Nasional
Refleksi Kondisi Terkini Papua dan Lingkaran Kekerasan Tak Berujung
Papua terus berada dalam bayang-bayang kekerasan, sebuah realitas yang belum juga terlepas meski adanya janji perdamaian dari pemerintah Indonesia. Teranyar, di penghujung tahun, Papua diwarnai insiden berdarah.
Kaltimtoday.co - Bersamaan dengan pemakaman Lukas Enembe, mantan Gubernur Papua yang meninggal dua hari sebelumnya, kerusuhan pecah di provinsi tersebut. Insiden ini melukai sedikitnya 14 orang.
Aktivis HAM Mathius Murib mengenang Enembe sebagai sosok penting dan disayangi di Papua, terlepas dari kontroversi korupsi yang menerpanya. Enembe, yang menjabat Gubernur selama dua periode, sering kali berselisih dengan pemerintah pusat, sebuah dinamika yang mencerminkan perbedaan pendapat dan konflik yang berkepanjangan di Papua.
Murib menggambarkan Enembe sebagai sosok yang tulus dan berpihak pada rakyat Papua. "Dia selalu mengungkapkan apa yang dipikirkan masyarakat. Meskipun seharusnya mewakili pemerintah pusat, kesannya dia lebih memihak kepada rakyat Papua," jelas Murib dikutip dari VOA.
Dari Pemakaman Enembe ke Kasus Baru di Tahun Baru
Selama satu dekade kepemimpinan Enembe, perdamaian sejati di Papua masih jauh panggang dari api. Sikapnya yang sering berseberangan dengan Jakarta dianggap sebagai faktor utama. Konflik berkaitan dengan UU Otsus Papua dan pemekaran wilayah menjadi titik panas yang sering memicu kekerasan.
Murib menambahkan, cinta rakyat Papua pada Enembe tidak tergoyahkan, terlepas dari ketegangan politik tersebut. Pembakaran dan kerusuhan yang terjadi pasca pemakaman Enembe hanya memperpanjang daftar kekerasan di wilayah tersebut.
Situasi kekerasan di Papua tidak berhenti di 2023. Pada 1 Januari 2024, Daud Bano ditemukan tewas di Kampung Karya Bumi, Jayapura, menyusul perselisihan dengan anggota TNI. Kematian Bano memicu lebih banyak kekerasan dan menyebabkan hampir seribu warga mengungsi.
AKBP Fredrickus W.A Maclarimboen, S.IK., Kapolres Jayapura, mengungkapkan bahwa ada tiga lokasi pengungsian dengan total 928 warga. Serangkaian kejadian menyedihkan ini menunjukkan peningkatan kekerasan di wilayah tersebut.
Marinus Yaung, akademisi Papua, menekankan bahwa setiap insiden kekerasan memiliki akar historis yang perlu ditangani. "Kekerasan saat ini adalah hasil dari masalah-masalah yang tidak terselesaikan di masa lalu," ucap Marinus.
Mengurai Benang Kusut Kekerasan di Papua
Franky Samperante dari Yayasan Pusaka Papua berpendapat bahwa kerusuhan pasca kematian Enembe mencerminkan masalah struktural yang lebih dalam. "Kekerasan dan reaksi masyarakat ini terkait dengan isu struktural yang telah lama ada," kata Franky.
Para tokoh seperti Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dan Marzuki Darusman menyerukan solusi damai untuk Papua. Mereka mengkritik tingginya ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat dan menuntut penanganan yang lebih adil terhadap pelanggaran HAM.
Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) mencatat 56 kasus kekerasan dan konflik bersenjata di Papua selama Januari-November 2023. Mereka men
ekankan pentingnya pendekatan yang lebih manusiawi dan adil dalam mengatasi masalah di Papua, jauh dari sekedar pembangunan infrastruktur.
Latifa Kuswariba Alhamid dari ALDP menyoroti bahwa konflik di Papua sering terjadi di area publik, memperburuk kondisi masyarakat sipil. "Pengungsi meningkat, dan mereka membutuhkan perhatian serius dari pemerintah," kata Latifa.
[VOA | TOS]
Related Posts
- Miris! Ini 5 Fakta di Balik Polemik “All Eyes On Papua”, Ada Apa?
- Polemik Baru! Ini Arti Slogan “All Eyes On Papua” yang Viral di Media Sosial
- Longsor di Papua Nugini, 670 Orang Dilaporkan Tewas
- Apa Itu Noken? Tradisi Unik Papua dalam Sistem Pemungutan Suara di Pemilu 2024
- Terdakwa Kasus Suap Lukas Enembe Emosi dan Banting Mikrofon di Pengadilan