Nasional

Putusan PK Mardani Maming Dikritik, Mantan Ketua MK dan Pakar Hukum Desak Pembatalan

Kaltim Today
07 November 2024 19:37
Putusan PK Mardani Maming Dikritik, Mantan Ketua MK dan Pakar Hukum Desak Pembatalan
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva.

JAKARTA, Kaltimtoday.co - Putusan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus Mardani H. Maming di Mahkamah Agung (MA) mendapat kritik tajam dari sejumlah pakar hukum. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva, menilai putusan tersebut jauh dari ideal dan seharusnya dibatalkan, mengingat berbagai kekhilafan dan kesalahan penerapan hukum yang ditemukan dalam proses pengadilan sebelumnya.

Hamdan Zoelva mencatat adanya tiga pertentangan utama dalam putusan tersebut. Salah satunya terkait dengan penerapan Pasal 93 UU No. 4/2009 tentang Minerba, yang menurutnya tidak tepat diterapkan pada perkara ini.

“Dalam hukum administrasi negara, setiap keputusan pejabat administrasi dianggap sah sampai dibuktikan sebaliknya melalui upaya administratif atau peradilan tata usaha negara,” ujar Hamdan dalam pernyataan resminya.

Selain itu, Hamdan juga menyoroti kekurangan dalam pembuktian unsur suap. Ia menjelaskan bahwa tidak ada bukti mengenai adanya “meeting of mind” atau kesamaan kehendak antara pihak pemberi dan penerima suap (Mardani H. Maming) sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf b UU Tipikor. Suap, menurutnya, tidak bisa terjadi tanpa kesepakatan kedua belah pihak.

Hamdan juga mencatat adanya pertentangan antara putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Pengadilan Niaga. Dalam putusan Tipikor, Mardani dinyatakan menerima hadiah dalam bentuk dividen dan fee, namun putusan Pengadilan Niaga menyatakan bahwa pemberian uang oleh PT. PCN merupakan bagian dari hubungan bisnis.

“Pertentangan ini seharusnya menjadi dasar kuat untuk membatalkan putusan Tipikor, karena mengaitkan dua peristiwa berbeda adalah sesat logika,” tegas Hamdan.

Hamdan menilai bahwa prinsip imparsialitas telah dilanggar dalam kasus ini. Ia mengkritik majelis hakim yang hanya mempertimbangkan keterangan satu saksi, melanggar asas unus testis nullus testis, dan hanya mengandalkan testimonium de auditu tanpa bukti konkrit yang sinkron. “Keadilan harus ditegakkan dengan kacamata jernih dan objektif tanpa intervensi pihak mana pun,” ujarnya.

Senada dengan Hamdan, Guru Besar Hukum dari UII, Prof. Hanafi Amrani, menyebut adanya kekeliruan dalam penerapan hukum, yang mengabaikan fakta persidangan. Menurutnya, pertimbangan hakim dalam putusan ini adalah “lompatan pemikiran” yang tidak bisa diterima dan tidak terbukti di pengadilan.

Lebih tegas lagi, Prof. Dr. Todung Mulya Lubis menyebut bahwa kasus ini mengandung miscarriage of justice atau peradilan sesat. Menurut Todung, majelis hakim tampak “terperangkap” dalam pengaruh tertentu, sehingga hanya mempertimbangkan keterangan saksi yang mendukung tuduhan, sementara saksi lain dengan keterangan berbeda diabaikan.

“Dalam kasus ini, hakim seperti terperangkap,” tandas Todung.

[TOS | ADV]



Berita Lainnya