Lipsus
IKN Dikebut, Debu Bikin Semaput
Pemerintah terus menggenjot pembangunan IKN Nusantara di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Bahkan pemerintah menetapkan target ambisius: 2024 sejumlah kantor sudah bisa difungsikan. Namun akibat dari masifnya pembangunan IKN, pekerja dan warga setempat justru dihantui bahaya penyakit pernapasan.
Whooosss!
Sejumlah dumb truk melaju tepat di depan motor yang dikendalikan teman saya di Jalan Negara, Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Sebelum melalui sebuah tanjakan, yang belakangan saya ketahui posisinya sekitar 1,5 kilometer dari simpang 4 menuju pusat pembangunan sejumlah kantor pemerintahan-- salah satunya Istana Negara, tanah uruk yang dimuat truk roda 6 itu tiba-tiba meluber dan berceceran di jalan. Debu kekuningan seketika membumbung di udara. Ia bak flare yang dinyalakan pada siang bolong.
Jarak pandang kami seketika terbatas.
Truk bak hijau yang mulanya terlihat jelas di depan kami kini samar.
Mata kami kelilipan dan berair. Saya yang duduk di bangku penumpang ikut mengucek mata lantaran serpihan tanah muatan truk tadi terpental sampai ke wajah. Dalam kondisi menyedihkan ini, kami tak bisa sekonyong-konyong berhenti sebab di belakang sudah ada kendaraan lain yang hendak melintas.
"Hati-hati, ces!" teriak saya ketika teman seketika menarik rem mendadak lantaran nyaris saja menabrak truk di depannya. "Astaga, nyaris."
Di siang yang panas itu, Jumat, 29 September 2023 adalah kali perdana saya menginjakkan kaki di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Dengan menggunakan motor skutik, saya dan kawan akhirnya tiba dengan sedikit ngos-ngosan di daerah ini usai melalui perjalanan darat sekitar 90 kilometer dari Balikpapan Utara. Ia membutuhkan waktu perjalanan sekitar 1,5 jam— tentu dibarengi beberapa kali setop buat minum dan sebat.
Lokasi yang saya sambangi ini, Kecamatan Sepaku, PPU adalah kawasan inti proyek pembangunan IKN Nusantara. Sejak ditetapkan Presiden Joko Widodo menjadi ibu kota Indonesia yang kelak menggantikan Jakarta pada 2019, segala hal terkait IKN dan Kecamatan Sepaku seolah menjadi magnet pemberitaan dimana-mana.
Dalam banyak pemberitaan, IKN terdengar begitu megah. Tapi apakah demikian adanya, sebetulnya saya sendiri kurang tahu. Kendati berada di satu provinsi— Kaltim, tapi bagi saya yang berdomisil di Bontang, IKN masih terlalu buram. Semua informasi dan berita yang saya baca mayoritas datang dari otoritas dan dari media berbasis di Jakarta. Penasaran, saya tempuh perjalanan panjang sekitar 239 kilometer dari Bontang ke IKN Nusantara. Perjalanan yang butuh waktu tempuh sekitar 6 jam ini dilakukan agar saya tahu, menyaksikan, dan mengalami sendiri kebenaran soal ibu kota baru ini.
Tapi, belum juga sampai ke tempat pemberhentian selama menginap di sekitar IKN, saya dan kawan sudah rada apes di jalan. Kehadiran perdana ini disambut panas menyengat, tebalnya debu proyek berpadu asap kendaraan nyaris di sepanjang Jalan Negara Kecamatan Sepaku. Puncaknya, nyaris menabrak truk dari belakang karena jarak pandang terbatas.
Belum juga apa-apa, batin saya kala itu.
Debu Proyek IKN dan Ancaman Penyakit Pernapasan
Petang, akhir Agustus 2023 lalu. Raniah baru saja merampungkan ibadah salat magrib. Belum juga mukenah yang dikenakannya dilepas, ia kembali mengalami batuk kering tak karuan. Batuk kering seperti ini kerap hadir saban petang. Ketika ia pulang ke rumah buat rehat usai seharian menjaga toko kelontong miliknya.
