Opini

Memverifikasi Pernyataan Sejarah Menbud Fadli Zon

Kaltim Today
02 Juni 2025 08:46
Memverifikasi Pernyataan Sejarah Menbud Fadli Zon
Kuliah Umum Menteri Kebudayaan Fadli Zon di UMKT Samarinda 30 Mei 2025. (Foto: Muhammad Sarip)

Oleh Muhammad Sarip (Sejarawan Publik)

Dalam ingatan sebagian publik peminat sejarah di Kaltim, Fadli Zon adalah orang yang menerima gelar kontroversial kebangsawanan Kutai dari seseorang yang mengklaim sebagai Raja Mulawarman masa kini.

Jejak digital info dan foto serah terima sertifikat kebangsawanan dari seseorang bernama Iansyah Rechza alias Raja Labok kepada Fadli Zon tersedia di beberapa website sejak 2018. Problemnya adalah sejak 1999 entitas Kutai memiliki lembaga kesultanan yang valid secara tradisional, kultural, maupun legal formal. Kesultanan Kutai direstorasi dengan perubahan sedikit huruf, dari “Kutai Kertanegara Ing Martapura” menjadi “Kutai Kartanegara Ing Martadipura”.

Pada 1999 Majelis Adat Kutai menobatkan Sultan Adji Muhammad Salehuddin II. Presiden Abdurrahman Wahid melegitimasinya pada 2000. Setelah Sultan Salehuddin II mangkat pada 2018, Adji Muhammad Arifin dinobatkan sebagai Sultan Kutai dengan memakai ketopong atau mahkota emas asli warisan Sultan Aji Muhammad Sulaiman yang dipinjam dari Museum Nasional Jakarta. Adapun Labok sama sekali bukan keturunan Sultan Kutai dan tidak diakui sebagai raja di Kutai.

Pengungkapan peristiwa Fadli Zon dan gelar dari Labok ini adalah bridging awal untuk kita memahami kontroversi di awal 2025 tentang proyek penulisan ulang sejarah nasional Indonesia. Berikutnya, kita perlu mengungkap background profil Fadli Zon. Jabatannya per 21 Oktober 2024 memang Menteri Kebudayaan. Tapi jangan lupa, selama 10 tahun sebelumnya (2014–2024) dia adalah politikus di DPR RI.

Fadli Zon juga pendiri partai politik Gerindra bersama Prabowo Subianto pada 2008. Sewaktu kuliah S-1 Sastra Rusia di Universitas Indonesia (1990–1997), dia aktivis Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI dengan prestasi akademik yang juga cemerlang. Saat gerakan Reformasi 1998, Fadli Zon adalah anggota MPR RI periode terakhir Orde Baru, yang gedung dan lembaganya menjadi sasaran demonstrasi mahasiswa.

Sekarang kita masuk ke polemik penulisan ulang sejarah nasional. Proyek ini digagas oleh Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) yang dipimpin Fadli Zon. Pelaksana teknisnya oleh Direktur Sejarah dan Permuseuman Prof Agus Mulyana. Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini menyingkirkan kubu Hilmar Farid dalam pemilihan Ketua Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) periode 2021–2026.

MSI periode sebelumnya (2016–2021) diketuai oleh Hilmar Farid, yang juga Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbudristek 2015–2024. Dengan posisi Hilmar tersebut, kegiatan MSI sangat aktif dan sering berkolaborasi dengan Kemdikbudristek. Namun, sejak era MSI Agus Mulyana, tidak ada lagi kolaborasi antara MSI dan Kemdibudristek. Situasi ini berubah sejak Menbud dijabat oleh Fadli Zon. MSI kembali dilibatkan dan ketuanya diangkat sebagai pejabat urusan sejarah di Kemenbud.

Setelah kabar penulisan ulang sejarah diperbincangkan publik, Menbud membuat pernyataan klarifikasi. Dalam Rapat Kerja di DPR RI 26 Mei 2025 Menbud menyatakan bahwa buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) perlu ditulis ulang karena narasi sejarah pasca-1998 sejak periode Presiden Habibie belum masuk dalam buku SNI yang lama. Ketika menyinggung buku Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS) yang diterbitkan oleh pemerintah pada 2012, Fadli Zon hanya menyatakan isinya topical, tanpa mengungkap sampai periode kapan materinya.

Di gedung DPR itu Menbud membawa 6 jilid buku SNI terbitan 2008 dan 9 jilid buku IDAS yang diletakkan di meja tempat dia berbicara. Saya memeriksa kembali buku IDAS jilid ke-8, yang judulnya Orde Baru dan Reformasi. Di bab terakhir terdapat deskripsi sejarah era Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono.

Pernyataan berikutnya Menbud bahwa SNI perlu ditulis ulang untuk menghapus bias kolonialisme dan menegaskan perspektif Indonesia-sentris. Menbud mencontohkan peristiwa Agresi Militer 1947 dan 1948 dalam perspektif Belanda disebut sebagai Aksi Polisionil alias upaya penertiban terhadap ekstremis. Dalam perspektif Indonesia, tindakan Belanda itu merupakan Agresi Militer terhadap Negara Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Dengan statement misi Indonesia-sentris untuk buku SNI yang baru, apakah itu artinya SNI lama mengadopsi Belanda-sentris? Mari kita verifikasi. Ide historiografi Indonesia yang mengubah perspektif Belanda-sentris menjadi Indonesia-sentris telah dimulai sejak Seminar Sejarah Nasional pertama pada 14–18 Desember 1957. Pemerintah dan para sejarawan sepakat untuk menuliskan SNI dari sudut pandang Indonesia, bukan kaca mata kolonial. Penerbitan buku SNI baru terealisasi pada 1975 setelah Seminar Sejarah Nasional kedua pada 26–29 Agustus 1970. Buku SNI ini dimutakhirkan pada 2008.

Buku SNI terbitan Orde Baru ini dijadikan referensi untuk kurikulum mata pelajaran sejarah di sekolah. Untuk narasi serangan militer Belanda ke Indonesia pada 1947 dan 1948, yang dituliskan dalam buku pelajaran itu adalah Agresi Militer Belanda. Tidak pernah ada buku pelajaran resmi yang menuliskan bahwa peristiwa itu merupakan Aksi Polisionil alias tindakan legal dari pemerintah Belanda sebagai pemilik sah Indonesia terhadap para pengacau pribumi.

Saya memeriksa kembali buku cetak SNI yang saya koleksi. Terdapat prakata editor umum oleh Prof Sartono Kartodirdjo bertarikh akhir 1974. Sartono—yang kemudian mengundurkan diri—menyatakan secara tegas bahwa penulisan sejarah yang Neerlando-sentrisme perlu diganti dengan Indonesia-sentrisme. Pada kata sambutan Mendikbud Sjarif Thayeb tertanggal 5 Maret 1975 disebutkan bahwa buku ini ditulis dengan orientasi nasional dan tidak menggunakan versi asing.

Penulisan buku SNI lama memang sudah menggunakan perspektif Indonesia-sentris. Namun, muncul problem berikutnya. Konsep Indonesia-sentris kemudian terimplementasi menjadi sejarah yang Jawa-sentris. Tiap periode dari zaman purba, kerajaan Hindu-Buddha, kerajaan Islam, era kolonial, hingga era Republik, porsi teks sejarah di Jawa lebih dominan ketimbang luar Jawa.

Teks sejarah di Kalimantan yang paling minim. Teks sejarah Kerajaan (Kutai) Martapura dinasti Aswawarman putra Kundungga hanya ditulis dalam 14 halaman di SNI jilid I dan cuma 9 halaman di IDAS jilid 2. Sementara teks Kerajaan Kutai Kertanegara hanya ditulis dalam 16 baris, tak sampai setengah halaman di SNI jilid III. Di IDAS jilid 3, pembahasan Kutai Kertanegara juga tak sampai setengah halaman. Mau mencari teks sejarah Kerajaan Paser, Berau, Sambaliung, Gunung Tabur, Tunjung, Bulungan, Tidung, dan entitas Dayak lainnya? Di SNI dan IDAS, dua-duanya zonk, tak ada!

