PPU
Penyakit Pernapasan Meningkat di Wilayah IKN
DIKEBUTNYA pembangunan IKN bukan tanpa konsekuensi. Paling nampak terjadi di depan mata ialah pembukaan lahan secara besar-besaran. Selain itu, ada dampak lain yang juga hadir, ini terkait dengan kesehatan warga yakni meningkatnya angka penyakit pernapasan di lingkar utama mega proyek itu.
Dilansir dari data Puskesmas Sepaku 1, yang menaungi 5 wilayah termasuk Desa Bumi Harapan, penyakit pernapasan seperti nasofaringitis akut dan Infeksi Saluran Pernapasan atas atau ISPA bahkan konsisten berada di deretan 10 besar dengan penginap terbanyak dalam dua tahun terakhir.
Pada 2021 lalu, pengidap nasofaringitis akut berobat ke Puskesmas Sepaku 1 mencapai 269 kasus. Ini menempatkan penyakit yang merupakan bagian dari ISPA itu berada di posisi ke 6 dari 10 penyakit dengan pengidap terbanyak. Tepat di bawahnya, bercokol penyakit ISPA dengan jumlah mencapai 86 kasus.
Memasuki 2022, angka pengidap nasofaringitis akut meroket hingga 529 kasus atau naik 260 kasus ketimbang tahun sebelumnya. Ini kemudian menempatkan nasofaringitis berada di poisisi kedua dengan jumlah kasus terbanyak. Tepat di bawahnya, atau posisi ketiga ada penyakit ISPA dengan 465 kasus. Jumlah kasus ISPA juga melonjak 379 kasus ketimbang 2022.
Grafik kenaikan kasus penyakit pernapasan di Puskesmas Sepaku 1 berlanjut pada 2023. Setidaknya hingga Agustus 2023, tercatat sudah ada 578 kasus nasofaringitis akut. Angka ini bahkan lebih tinggi ketimbang akumulasi kasus pada 2023. Untuk sementara, nasofaringitis akut bercokol di posisi puncak dengan jumlah kasus terbanyak. ISPA mengekor di posisi ketiga dengan jumlah 221 kasus per Agustus 2023.
Tren kenaikan ini juga terihat di RSUD Sepaku. Pada 2022 lalu, total kasus ISPA yang dicatat rumah sakit ini mencapai 195 kasus. Sementara hingga September 2023, rumah sakit ini telah mencatat 376 kasus ISPA. Naik 181 kasus ketimbang tahun 2023. Sebagai catatan, RSUD Sepaku baru diresmikan pada 5 Agustus 2021 lalu.
Salah seorang dokter yang bertugas di Puskesmas Sepaku 1, dr. Yanti Krismaningsih (38) membenarkan bila dalam beberapa bulan terakhir pengidap penyakit pernapasan terus mengalami peningkatan. Ada berbagai faktor yang menyebabkan itu, mulai kondisi lingkungan tidak sehat, paparan debu, ditambah cuaca yang sedang kemarau. Para pengidapnya bukan hanya pekerja proyek IKN, tapi juga warga setempat.
Penyakit pernapasan belakangan memang lagi naik daun," katanya ketika disambangi di Puskesmas Sepaku 1, Senin 2 Oktober 2023 lalu.
Dia mengatakan, sebagian besar keluhan yang disampaikan pasien ialah batuk kering. Durasi batuk yang dialami pasien beragam. Namun bila dirata-rata, mereka memeriksakan diri ke puskesmas usai alami batuk berkepanjangan hingga sepekan atau bahkan lebih.
Keluhan pasien yang datang juga bervariasi. Ada misalnya cuma batuk berdahak. Ada juga yang batuk plus demam atau sampai muntah," beber perempuan yang akrab disapa dr Yanti ini.
Sebetulnya dia tidak heran angka pengidap penyakit pernapasan terus mengalami peningkatan. Sebab faktor penyebab penyakit, yakni lingkungan tidak sehat, sukar dihindari. Bukan saja oleh pekerja di IKN, tapi juga warga setempat. Baik mereka yang tinggal di dalam gang, terlebih yang rumahnya terletak di pinggir jalan utama.
Bahkan diperkirakan, angka kasus penyakit pernapsan di sekitar proyek IKN lebih tinggi dari data yang berhasil direkapitulasi puskesmas. Ini karena setiap kontraktor di proyek IKN diketahui memiliki klinik dan tim medisnya sendiri. Namun bila klinik tersebut tak mampu menangani keluhan pekerjanya, barulah mereka dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit setempat secara berjenjang.
Pasien mengeluh, sudah pakai masker pun (debu) tetap tembus. Agak susah juga karena debunya memang sangat tebal," ungkapnya.
Adapun, obat-obatan yang biasa direkomendasikan bagi pasien bakal berbeda, tergantung keluhan mereka. Misalnya untuk meredakan batuk, dokter bakal merekomendasikan ambroxol atau acetylcysteine. Untuk meredakan peradangan, dokter meresepkan deksametason atau methylarednisolone. Sementara bagi mereka yang mengalami batuk karena alergi karena belum terbiasa dengan udara, suhu dan kelembapan di daerah– ini biasa dialami pekerja IKN dari luar Kaltim–, dokter meresepkan ceterizine. Sementara yang mengalami batuk disertai demam diresepkan ibuprofen atau paracetamol.
Itu pengobatan standar yang kami resepkan," sebutnya.
Kenaikan pengidap penyakit pernapasan di sekitar IKN juga berbanding lurus dengan tingginya permintaan obat-obatan buat mengobati penyakit tersebut. Misalnya terlihat di Apotek Kurnia. Di apotek yang terletak di Jalan Negara ini, pengencer dahak seperti acetylcysteine dan pereda radang macam methylarednisolone cukup banyak diburu konsumen.
Asisten Apotek di Apotek Kurnia, Rinawati bilang, sebelum proyek IKN dimulai, obat seperti acetylcysteine tidak terlalu laku dijual. Bahkan mereka tidak sanggup menjual satu box acetylcysteine dalam sebulan lantaran peminatnya kurang. Namun setelah mega proyek itu dikebut, obat yang dulunya tidak laku bahkan kurang dikenali kini diburu konsumen. Adapun, satu kotak acetylcysteine berisi 6 strip, yang tiap stripnya berisi 10 butir obat. Sementara tiap strip acetylcysteine dibanderol Rp 15 ribu.
"Acetyl dulu tidak terlalu dikenal. Sekarang terasa sekali peningkatannya," kata perempuan 28 tahun ini.
Rina bilang, obat-obatan seperti acetylcysteine tidak bisa diperjualbelikan secara bebas. Konsumen harus membawa resep dokter bila ingin membelinya. Namun aturan ini kerap membuat staf apotek dan calon konsumen bersitegang. Konsumen memaksa beli tanpa membawa resep dokter, sementra apotek bersikukuh tak bisa memberikan. Sebab mereka berada di bawah pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Kadang ada marah bilang ‘alah mbak, beli obat saja masa tidak dikasih.’ Kami bilang tidak bisa, karena harus ada resep dokter," bebernya. Dia menambahkan "Bahkan ada yang mau minta diperiksa langsung sama dokter di sini (apotek) supaya bisa dapat obat," beber perempuan yang sudah 4 tahun bekerja di Apotek Kurnia ini.
Kondisi serupa juga terlihat di Apotek Risma Farma. Di sini, angka penjualan dua obat unggulan untuk menanggulangi batuk seperti ambroxol dan acetylcysteine sangat diburu konsumen. Apoteker Apotek Risma Farma, Nur Aprilianti menuturkan, kenaikan angka penjualan obat batuk setidaknya terlihat dalam 3-4 bulan terakhir. Itu artinya, kenaikan terjadi sudah sejak Juni 2023. "Banyak yang nyari obat batuk itu," katanya ketika disambangi di tempat kerjanya akhir September 2023 lalu.