Namun batuk yang dialami Raniah pertengahan Agustus itu berbeda. Bila biasanya ia cukup meneguk segelas air hangat maka batuk dengan sendirinya mereda, kali ini resep harian itu sudah tak mempan. Batuk makin panjang dan lebih menyiksa dari biasanya. Tenggorokan sakit, kepala pening, tubuh lemas. Walhasil, toko yang mestinya tutup pukul 10 malam terpaksa ditutup lebih cepat lantaran tubuhnya sudah terlalu kelelahan.
Keesokan harinya, batuk masih terjadi. Saking panjangnya durasi batuk, hingga membuat Raniah muntah. "Habis magrib sudah mulai batuk, paginya itu sampai muntah-muntah. Tanya saja sama anak saya," kata Raniah ketika menceritakan pengalaman itu.
Dalam sepekan kondisi tubuh Raniah tidak stabil. Kadang sehat, seketika drop. Tak mau hal buruk terjadi, dia kemudian memeriksakan diri ke seorang dokter umum yang membuka praktik di sebuah apotek di Kilometer 6 Balikpapan. Dokter itu dipilih sesuai rekomendasi salah seorang anaknya yang bermukim di Balikpapan.
Dari hasil pemeriksaan, dokter menduga batuk berkepanjangan yang dialami Raniah lantaran ia tinggal di lingkungan tidak sehat, terlalu sering terpapar debu, dan kelelahan. Sebabnya, dokter meminta dia lebih banyak istirahat sembari menjaga kebersihan lingkungan. Ini juga dibarengi dengan pemberian resep obat-obatan.
"Obatnya bisa diminum tapi kalau mau jauh dari debu susah. Orang tiap hari kami hirup itu debu-debunya IKN," beber Raniah ketika disambangi di tokonya akhir September 2023 lalu.
Raniah adalah warga Paser, yang merupakan suku asli di Penajam Paser Utara. Perempuan kelahiran 1954 itu bermukim di kediamannya saat ini di RT 10 Desa Bumi Harapan sejak 2011. Di rumah itu, dia tinggal bersama 4 orang anggota keluarga yang lain. Sang suami, Goau (67) yang juga merupakan warga asli suku Paser, seorang anak, dan dua cucu. Sementara satu anaknya yang lain tinggal di Balikpapan.
Tepat di depan rumahnya, didirikan sebuah toko kelontong sederhana berukuran sekitar 6 x 3 meter. Toko itu didirikan pada 2011, tak lama setelah rumah dibangun. Di sana, mulanya ia menjual es dan bensin eceran. Kemudian pelan-pelan menjual berbagai kebutuhan harian macam beras, sabun, dan telur. Terakhir, merintis warung makan sederhana yang dinamai "Warung Ulun Paser".
Sementara posisi badan jalan trans provinsi yang kerap dilalui truk-truk pengangkut material menuju proyek IKN Nusatara dari tokonya hanya sekitar 7 meter. Bila dilihat menggunakan Google Maps, dari kediaman Raniah hingga simpang 4 menuju proyek pembangunan kantor pemerintahan— termasuk Istana Negara dan Kemenko Marves, jaraknya sekitar 3 kilometer.
Raniah menceritakan, pembangunan IKN itu memang sangat berdampak pada kehidupannya. Bukan sesuatu menakjubkan seperti yang sering digembar-gemborkan pemerintah di layar kaca. Selain berdampak pada kesehatan karena saban harı terpapar debu, ada dampak lain yang demikian terasa: Rumah jadi kotor dan menghilangkan sumber penghasilannya.
Sebelum pembangunan mega proyek itu, kata Raniah, biasanya dia membersihkan rumah dan toko cukup dua kali sehari, pagi-sore. Sementera mengepel dilakukan tiap akhir pekan. Namun belakangan, menyapu dan mengepel seolah jadi pekerjaan utama. Kondisi makin parah pada 2023 ini Ketika pembangunan di IKN terus dikebut. Pagi hingga malam kendaraan proyek terus melintas di depan rumah. Membawa debu, mengotori segalanya.
