Opini

Pro Kontra Hukuman Mati Para Tikus Berdasi

Kaltim Today
22 Mei 2020 19:12
Pro Kontra Hukuman Mati Para Tikus Berdasi

Oleh : Mochammad Muflik Kusron (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang)

Indonesia menjadi negara paling teratas sebagai tingkat korupsi paling tinggi di tingkat Asia dan Asia Pasifik. Tingginya angka korupsi di Indonesia menyebabkan semua sistem yang sudah terstruktur dan termasuk sendi kehidupan kenegaraan akan rusak disebabkan oleh para oknum, baik tingkat elit maupun tingkat desa yang melakukan praktiek korupsi.

Publik semakin percaya bahwa praktik korupsi semakin merajalela di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu lembaga independen yang mengungkap kasus korupsi, menangkap basah para pelaku yang terduga kasus tindakan pidana korupsi. Contohnya saja kasus korupsi terbesar E-KTP yang dilakukan oleh mantan Ketua DPR sekaligus Ketua Umum partai Golongan Karya (Golkar) yaitu Setya Novanto, dimana kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun.

Tetapi melihat hukum di Indonesia yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas penerapan hukuman kepada kasus pidana korupsi yang tidak setimpal dengan hukuman kasus-kasus pidana yang masih tergolong rendah. Banyak koruptor yang masih berkeliaran dan berfoya-foya menikmati hasil korupsi uang rakyat dengan tujuan untuk memenuhi kehidupan yang bersifat pribadi. Seharusnya yang dibuat untuk menyejahterakan rakyatnya, namun berdampak sangat buruk, negara menjadi miskin dan membuat masyarakat semakin menderita.

Diskriminasi hukum terkadang dipertontonkan oleh aparat penegak hukum. Melihat kondisi tersebut menggambarkan ketidakadilan, bahwa orang yang memiliki kekuasaan politik dan uang, menjadikan hukuman bertambah ringan. Tindakan yang tegas kiranya perlu dilakukan agar korupsi di Indonesia berkurang. Pemerintah harus merevisi Undang-Undang Tipikor dengan asumsi masyarakat yang menginginkan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Mungkin bisa menjadikan oknum-oknum koruptor tersebut dan akan menjadi pertimbangan yang sangat besar bagi para pelaku untuk melakukan melakukan tindakan korupsi dan memberikan dampak yang sangat besar bagi negara. 

Presiden Joko widodo juga pernah mengatakan bahwa, tidak ada UU yang mengatur hukuman mati bagi para koruptor. Apabila rancangan UU Tipikor diubah dengan kehendak dan keinginan masyarakat mungkin akan bisa diterapkan hukuman mati untuk tindak pidana korupsi.

Dengan berkembangnya kasus korupsi di Indonesia banyak asumsi masyarakat yang meminta agar dilaksanakan hukuman mati ini diterapkan di Indonesia, memberikan efek jera kepada tindak pidana korupsi. Melihat perbuatan yang sangat merugikan ini banyak masyarakat yang mengira bahwa negara ini banyak memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi tetap saja menjadi negara miskin akibat perbuatan para koruptor.

Seharusnya Indonesia berkaca pada China dalam penegakan hukum terhadap koruptor. Melihat China tidak ada ampun bagi koruptor, bahkan Ketua Parlemen China yaitu Cheng Ke jie dan Ju Rongji Perdana Menteri China yang melakukan tindakan korupsi dijerat hukuman mati bagi mereka, tidak melihat pangkat maupun kekuasaan semua terlihat sangat adil. Hal tersebut sangatlah menginspirasi bagi para pemimpin di Indonesia ini untuk tegas dalam kasus pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu sedikitpun. Dengan cara tersebut bisa menekan para koruptor untuk memberantasnya. Plato, seorang pakar filsuf dari Yunani kuno berkata berkata, para pemimpin yang sengaja menelantarkan dan tidak bisa memberikan kesejahteraan masyarakatnya dapat dihukum mati tanpa adanya upacara sedikitpun.

Melihat sekarang ini Indonesia mengalami sebuah pandemi yaitu menyebar luasnya virus Covid-19, pasti semua orang tergerak untuk melakukan bantuan sosial. Pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulayani Indrawati menyiapakan dana alokasi khusus (DAK) sebagai bantuan operasional untuk pencegahan dan penanganan virus Covid-19. Dana yang terkumpul sangat besar hingga mencapai Rp 19 triliun.

Namun, di sisi lain timbul kekhawatiran kepada oknum-oknum yang melakukan kesempatan tindakan korupsi, yaitu peluang kesempatan yang sangat besar, sumbangan yang terkumpul dari masyarakat yang akan diserahkan ke pemerintah, kemungkinan ada pihak-pihak yang berhati kotor untuk melakukan tindakan korupsi ini.

Melihat hal tersebut apakah pantas dilakukan tindak pidana hukuman mati bagi para korupsi? Mengingat di dalam UU Nomor 31 tahun 1999 dan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pemberantasan korupsi pasal 2 ayat 2 menjelaskan bahwa, hukuman mati boleh dilaksanakan dalam keadaan tertentu. Dijelaskan bahwa apabila korupsi tersebut dilakukan dimana keadaan negara sedang mengalami bahaya seperti bencana alam nasional dan juga apabila negara sedang megalami krisis monenter.

Berhubung sekarang ini negara sudah mengalami bencana alam yaitu wabah Covid-19 ini dan melemahnya sektor ekonomi termasuk juga bisa dibilang krisis monenter. Pada UU nomor 31/1999 dan UU nomor 20/2001 dijelaskan bahwa, hukuman mati diterapkan apabila keadaan negara sedang mengalami bencana alam alam dan krisis monenter. Semisal apabila ada oknum yang sengaja melakukan tindakan korupsi bantuan sosial dalam keadaan saat ini akan dijerat dengan hukuman mati? Bagimana jika yang melakukan tindakan korupsi tersebut adalah elite politik, apakah keputusan hukuman mati dari aparat hukum merjadi pertimbangan yang sangat berat?

Memang hukuman mati akan menjadi pro kontra yang sangat besar bagi kalangan elite politik di Indonesia, bisa dikatakan dianggap tidak menghormati dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga bertentangan dengan aspirasi masyakat Internasional bahwa hukuman mati sudah sebagian besar dihapuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Sekarang memang korupsi akan terlihat sangat jelas dapat merugikan keuangan negara. Akibatnya, keuangan negara yang seharusnya lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan masyarakat akan menjadi sangat berkurang. Hal yang paling dirasakan oleh masyarakat itu sendiri adalah kemampuan negara yang terbatas  dalam memberi penyediaan anggaran semakin terbatas, dan dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat, antara lain perbaikan dan perkembangan infrastruktur, pemberian Dana BOS pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan transportasi, dan pelayanan kesejahteraan rakyat yang lainnya.(*)

*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya