Opini
Politik Tugu dari Zaman Mulawarman sampai Andi Harun
Oleh: Muhammad Sarip (Sejarawan Publik)
Bukan cuma pesta kembang api dan petasan yang mewarnai pergantian kalender dari tahun 2024 ke 2025 di Samarinda. Publik Ibu Kota Kalimantan Timur dihebohkan dengan polemik tentang bangunan baru yang bernama Tugu Pesut di simpang empat Mal Lembuswana. Sebuah legasi fisik dari kepemimpinan Wali Kota Andi Harun.
Publik di media sosial memperdebatkan dua problem. Pertama, visual Tugu Pesut itu tampak abstrak dan simbolik. Bentuknya dianggap tidak real seperti replika satwa langka di Sungai Mahakam yang pernah ada. Kedua, anggaran pembuatannya sebesar Rp1,1 miliar dari APBD dipandang bukan prioritas pembangunan yang urgen di Samarinda.
Saya tidak akan ikut membahas perihal bujetnya. Saya lebih tertarik untuk mengekspose tentang apa, bagaimana, dan mengapa tugu bisa menjadi produk kebudayaan manusia. Tugu senantiasa ada di tiap zaman, di berbagai tempat, dan diwariskan oleh banyak penguasa dari level komunitas kecil sampai tingkat global. Selain produk budaya, tugu bisa berfungsi sebagai produk politik. Karena itu, saya menyebutnya sebagai “politik tugu”.
Tugu merupakan monumen berbentuk benda padat sebagai sarana penyimpan memori kolektif sebuah entitas atau bangsa. Tempo dulu, tugu dibuat dari batu yang dipahat atau diukir. Setelah teknologi makin maju, tugu dibuat dari konstruksi beton dan logam. Pada sebuah zaman, tugu bisa dipuja dan dihormati. Namun, pada masa berikutnya, kadang tugu itu dinistakan dan dihancurkan.
Tugu tertua di Kepulauan Nusantara ditemukan di tanah Kalimantan Timur. Tugu itu dibuat pada abad ke-5 Masehi atau kisaran tahun ±450. Monumen berbahan batu andesit itu saat kali pertama didirikan tentu sangat dihormati oleh penduduk. Apalagi pada permukaan tugu itu terukir aksara Pallawa berbahasa Sanskerta yang substansinya adalah dokumentasi kejayaan Dinasti Mulawarman. Teks dan bahasa yang tertulis di tugu hanya bisa dibuat khusus oleh brahmana, cendekiawan agama Hindu. Publik mengenal ada tujuh tugu bertulis alias prasasti yupa yang menjadi tonggak awal zaman sejarah di Kepulauan Nusantara.
Waktu terus berganti. Lebih dari seribu tahun kemudian, Kerajaan Martapura warisan Raja Mulawarman runtuh. Penguasa pun berubah. Monumen yupa, baik yang bertulisan maupun yang niraksara (tanpa tulisan), telah terlupakan. Bahkan yupa-yupa itu tidak dalam posisi berdiri lagi. Saat ditemukan oleh peneliti Belanda pada 1879 dan 1940 di Muara Kaman, prasasti yupa tertimbun tanah.
Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman yang bertakhta pada 1850–1899 mengizinkan pemerintah Hindia Belanda mengangkut empat prasasti yupa ke Kantor Kebudayaan Betawi di Batavia. Saat itu Sultan Kutai dan seluruh warga tidak mengetahui apa makna tulisan kuno yang terukir pada tugu itu. Kolaborasi ilmuwan Belanda, Johan Hendrik Caspar Kern dan Jean Philippe Vogel, berhasil mengungkap bacaan dan makna teks tersebut.
Yupa yang sebelumnya disucikan, lalu pernah terlupakan, kini kembali diagungkan. Namun, posisinya tidak lagi berada di tanah Kutai atau di Kalimantan Timur. Semuanya tetap di gedung warisan Hindia Belanda yang kini dijadikan Museum Nasional di Jakarta. Meskipun begitu, pelajaran yang bisa diambil adalah bagaimana visionernya Raja Mulawarman pada 16 abad silam. Politik tugu berhasil mengabadikan sejarah Mulawarman di timur Kalimantan sebagai pelopor peradaban di Nusantara. Putra Aswawarman itu mengajarkan value betapa pentingnya karya tulis untuk dilegasikan kepada generasi kini dan mendatang.