Biasanya, Raniah bersiap membuka toko pukul 05.30 pagi. Sebelum toko dibuka, sekitar 30-40 menit dihabiskan sekadar buat bebersih toko. Kendati sebelum ditutup toko sudah dibersihkan, namun esok harinya toko sudah seperti gudang yang menahun tak dibersihkan. Debu menempel di tiap sudut toko.
Bukan tanpa alasan proses pembersihan itu butuh waktu lama. Sebelum menyapu lantai toko, terlebih dahulu Raniah mesti membongkar seluruh barang dagangan yang dia susun di etalase. Pembongkaran harus dilakukan agar bagian dalam etalase bisa dibersihkan menggunakan kain basah. Setelah bersih, barulah dagangan itu dikembalikan ke tempatnya.
Etalase rampung, langkah selanjutnya membersihkan barang dagangan yang ada di bagian luar. Seluruh barang mesti dibersihkan menggunakan kain basah agar barang tak terlihat berdebu walau untuk sementara.
"Ini buat lap debu setiap hari. Sampai hancur begitu," kata Raniah sembari memperlihatkan sebuah kain kuning kusam yang sudah koyak. Kain itulah yang saban hari digunakan untuk bebersih di toko.
Bila diakumulasi, dalam sehari bisa sampai 10 kali Raniah menyapu dan mengelap di toko. Aktivitas ini cukup melelahkan, namun tetap dilakukan ketimbang toko terlihat kumuh dan jorok. Kondisi serupa juga terjadi di rumah. Bahkan menurutnya, debu-debu itu sudah menjangkau dapur.
Saking sering dan banyak debu memenuhi rumah dan tokonya, Raniah sampai berseloroh walau dengan nada sedikit sinis "coba naik ke atas (rumah). Tadi pagi sudah dibersihkan, sekarang berdebu lagi. Kubilang, tidak lama tumbuh jahe di situ (bingkai foto). Tempel jahe sedikit di dinding, di bingkai, bisa hidup itu karena ada tanahnya."
Selain itu, sejak akhir April 2023, Raniah juga terpaksa menghentikan usaha warung makan yang sudah dirintisnya sejak 2011. Usaha ini akhirnya ditutup karena menurutnya percuma saja menjual makanan di tengah kondisi lingkungan yang tidak sehat dan higienis. Makanan yang dijajakan, walau disimpan dalam etalase, juntrungnya bakal terpapar debu juga. Selain terlihat jorok dan terkontaminasi debu, dia takut bila makanan itu dikonsumsi bakal membuat pelanggannya sakit perut atau diare.
"Ada orang belanja, kita buka etalase sebentar. Nanti mobil gede-gede lewat banyak debunya. Daripada kasih makan orang kondisinya jorok, mending berhenti (jualan)," bebernya.
Sejatinya cukup berat baginya menutup warung itu. Sebab warung makan itu cukup membantu tambahan pemasukan harian. Bahkan menurutnya, keuntungan dari warung cukup membantu dirinya dalam membiayai sekolah dan kebutuhan harian dua cucunya sejak mereka duduk di Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Sekarang, karena debu, warung itu dengan berat hati ditutup.
"Dari sini nambah-nambah pemasukan. Soalnya bapak (suaminya) sudah tidak kerja," ungkapnya.
Dia mengaku debu akibat proyek IKN ini sudah sangat menggangu. Tapi dia sendiri tak tahu ke mana harus menyampaikan keluhan. RT, pemerintah setempat atau perusahaan yang beroperasi di sekitar IKN tak pernah sowan ke rumah warga. Jangankan datang dan mendengar aduan terkait debu, memberikan kompensasi karena dirugikan akibat aktivitas proyek, serta melakukan penyiraman jalan guna meminimalisir debu pun tak pernah dilakukan. Warga seolah dipaksa menerima dan pasrah saja dengan keadaan. Kendati kondisi ini jelas-jelas membuat mereka terus dibayangi bahaya penyakit pernafasan.
"Tidak ada uang debu. Tidak ada juga nyiram jalan. Ya begini saja, kami menerima keadaan," ada nada lirih dalam suaranya.
Pengalaman lebih kurang serupa juga dialami Riana. Perempuan 23 tahun ini mengaku, pada Mei 2023 lalu dirinya sempat tumbang selama sepekan. Dari hasil pemeriksaan dokter, dia sakit karena diduga terlalu sering terpapar debu dan kelelahan.
