Opini

Profesionalisme Humas Pemprov Kaltim di Tengah Pusaran Kritik Publik

Kaltim Today
25 November 2025 07:07
Profesionalisme Humas Pemprov Kaltim di Tengah Pusaran Kritik Publik
Penulis, Andi Muhammad Abdi.

Oleh: Andi Muhammad Abdi, Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam UINSI Samarinda

DALAM lanskap komunikasi pemerintahan, peran humas bukan lagi sekadar penyebar informasi atau pengelola seremoni. Humas adalah garda depan dalam menjaga kredibilitas, mengelola persepsi publik, dan memastikan pemerintah tetap berada pada jalur komunikasi yang transparan, argumentatif, dan responsif. Di Kalimantan Timur, sejumlah polemik yang menyerempet citra gubernur maupun institusi Pemprov menjadi cermin betapa krusial fungsi kehumasan sebagai arsitek komunikasi strategis.

Polemik yang belum mengering hingga saat ini adalah riuh kritik dari seorang jurnalis dan seorang pegiat media sosial Kaltim. Keduanya meluncurkan opini tajam terkait sejumlah kebijakan dan lingkungan kerja Gubernur Kaltim. Namun, alih-alih mendapat respons terbuka dari Humas Pemprov Kaltim, seorang ketua ormas justru beroperasi menjadi "juru bicara" Gubernur dan melakukan agresi komunikasi.

Ketika opini kritis seorang warga dipersepsikan sebagai serangan, atau ketika respons balik justru datang dari pihak-pihak yang tidak memiliki otoritas kehumasan, publik menangkap pesan seolah pemerintah tidak siap menghadapi kritik secara dewasa. Ketidaksiapan itu bukan semata persoalan emosional, melainkan persoalan kelembagaan, yakni absennya desain komunikasi publik yang terstruktur dan profesional. Dalam konteks inilah, Humas Pemprov Kaltim perlu dievaluasi dan dikritisi secara kelembagaan.

Persoalan ini semakin jelas ketika dilihat melalui Situational Crisis Communication Theory (SCCT), yang menegaskan bahwa setiap krisis harus dikelola melalui strategi respons yang tepat. Krisis persepsi bukanlah krisis faktual, tetapi implikasinya dapat melampaui krisis faktual karena menyentuh aspek emosional dan kepercayaan publik. Dalam teori SCCT, pemerintah dituntut untuk merespons secara proporsional, empatik, dan cepat, sebab yang dipertaruhkan adalah reputasi institusi.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Ketika kritik muncul, ruang resmi pemerintah seakan kosong. Tidak ada klarifikasi institusional yang mampu memandu opini publik. Tidak ada penjelasan objektif yang muncul dari Humas Pemprov. Kekosongan ini kemudian diisi oleh figur informal yang merasa perlu membela pemerintah dengan gaya komunikasi personal yang cenderung kontraproduktif. Alih-alih meredakan isu, respons seperti itu memperbesar kebisingan publik dan menciptakan krisis sekunder seperti perdebatan yang melebar dan citra gubernur yang justru terdampak secara tidak proporsional.

Di sinilah relevansi Excellence Theory yang menekankan pentingnya komunikasi dua arah yang simetris. Teori ini menegaskan bahwa humas yang unggul tidak hanya mengirim pesan, tetapi juga mendengarkan, memahami, dan memberikan respons yang dicari publik. Humas bukan sekadar corong kekuasaan, melainkan penjaga ekosistem komunikasi demokratis. Keunggulan humas ditentukan oleh kemampuannya memastikan kritik publik tidak dibaca sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari dinamika komunikasi antara warga dan pemerintah.

Jika melihat sejumlah polemik, kritik yang muncul sering kali tidak dijawab oleh institusi, melainkan oleh figur yang kemudian menyeret isu tersebut ke wilayah personal. Pola ini menciptakan ketidakseimbangan komunikasi yang dialogis. Dalam konteks Excellence Theory, absennya komunikasi simetris adalah akar dari kegaduhan yang terjadi. Warga merasa dibiarkan sendiri menghadapi respons yang tidak proporsional, sementara institusi yang seharusnya berperan justru tidak hadir.

Dampaknya tidak kecil. Citra gubernur menjadi rentan. Publik menilai pemerintah anti-kritik, padahal persoalannya adalah ketiadaan kanal respons yang profesional. Institusi pemerintah kehilangan suara resminya sehingga warga tidak memiliki rujukan yang jelas untuk memahami duduk perkaranya. Akibatnya spekulasi kian melebar karena ketiadaan informasi yang seimbang dan memadai.

Dalam kondisi seperti ini, Humas Pemprov Kaltim tidak hanya harus hadir, tetapi harus proaktif. Mereka tidak perlu menunggu permintaan klarifikasi dari media atau menunggu isu berkembang liar sebelum bertindak. Kanal komunikasi resmi seperti website Pemprov, akun media sosial, siaran pers, konferensi pers, hingga video penjelasan singkat, harus digunakan secara cepat begitu sebuah isu menyentuh reputasi institusi atau menimbulkan potensi mispersepsi publik. Ketika pemerintah terlalu lama diam, publik menganggap kebisuan itu sebagai sikap yang dapat mereduksi legitimasi.

Namun, proaktif tidak berarti berbicara dalam semua situasi. Ada perbedaan jelas antara isu yang harus direspons pasif dan isu yang menuntut respons proaktif. Isu bersifat pasif biasanya menyangkut persoalan yang tidak terkait dengan kebijakan, tidak memengaruhi persepsi publik, dan hanya berupa opini personal yang tidak berkembang menjadi diskursus publik. Dalam situasi demikian, diam adalah strategi untuk menghindari pembengkakan isu yang tidak memiliki konsekuensi institusional.

Sebaliknya, isu harus ditangani secara proaktif ketika sudah menyentuh tiga kategori utama. Pertama, ketika opini publik mulai menilai bahwa kritik yang muncul adalah cerminan ketidakmampuan pemerintah. Kedua, ketika nama gubernur atau Pemprov terseret dalam polemik meskipun substansi kritik sebenarnya tidak menyentuh kebijakan. Ketiga, ketika ada misinformasi atau framing keliru yang berpotensi menggores reputasi institusi. Terakhir, ketika polemik berkembang dan narasi personal mengambil alih, Humas seharusnya langsung mengeluarkan klarifikasi institusional yang menjernihkan situasi. Bukan hanya untuk meredam perdebatan, tetapi untuk menjaga agar citra pemerintah tidak dicampuradukkan dengan reaksi personal pihak lain.

Pada akhirnya, responsibilitas Humas Pemprov Kaltim adalah keharusan. Mereka mesti merebut kembali otoritas komunikasi resmi, tidak membiarkan narasi publik dibentuk oleh figur yang tidak memiliki kredibilitas. Humas harus menjawab isu dengan cepat, jernih, dan berbasis data. Mengganti pola komunikasi satu arah dengan pola dialogis yang sehat. Jika langkah-langkah ini dilakukan, citra gubernur dan Pemprov Kaltim tidak lagi terganggu oleh kegaduhan yang sebenarnya dapat dikelola sejak awal. Pemerintah yang baik bukan hanya dilihat dari kebijakan, tetapi dari bagaimana ia berkomunikasi. Di titik inilah Humas Pemprov wajib terdepan. (*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co


Berita Lainnya