Pernyataan ketiga Menbud tentang perlunya menulis ulang SNI adalah perubahan terminologi “prasejarah” menjadi “sejarah awal” (early history). Keinginan mengubah istilah ini memang tidak mengubah substansi teks konstruksi ceritanya, meskipun ada penambahan stori. Namun, terdapat perbedaan metodologi antara narasi sejarah berbasis tulisan dan rekonstruksi sejarah berbasis analisis artefak dan fosil yang tanpa tulisan. Dampak dari perdebatan istilah ini sampai mengakibatkan mundurnya Profesor Riset BRI Harry Truman sebagai editor dan kontributor penulis SNI baru.

Para ilmuwan sejak dulu sepakat, istilah prasejarah (prehistory) tidaklah bermakna bahwa tidak ada sejarah sebelum manusia mengenal aksara. Kehidupan manusia purba sebelum kenal tulisan direkonstruksi sesuai metode riset arkeologi. Berbeda dengan peradaban manusia setelah mengenal tulisan yang diteliti dengan metode riset sejarah. Menurut Truman, penghapusan istilah prasejarah merupakan kesalahan fatal karena menghapus nomenklatur keilmuan (Tempo, 24 Mei 2025).

Pernyataan Menbud yang lain tentang peristiwa Madiun 1948 dan Gerakan 30 September 1965. Dia bilang, narasi 1965 tetap mengacu pada SNI yang lama, yakni Partai Komunis Indonesia sebagai pelaku dan dalang pemberontakan. Sikap dan pemikiran Fadli Zon terhadap narasi 1965 memang jelas dan tegas sejak dulu, PKI sebagai pemberontak. Bahkan, pada 2021—dikutip dari banyak media—Fadli menuding Hilmar Farid sebagai Dirjen Kebudayaan yang membela PKI.

Dalam merespons narasi sejarah 1965, Menbud berkomitmen akan tetap mempertahankan konten SNI lama. Inilah kecerdikan bahasa diplomatis dan politis Fadli Zon. Menbud tidak bilang akan mengacu buku IDAS, karena dia paham bahwa buku yang ditulis oleh 100 akademisi itu tidak menyebut PKI sebagai dalang tunggal G30S. Buku IDAS memang berbeda prinsip dengan SNI dalam teks G30S. IDAS hanya menulis singkatan G30S, tanpa tambahan garis miring PKI. Buku SNI lama selain menyatakan PKI sebagai dalang, juga mengglorifikasi peran Pangkostrad Mayjen Soeharto sebagai “pahlawan” penumpasan kudeta PKI.

Buku IDAS yang diterbitkan zaman Presiden SBY pada jilid ke-7 yang berjudul Pascarevolusi mengungkapkan enam teori G30S. Keenam teori itu adalah teori persoalan internal Angkatan Darat, teori CIA sebagai dalang, teori kepentingan Inggris dan Amerika Serikat, teori Sukarno sebagai dalang, teori chaos, dan teori elite PKI sebagai dalang.

Sejak awal pernyataan Menbud, buku IDAS memang tidak diungkap bagaimana substansinya. Menbud selalu mengacu buku SNI yang lama. Inilah gunanya mengetahui portofolio dan pemikiran Fadli Zon. Dia termasuk yang mendukung pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto.

Sebagai pendukung heroisme Soeharto, tentu saja Fadli harus menegasikan, mengeliminasi, menyingkirkan, atau minimal men-downgrade buku IDAS. Kenapa begitu? Buku IDAS jilid ke-8 itu banyak menuliskan peristiwa negatif selama Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Ada narasi pembunuhan massal pasca-G30S, konflik elite militer di lingkaran Presiden Soeharto, kerusuhan Malari 1974, represif terhadap gerakan mahasiswa melalui NKK/BKK 1978, kasus Papua, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), insiden Santa Cruz (Timor Timur) 1991, hingga politik penebaran rasa takut di masyarakat untuk stabilitas rezim.