"Sakit seminggu. Tidak tahan sama debunya ini," katanya ketika ditemui akhir September 2023 ini.
Perempuan berusia 23 tahun ini menceritakan bagaimana ia bisa sakit sepekan yang diduga karena debu. Mulanya, pada Desember 2023, Riana datang dari Sulawesi ke Desa Bumi Harapan. Di sini, dia tinggal bersama keluarga dan membantu mereka menjaga sebuah toko sembako yang lokasinya tepat pinggir Jalan Negara. Toko itu berjarak sekitar 3 kilometer dari simpang 4 menuju proyek pembangunan kantor pemerintahan di IKN.
Kala itu, kondisi lingkungan memang sudah berdebu lantaran proyek pembangunan IKN telah berjalan. Namun di tahun ini, terutama memasuki Mei 2023, kondisinya makin memprihatinkan. Debu kian tebal dan makin susah dihilangkan sesering apapun Riana membersihkan toko. Dia menduga, ini terjadi lantaran proyek IKN terus dikebut sementara kondisi sedang kemarau.
"Dulu (2022) tidak terlalu. Masuk bulan 5 (Mei) ini parahnya. Sejak proyek itu jalan, mobil-mobil gede lewat semua di depan (jalan)," ungkapnya.
Riana tidak bisa menghindari paparan debu bahkan sejak ia bangun tidur. Selepas bangun tidur dan hendak beraktivitas, hal pertama yang ia hadapi adalah debu di toko. Etalase dibersihkan dari debu menggunakan kain basah. Barang dagangan dilap juga menggunakan kain basah. Setelahnya menyapu dan mengepel lantai. Walau beberapa jam berikutnya aktivitas ini diulang karena truk bermuatan material menuju proyek IKN terus-terusan melintas depan toko. Paparan debu dari muatan truk-truk tersebut tak bisa dihindarkan.
"Bisa sampai 10 kali bahkan lebih menyapu. Lihat begini, karena jorok, dibersihkan sendiri. Kalau tidak disapu, ya bisa menumpuk (debunya)," ungkapnya sembari menununjuk debu yang kembali memenuhi toko.
Puncaknya pada Mei 2023 itu, Rania sudah tak sanggup terpapar debu. Dia tumbang lantas memeriksakan diri ke sebuah klinik yang berada di areal proyek pembangunan IKN. Pemeriksaan dilakukan di klinik itu sesuai rekomendasi pamannya– si pemilik toko– yang kebetulan pekerja di IKN.
Dari hasil pemeriksaan itu, dokter bilang Rania sakit karena kelelahan dan tak terbiasa dengan kondisi lingkungan yang berdebu. Setelahnya, dokter juga memberikan resep obat-obatan. Riana tak ingat apa saja jenisnya, namun menurutnya obat tersebut sampai 10 jenis.
"Katanya dokter, pusing saja ini, kecapean, belum terbiasa karena debu banyak," ujarnya.
Artikel ini merupakan tulisan pertama dari liputan kolaborasi antara Kaltimtoday.co dan Independen.id. Tulisan kedua dari serial liputan khusus ini bisa dibaca di sini: Penyakit Pernapasan Meningkat di Wilayah IKN. Serial ketiga bisa dibaca di sini: Warga Mengeluh Debu IKN, Pemerintah Saling Lempar Tanggung Jawab.
Related Posts
- Panen Perdana Tambak 4 in 1 Dorong Ketahanan Pangan dan Program Makan Gratis
- Jalan Panjang Masyarakat Adat Kaltim Mencari Pengakuan: Mulai Penolakan hingga Ancaman Kekerasan
- Timnas Indonesia Gagal ke Semifinal Piala AFF 2024, Begini Jawaban Shin Tae-yong
- BRIDA Jaring Pelajar Potensial untuk Persiapkan Generasi Periset dan Peneliti di Wilayah Kaltim
- Tingkatkan Kualitas Riset, BRIDA Kaltim Gencar Kolaborasi dengan Perguruan Tinggi dan Perusahaan Luar Negeri