Menurutnya, sebagian besar mereka yang mencari obat batuk itu ialah pekerja IKN. Ketika menyambangi apotek, konsumen biasanya bertanya "Ini aku lagi lagi batuk, obatnya apa, ya?" kata perempuan 25 tahun ini menirukan penuturan konsumen. Bila konsumen datang dengan keluhan batuk berdahak, biasa mereka memberikan acetil atau ambroxol. Apabila batuk kering, diberi obat batuk sirup.
"Iya banyak, kok. Amroxol dan acetil itu banyak yang nyari," bebernya. Selain obat batuk, obat buat mengobati gatal seperti dexteem dan cetirizine juga cukup banyak diburu konsumen.
Bahaya Paparan Debu
Berbagai hasil studi telah membuktikan, paparan debu dalam durasi panjang bakal berdampak pada kesehatan manusia. Jenis penyakit yang timbul beragam, mulai komplikasi kardiovaskular, asma, inflamasi radiografi di paru-paru dan paling jamak ditemukan ialah komplikasi pernapasan.
Dalam jurnal bertajuk "Road dust and its effect on human health: a literature review" menyebutkan, paparan debu jalanan memiliki dampak nyata terhadap kesehatan manusia, terutama pada sistem pernapasan. Masih berdasarkan jurnal itu, debu jalanan mereka definisikan sebagai partikel padat yang dihasilkan oleh pemrosesan material secara mekanis, termasuk penghancuran, penggilingan, benturan cepat, penanganan, peledakan, dan penyusutan material organik dan anorganik seperti batu, bijih, dan logam. Ketika debu ini terbawa ke udara, terutama karena gesekan ban saat bergerak di jalan tanah yang tidak beraspal dan jalan beraspal yang tertutup debu, itulah yang disebut sebagai debu jalan.
Jurnal yang diterbitkan di Epidemiology and Health pada 2018 itu melakukan tinjauan terhadap 46 hasil penelitian sebelumnya yang membahas dampak debu terhadap kesehatan. Yang mana, penelitian tersebut digelar di berbagai negara dari 3 benua: Asia, Eropa, dan Amerika. Hasilnya, 17 jurnal yang mereka tinjau melaporkan bahwa paparan debu jalan mempunyai dampak buruk terhadap kesehatan pada sistem pernapasan. Dampak ini termasuk asma, serta bentuk karsinoma pernapasan seperti mesothelioma. Empat artikel secara khusus menyebutkan mesothelioma sebagai salah satu dampak debu jalan terhadap sistem pernapasan. Tujuh artikel melaporkan bahwa paparan debu jalan mempengaruhi sistem kardiovaskular. Satu penelitian menemukan Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) berhubungan dengan paparan debu jalan pada ibu selama kehamilan.
Dua penelitian yang mereka tinjau, misalnya milik Bell dan kawan-kawan menemukan hubungan yang signifikan antara PM 2.5 dalam debu jalan dan kenaikan rawat inap di rumah sakit karena komplikasi kardiovaskular dan pernapasan. Sementara penelitian Gent dan kawan-kawan menunjukkan, terjadi kenaikan pengguna inhaler lantaran naiknya gejala pada anak-anak penderita asma yang terpapar debu jalanan.
Sementara itu Dokter Spesialis Paru RSUD Taman Husada Bontang, dr Dian Ariani Tarigan, membenarkan bila terdapat banyak dampak kesehatan dapat timbul bila seseorang terus-terusan terpapar debu. Dampak tersebut bisa datang dalam durasi relatif singkat, atau dalam jangka waktu panjang.
Dia menjelaskan bagaimana proses dari sebuah paparan debu, kemudian mengakibatkan seseorang mengalami penyakit pernapasan. Semua ini, kata dr Dian, tentu bermula ketika seseorang menghirup partikel debu. Partikel tersebut sumbernya beragam. Ada dari asap kebakaran hutan, debu kendaraan, hingga debu akibat proyek pembangunan.
Ukuran partikel debu sendiri beragam. Untuk partikel berukuran sekitar 10 mikron, dinilai tak terlalu membahayakan sebab ia tak bisa masuk ke dalam tubuh. Penyaring alami di tubuh manusia masih mampu memfilter partikel berukuran 10 mikron. Adapun penyaring alami di tubuh manusia terdapat di hidung, mulut, dan tenggorokan.
Yang membahayakan, sebutnya, ialah partikel debu berukuran sekitar 2,5 mikron. Ia membahayakan lantaran ukurannya terlalu kecil. Penyaring alami di tubuh manusia tak mampu memfilter partikel sekecil itu.
Partikel super kecil itu kemudian masuk dan mengganggu saluran napas. Ini bisa memicu timbulnya berbagai penyakit baik dalam jangka relatif singkat maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek misalnya iritasi saluran napas sampai ke tenggorokan dan mata perih. Paparan debu juga dapat memicu penyakit bawaan seseorang seperti asma tiba-tiba kambuh.
"Bisa juga orang yang sebenarnya tidak punya riwayat penyakit bawaan tiba-tiba bisa mengalami penyakit tersebut. Semisal tiba-tiba alami batuk pilek, atau mulanya tak pernah radang jadi radang," beber dr Dian.
Sementara dalam jangka panjang, paparan debu dapat membuat seseorang mengalami asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), mudah kelelahan akibat kekurangan kadar oksigen. Dan paling fatal, dapat mengakibatkan tumor paru. Ini bila paparan debu terjadi dalam durasi panjang, misal hingga 10 tahun.
Dalam konteks pembangunan IKN yang demikian masif, hingga mengakibatkan tebalnya debu, dr Dian bilang bakal sulit bagi warga setempat terbebas dari ancaman penyakit pernapasan bila kondisinya seperti ini. Sebab faktor penyebab penyakit yakni lingkungan tak sehat akibat paparan debu sukar dihindari.
Mestinya, kata satu-satunya dokter spesialis paru di RSUD Taman Husada Bontang ini, warga sekitar direlokasi atau aktivitas proyek dipindahkan jauh dari permukiman. Bila terus bermukim dengan kondisi lingkungan seperti itu, satu per satu warga setempat bisa mengalami sakit pernapasan. Kendati pemerintah setempat, otorita, atau warga berinisiatif memakai masker, itu tak terlalu banyak membantu. Mengingat efektivitas penggunaan masker amat terbatas. Pun tak bisa bertahan dalam jangka panjang. Selain itu, masker yang digunakan juga tak bisa sembarang. Harus masker yang dapat menyaring debu ukuran 2,5 mikron.
"Jadi bukan orangnya yang disalahkan, tapi lingkungannya. Itu harus keluar dari lingkungannya. Kalau tetap di situ, ya bisa kena terus (penyakit)," sebutnya.
Artikel ini merupakan tulisan kedua dari liputan kolaborasi antara Kaltimtoday.co dan Independen.id. Tulisan kedua dari serial liputan khusus ini bisa dibaca di sini: IKN Dikebut, Debu Bikin Semaput. Tulisan ketiga bisa dibaca di sini: Warga Mengeluh Debu IKN, Pemerintah Saling Lempar Tanggung Jawab.
Related Posts
- Perusahaan Didorong Salurkan CSR untuk Mendukung Transisi Energi Berkeadilan di Kaltim
- Yayasan Mitra Hijau Dorong Partisipasi Perempuan dalam Transformasi Ekonomi dan Transisi Energi Berkeadilan di Kaltim
- Dewan SDA Nasional Susun Strategi Pengelolaan Air Berkelanjutan untuk Pulau Kecil dan Terluar
- Gelar Festival Ibu Bumi Menggugat, Kader Hijau Muhammadiyah Bersama NGO Serukan Penolakan Ormas Keagamaan Terima Izin Usaha Pertambangan
- Sofyan Hasdam Pastikan Tapal Batas Kampung Sidrap Kembali Dibahas Usai Pelantikan Kepala Daerah