Pertemuan Prof Aidul Fitriciada Azhari (Dekan Fakultas Hukum UMKT), Muhammad Sarip (penulis Histori Kutai), dan Fajar Alam (Ketua Prodi Teknik Geologi UMKT) di Samarinda 30 Mei 2025
Pertemuan Prof Aidul Fitriciada Azhari (Dekan Fakultas Hukum UMKT), Muhammad Sarip (penulis Histori Kutai), dan Fajar Alam (Ketua Prodi Teknik Geologi UMKT) di Samarinda 30 Mei 2025.

Jumat, 30 Mei 2025 Menbud berkunjung ke Kalimantan Timur. Saya mendengar info, bahwa faktor utama Fadli Zon menjadwalkan kehadiran di Samarinda adalah memenuhi permintaan dari sahabatnya, yaitu Prof Dr Aidul Fitriciada Azhari. Menbud diminta menjadi pembicara pada kuliah umum di UMKT untuk topik “Menggali Kearifan Lokal: Perbandingan Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam Masyarakat Modern”.

Prof Aidul adalah Dekan Fakultas Hukum UMKT sekaligus Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) periode 2020–2024. Sementara Fadli Zon adalah Ketua HIPIIS periode 2024–2028. Interaksi Aidul dan Fadli cukup intensif ketika Aidul bertugas sebagai Ketua Komisi Yudisial pada 2016–2018 dan Fadli Zon menjabat Wakil Ketua DPR RI periode 2014–2019.

Saya hadir pada kuliah umum Menbud di UMKT memenuhi undangan dari Fakultas Hukum UMKT, dengan surat formal yang ditandatangani oleh Prof Aidul. Rundown yang disusun meleset 1,5 jam. Menbud baru tiba di UMKT sekitar pukul 10 Wita. Durasi tak mungkin diperpanjang karena ada jadwal salat Jumat yang tak bisa ditunda.

Presentasi Menbud di Aula UMKT bersifat normatif dan retoris, tentang visi dan misi Kemenbud melestarikan kebudayaan lokal. Soal penulisan ulang sejarah nasional disinggung, tetapi substansinya sama sebagaimana yang telah beredar. Sesi tanya jawab hanya untuk dua mahasiswa. Itu pun pertanyaan retorik.

Forum dengan keterlibatan protokoler birokrasi Pemerintah Provinsi Kaltim dan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XIV ini memang sulit untuk membahas diskursus yang signifikan. Di ruang publik pada permukaannya lebih tampak seremonial, seperti sambutan-sambutan pejabat dan prosesi serah terima cendera mata.

Malamnya saya bersama Ketua Program Studi Teknik Geologi UMKT bertemu dengan Prof Aidul di sebuah hotel di Samarinda. Prof Aidul memang pimpinan kampus di Samarinda. Namun, Wakil Ketua Pengurus Besar HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) periode 1992–1993 ini juga akademisi di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Alumnus Universitas Padjadjaran dan UI ini merupakan Guru Besar Ilmu Hukum Bidang Hukum Konstitusi UMS. Prof Aidul tidak berdomisili di Kaltim.

Prof Aidul ingin berdiskusi tentang sejarah kerajaan di Kaltim. Saya memberikan buku berjudul Histori Kutai: Peradaban Nusantara di Timur Kalimantan dari Zaman Mulawarman hingga Era Republik. Selama 2,5 jam, saya lebih banyak menyimak info dan insight seputar dunia politik, hukum, hankam dari Prof Aidul. Di pertemuan terbatas dan ruang tertutuplah hal-hal undercover bisa diungkap secara bebas dan terbuka.

Yang tampak di panggung depan dengan sorotan kamera kadang berbeda dengan realitas sebenarnya yang ada di panggung belakang tanpa kamera. (*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya