Opini

Ramadan Bulan Literasi

Kaltim Today
04 Mei 2020 09:16
Ramadan Bulan Literasi

Oleh: Rifqi Rosyidi Lc., M.Ag (Pengasuh Pondok Pesantren Istiqamah Muhammadiyah Samarinda)

Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui dua tahap. Pertama, diturunkan secara keseluruhan dari lauhu-l-mahfudz dan "diserahterimakan" kepada Malaikat Jibril yang mendapat amanah untuk menyampaikan wahyu  kepada Nabi Muhammad. Kedua, diturunkan secara bertahap oleh Malaikat Jibril kepada Muhammad sesuai dengan perintah dan arahan Allah subhânahû wa ta`âlâ.

Proses turunnyaAl-Quran secara keseluruhan kepada Malaikat Jibril terjadi pada salah satu malam di antara 10 malam terakhir bulan Ramadan, yang kemudian dikenal dengan malam lailatul Qadar yang penuh dengan kemuliaan sebagai mana yang tertuang di surat Al-Qadar. Dan kemudian sebagai tonggak awal dari proses panjang turunnya Al-Quran tahap kedua dari Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dimulai dengan turunnya 5 ayat pertama surat Al-`Alaq pada malam 17 Ramadan ketika nabi sedang berada di Gua Hira, yang selanjutnya dalam tradisi keberagamaan Indonesia menjadi salah satu hari besar Islam dan diperingati setiap tahun dalam bentuk kajian dan pengajian agama sebagai rangsangan internalisasi peristiwa nuzûlu-l-Qur`ân dalam kehidupan sehari-hari. Inilah salah satu alasan mengapa bulan Ramadan disebut dengan syahru-l-Quran (bulan Al-Quran), di samping itu Allah di dalam surat Al-Baqarah ayat 185 juga menyebutkan dengan jelas keutamaan bulan Ramadan sebagai bulan Al-Quran.

Al-Quran merupakan satu-satunya mukjizat agung sepanjang masa, yang tidak lekang ditelan waktu dan zaman, dan salah satu mukjizat dzâtiyyah istimewa bagi Nabi Muhammad yang menjadi jaminan keautentikan Al-Quran adalah ketidakmampuan beliau untuk membaca dan menulis (ummy). Tetapi anehnya 5 ayat di dalam surat Al-`Alaq yang diterima Nabi Muhammad sebagai wahyu pertama dan sekaligus mengukuhkannya sebagai nabi dan rasul mengandung perintah untuk membaca padahal nabi tidak bisa membaca. Wahyu pertama ini menjadi istimewa karena Jibril mendatangi Nabi Muhammad dalam wujud aslinya, mendekap dan memerintahnya untuk membaca seraya berkata: iqra` (bacalah!), Nabi menjawab: mâ anâ bi qâri` (saya tidak bisa membaca), karena memang Nabi Muhammad adalah ummy; tidak mampu membaca dan menulis. Proses awal berat yang dialami nabi ketika menerima wahyu pertama adalah fakta sejarah gerakan literasi yang digagas oleh Islam. Dan kegiatan literasi yang paling mendasar adalah membaca, sebagaimana kandungan ayat-ayat tersebut.

Perintah Jibril: Iqra` (bacalah) kepada Nnabi Muhammad yang tidak mampu membaca, tidak bisa dikategorikan memberikan beban di luar batas kemampuannya, akan tetapi sebenarnya yang harus dicermati dari setiap peristiwa sejarah adalah muatan dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Salah satu pesan moral yang bisa kita garis bawahi adalah bahwa keterbatasan bukan alasan untuk tidak membaca (belajar). Bahkan dalam prosesnya perintah membaca itu diulang sampai 3 kali dan dengan sedikit “paksaan”. Yang demikian ini merupakan indikasi kuat bahwa, membaca itu harus menjadi budaya dan kebutuhan hidup. Dan sebagai umat Islam harus meyakini bahwa membaca merupakan bagian dari ibadah karena perintahnya datang melalui wahyu ilahi dengan cara yang sangat istimewa.

Bentuk gerakan literasi kedua yang dapat diambil dari wahyu pertama ini adalah budaya menulis. Hal ini bisa dipahami dari ayat ke 4: “Yang mengajar (manusia) dengan perantara Qalam (pena)”. Dan di dalam Al-Quran juga ada salah satu surat dengan nama Al-Qalam, yaitu surat urutan ke 68 dan bunyi ayat pertama dari surat ini berbicara tentang fungsi pena sebagai alat untuk menuliskan segala sesuatu: “Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis”. Lebih dari itu di dalam kajian teologi dan didasarkan pada dalil yang kuat disebutkan bahwa, makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah adalah qalam (pena) dan dengan pena ini Allah menuliskan semua ketentuan dan ketetapan segala sesuatu yang terkait dengan makhluk-Nya.

Nama Al-Quran itu sendiri sebenarnya sudah mengandung unsur dasar dari semangat literasi dalam bentuk gerakan membaca dan menulis. Menurut kajian linguistik, kata Al-Quran di samping bermakna kumpulan karena berasal dari kata al-qur`u, juga merupakan perubahan bentuk dari kata dasar qara-a yang artinya membaca. Di samping itu nama lain dari Al-Quran adalah Al-Kitâb sebagaimana yang disebutkan di dalam Q.S. al-Baqarah [2] ayat 2: “Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. Dan Al-Kitab yang dalam bahasa arab terapan lazim diartikan dengan buku/kitab merupakan pecahan dari kata kataba yang artinya menulis.

Dua bentuk gerakan literasi membaca dan menulis inilah sebenarnya yang pengaruhnya mampu membangun prinsip-prinsip peradaban yang berkemajuan. Kita sering mendengar kutipan motivasi tentang pentingnya membaca, seperti "membaca dapat membuka jendela dunia". Ini menunjukkan betapa pentingnya membaca bagi kecerdasan dan keterdidikan seseorang ketika menyikapi perbedaan misalnya. Dengan banyak membaca seseorang akan menjadi pribadi yang berbeda karena banyak yang diketahui; gaya bicara yang terstruktur, cara dan kerangka berpikir yang dibangun di atas landasan yang kuat. “Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui. . .”.

Sedangkan menulis adalah salah satu bentuk kegiatan keilmuan dalam rangka mendokumentasikan gagasan-gagasan pribadi, yang pada tataran tertentu gagasan yang terdokumentasikan dengan baik tersebut mampu mempengaruhi perilaku dunia. Para ulama dan imam empat madzhab yang mampu mempengaruhi perilaku umat Islam pada tataran ibadah praktis sampai saat ini adalah karena gagasan-gagasan yang terdokumentasikan dengan baik. Tradisi menulis itupun menjadi bagian dari ibadah bagi ulama dengan tujuan memberikan pencerahan keberagamaan bagi umat Islam. Imam Nawawi adalah satu model penulis produktif. Beliau yang merupakan salah satu tokoh sentral di madzhab syafi`iyyah, diyakini oleh banyak pihak bahwa jumlah karya tulisnya lebih banyak dari usianya.

Gebrakan fenomenal pernah dilakukan oleh para sahabat, ketika keadaan memaksa untuk melakukan kodifikasi Al-Quran pada masa khalifah Abu Bakar, dengan menulis ulang ayat-ayat Al-Quran yang terserak di berbagai media dengan pengawasan ketat dari para huffâdzu-l-Qur`an karena gerakan kodifikasi ini mengemban tanggung jawab originalitas dan belum pernah dilakukan pada masa kenabian.

Gerakan kedua dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan pengembangan dari jasa khalifah Abu Bakar dengan memperbanyak salinan mushaf Al-Quran dan selanjutnya dikirim ke berbagai negara Islam pada masa itu untuk dijadikan pedoman dalam pembelajaran Al-Quran. Kaidah dalam penulisan mushaf para periode ini kemudian dikenal dengan nama ar-rasm al-`utsmany (kaidah penulisan bahasa arab di dalam Al-Quran yang dilegitimasi oleh Khalifah Utsman).

Gerakan ketiga dilakukan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib dengan menyempurnakan kaidah penulisan bahasa arab menggunakan titik dan harakat. Gerakan-gerakan yang pada masanya penuh dengan “perdebatan” akhirnya dapat kita rasakan manfaatnya, khususnya umat Islam yang tidak semua mampu berbahasa arab, sekarang dengan mudah dapat membaca Al-Quran bahkan menghafalnya. Gagasan-gagasan besar para sahabat dalam wujud gerakan literasi ini merupakan salah satu bentuk pembaharuan yang bersifat ta`abbudi dengan tujuan memudahkan umat Islam dalam melaksanakan ibadahnya terutama yang terkait dengan bacaan shalat, yaitu Al-Qur`an.

Ramadan sebagai bulan Al-Quran, dimana wahyu pertama turun dengan kandungan utama perintah membaca juga diturunkan di bulan Ramadan, seharusnya dijadikan sebagai titik tolak bagi umat Islam untuk membangun peradaban Al-Quran di dalam kehidupan pribadi dan keluarganya melalui gerakan literasi. Dan kegiatan literasi dasar yang bisa dimulai adalah dengan membacanya (tilawah Al-Qur`ân) dengan intensitas yang terstruktur. Mudah-mudahan dengan intensitas membaca Al-Quran yang tinggi, terstruktur dan terukur kita mendapatkan pengaruh positif sebagaimana kandungan ayat berikut ini: “dan apabila kamu membaca Al-Quran niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup”. (Q.S. Al-Isra` [17]: 45). (*)

*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya