Opini
Perempuan sebagai Objek Seksualitas dalam Praktik Media Massa
Oleh : (Feti Fajriawati Sultan (Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2018 UNMUL)
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tidak bisa terlepas dari informasi yang disajikan media massa, entah pemberitaan, edukasi hingga hiburan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan kerap kali menjadi objek menarik yang dipilih media massa untuk dipertontonkan agar bisa menarik minat audiensnya, karena menurut kelompok tertentu keindahan tubuh seorang wanita merupakan suatu hal yang memiliki nilai jual.
Tanpa masyarakat sadari, media massa berhasil membentuk sterotype bahwa perempuan harus selalu tampil menarik, cantik, sempurna dan seksi agar bisa dengan mudah menarik perhatian orang lain bahkan lawan jenis. Iklan-iklan di TV pun semakin memperjelas hal tersebut, contohnya, iklan sampo yang hanya menampilkan model wanita dengan rambut panjang dan lurus, juga iklan kosmetik yang mengklaim bahwa produknya memiliki racikan untuk merubah warna kulit gelap menjadi kulit cerah.
Klaim-klaim semacam itu sesungguhnya sangat bertolak belakang dengan etika komunikasi, dimana pesan yang disampaikan dalam iklan kosmetik atau skincare dapat menciptakan stigma negatif bagi masyarakat bahwa “Cantik itu harus berambut panjang dan lurus”, “Cantik itu kalau memiliki kulit putih dan mulus”. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan sikap rasisme di tengah masyarakat, bahkan sudah terjadi. Dari apa yang saya amati di sekitar saya, sebagian besar masyarakat masih memiliki pola pikir bahwa kulit putih lebih superior dibandingkan warna kulit gelap lainnya, padahal standar kecantikan seseorang bukanlah dinilai dari warna kulitnya.
Selain iklan, penggunaan perempuan sebagai objek seksualitas dapat kita lihat di berbagai program acara televisi, seperti talkshow, variety show, dan terutama program komedi. Terkadang para penghibur atau pelakon tak terkecuali tim produksi program acara secara tidak sadar telah melakukan pelecehan seksual secara verbal kepada perempuan. Kalimat-kalimat ambigu yang kerap kali dilontarkan dimedia massa seperti, “Susunya”, “Goyangan”, “Lemes” dan berbagai kata tidak pantas lainnya memperjelas penempatan perempuan sebagai pemuas seks laki-laki. Sebagaimana diketahui seks dalam masyarakat selalu digambarkan sebagai kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Dalam masyarakat patriarchal, seks merupakan bagian yang dominan dalam hubungan laki-laki dan perempuan, serta menempatkan perempuan sebagai subordinasi.
Mereka yang bekerja dalam bidang komunikasi apalagi tarafnya sudah komunikasi massa harusnya paham betul mengenai etika profesi yang harus dipegang teguh oleh setiap individu. Perlu adanya pemahaman dari media dan dimatangkan lewat pelatihan berperspektif gender dengan mengadopsi etika jurnalistik yang berlaku. Karena eksploitasi terhadap perempuan akan terus terulang kalau tidak ada upaya-upaya untuk memberi campaign untuk memberitakan yang baik sesuai dengan kaidah jurnalistik.
Pemahaman tersebut harus diberikan kepada media massa, karena media massa mempunyai kekuatan untuk mengkonstruksi erotisme. Selain dari media massa, kesadaran dari masyarakat juga sangat diperlukan untuk bisa mengendalikan media, masyarakat tidak boleh pasif tapi harus berani bersikap kritis dan peka serta mampu mengontrol media dengan cara menjadi audiens yang cerdas yang dapat memilah dan memilih berita yang layak konsumsi dan tidak, turut aktif dalam pemberantasan kegiatan pembodohan oleh media melalui tulisan, beropini publik, demonstrasi, dan lain sebagainya.
Jika kedua hal di atas bisa direalisasikan, maka bukan tidak mungkin perempuan yang dimanfaatkan sebagai objek seksualitas oleh media massa dapat dihentikan dengan upaya kesadaran dari berbagai pihak. Sehingga berita dan informasi yang dimunculkan bisa berimbang, dengan tidak mengeksploitasi tubuh perempuan tapi menampilkan sisi kekuatan perempuan sebagai obyek yang layak menjadi inspirasi bagi masyarakat.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- UNiTE 2024: Kolaborasi Ungkap Realitas Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia
- DP3A Kukar Dorong Perempuan Jadi Penggerak Perubahan dalam Pilkada 2024
- Memberdayakan Perempuan: Jalan Menuju Kesetaraan Politik di Kaltim
- Hak Konstitusional dan Ruang Aman bagi Perempuan
- Media Massa Didorong Aktif Suarakan Isu Gender dan Inklusi di Pilkada 2024