benar tua, akan tetapi, yang muda pun boleh jadi pelayan dan pelaksana “gramatika politik tua” ini. Dari situ, “gramatika politik baru” menghadapi ancaman. 

Gramatika politik baru adalah harapan ketika gramatika politik tua atau tata bahasa politik lama mengalami “pembusukan”. Kebusukan itu, muncul bak hantu - hantu jahat yang keluar dari kotak pandora. Sekali keluar kotak dan menyebarkan bau busuk, tak terkendali lagi oleh pemilik kunci kotak pandora. Jika kotak pandora itu ibarat istana, maka bau busuk itu tak dapat lagi dikendalikan penjaga istananya begitu dia keluar secara tiba - tiba. 

Gramatika politik baru ialah suatu jalan ketika sisi gelap demokrasi makin ditunjukkan oleh “pelakon - pelakon politik lama”. Sisi gelap ini boleh jadi karena laku penunggang gelap demokrasi berwujud oligarki, mafia-isme, perkoncoan (baca: nepotisme), rasuah berjamaah, dan percobaan laku politik “dinasti”. Laku - laku itulah yang menyebarkan “bau busuk demokrasi”. Dimana, hawa - hawa dan rasa - rasanya makin menyengat akhir - akhir ini. 

Rakyat kebanyakan yang tercerahkan, dan kaum muda yang berpikiran maju lagi berani, adalah harapan akan gramatika politik baru. Hal - hal yang menjemukan dari gramatika politik lama belakangan diteriakkan dengan nada kencang dengan hastag #kamimuak. Rasa muak, oleh kaum muda dan rakyat kebanyakan tak terbendung. Boleh jadi, karena memang “bau busuk demokrasi” semakin menusuk hidung “kewarasan”. Maka yang waras menjadi sadar, dan yang sadar lagi berani tak kuasa menahan laju arus perubahan. 

Laku politik baru yang beriringan dengan tata bahasa (gramatika) politik baru adalah jalan perubahan bagi pemilik cita - cita kesetaraan, keberlanjutan, dan keadilan. Kaum muda 60% dari 280 juta penduduk Indonesia sering disanjung dengan wacana “bonus demografi”. Namun, akankah itu bisa wujud dalam laku politik tua yang semakin “ekstraktif” lagi “eksklusif”? Rasanya sulit, bukan? 

Jika laku politik baru menghadapi tantangan dengan hadirnya laku politik yang semakin ekstraktif, eksklusif, dan cenderung dinastik, akankah demokrasi Indonesia di hari - hari depan akan mengalami “pembusukan” yang makin akut? 

Ataukah, adakah harapan akan bergantinya musim demokrasi Indonesia dari yang tua, lama, dan membusuk, ke arah demokrasi yang dihiasi dengan laku politik baru yang lebih manusiawi, inklusif, lagi transformatif? 

Pada akhirnya, patutlah kita bertanya, hendak kemanakah arah demokrasi kita? Akan terus menua lalu makin membusuk atau ada jalan lain menuju tata bahasa demokrasi yang berkeadaban baru?(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.



Berita Lainnya