Politik tugu tak hanya ada di Kepulauan Nusantara. Dari dulu hingga masa kini, di berbagai belahan dunia, banyak tugu dan monumen didirikan. Di beberapa lokasi, monumen itu berupa patung para penguasa. Sebagian raja atau pemimpin negara yang memiliki sifat narsistik ingin mengglorifikasi dirinya. Politik tugu tampak berhubungan dengan politik kultus individu. Orientasinya adalah pengabadian status quo atau kepentingan politik dinasti.
Politik tugu dengan format patung penguasa sering berakhir dengan tragis. Satu di antara tokoh yang paling banyak patung dirinya adalah Josef Stalin. Patung pemimpin Uni Soviet pencetus ideologi Stalinisme itu didirikan di hampir tiap desa. Namun, belum genap 1 abad kemudian, ketika Negara Uni Soviet bubar, patung Stalin dihancurkan. Peristiwa penghancurannya oleh massa di Moskow 1991 merupakan satu dari momen ikonik dari sejarah dunia.
Pada dekade kedua abad ke-21, sejumlah patung tokoh dunia dihancurkan atau minimal bagian kepalanya dipenggal. Yang paling terkenal di antaranya adalah patung Christopher Columbus di Amerika Serikat dan Raja Belgia Leopold II. Vandalisme dilakukan sebagian publik dengan alasan bahwa tokoh tersebut merupakan pelaku utama perbudakan dan pelanggaran HAM terhadap manusia berkulit hitam.
Untuk konteks lokalitas Kalimantan Timur, khususnya Samarinda, politik tugu lazim dilakukan oleh kepala daerah. Namun, politik tugu di Bumi Ruhui Rahayu belum sampai pada pembuatan patung diri gubernur atau wali kota yang dikhususkan sebagai monumen di ruang publik. Politik tugu di sini berbentuk menara, prasasti peresmian, gapura program pembangunan Rukun Tetangga, patung satwa langka, dan lain-lain.
Pada akhir 2018, Pemerintah Kota Samarinda membangun sebuah tugu di simpang 4 Mal Lembuswana. Pembuatan tugu ini mengubah bentuk lokasi yang awalnya merupakan taman. Pemkot menamainya Tugu Parasamya Purnakarya Nugraha, diambil dari nama penghargaan yang diterima oleh Wali Kota Syaharie Ja’ang dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada 10 November 2017. Bentuk tugu dengan bujet APBD Rp550 juta ini juga merupakan replikasi dari penghargaan keberhasilan program pembangunan peningkatan kesejahteraan sepanjang lima tahun terakhir tersebut.
Enam tahun kemudian, persis di akhir tahun juga, di lokasi yang sama politik tugu berubah. Di bawah kepemimpinan Wali Kota Andi Harun, Pemkot memusnahkan tugu penghargaan tersebut. Pada 27 Desember 2024, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Samarinda menyelesaikan pembangunan Tugu Pesut.
Visual Tugu Pesut di simpang Mal Lembuswana tampak mencolok dengan bentuk seperti garis gelombang dan warnanya yang pink. Namanya pesut, tetapi bentuknya tidak literal seperti pesut. Dengan nama “pesut”, publik berekspektasi bahwa wujud harfiahnya berupa replika pesut Mahakam. Satwa langka lumba-lumba air tawar ini terakhir eksis di Sungai Mahakam era 1980-an. Namun, Tugu Pesut pink ini konsepnya bukan patung pesut, melainkan siluet pesut.
Begitulah politik tugu. Ada ekspektasi, ada realita. Ada pro-kontra, ada klarifikasi. Ada subjektivitas pemaknaan, ada subjektivitas seni dan estetika. Untungnya itu bukan patung diri kepala daerah. (*)
Related Posts
- Realisasi APBN untuk Proyek IKN Capai Rp 43,4 Triliun pada 2024
- Rudy-Seno Siapkan Tim Hukum untuk Tindak Lanjuti Gugatan Isran-Hadi ke MK
- Cara Pencegahan dan Penanganan Gagal Ginjal, Berikut Penjelasan PAFI Kabupaten Hulu Sungai Tengah
- PAFI Kabupaten Halmahera Utara Edukasi Pencegahan Penyakit Akibat Banjir
- PAFI Kabupaten Gorontalo Utara Edukasi Cara Memutihkan Gigi Secara Alami dan Sehat