Opini
Review Buku Unis Sagena dan Tradisi Kritik Karya di Kaltim
Oleh: Muhammad Sarip, sejarawan publik
AWAL tahun 2025 saya dikirimi dua judul buku. Buku pertama berjudul Buat Apa Rindu Kau Terjemahkan. Buku kedua berjudul Tiada Jembatan yang Tak Luka. Penulisnya bernama Unis Sagena. Seorang pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Mulawarman Samarinda.
Sang dosen meminta saya membuat review atas bukunya. Sebelum bukunya diterima, saya tak bertanya bukunya genre apa. Saya pikir bukunya itu kumpulan esai.
Paket buku yang saya terima berjumlah empat eksemplar. Dua judul buku masing-masing dua eksemplar. Penulisnya meminta bantuan saya untuk mendonasikan dua bukunya ke Perpustakaan Kota Samarinda. Saya pun menyerahkannya kepada Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Samarinda Erham Yusuf dan pustakawan Inui Nurhikmah di gedung buku di Jalan Kesuma Bangsa Samarinda (16/1/2025).
Ternyata kedua bukunya merupakan kompilasi puisi. Saya langsung flash back teringat beberapa tahun lalu ada seorang penulis yang meminta saya menuliskan kata pengantar untuk buku puisinya. Saya menolaknya karena saya merasa tidak berkompeten dalam bidang persajakan dan karangan fiksi lainnya. Semua karya tulis saya berjenis nonfiksi. Bahkan buku-buku saya berbasis metode penelitian sejarah yang menghindari kontaminasi fiksi.
Saya sudah bilang ke penulisnya bahwa saya tak punya kapabilitas sebagai kritikus sastra. Namun, saya hanya akan berkomentar sebagai pembaca umum. Sebelumnya saya juga perlu mengonfirmasi bahwa penulisnya adalah seorang yang selain mau menerima terstimoni pujian, juga siap menerima kritik.
Saya perlu meng-highlight perihal kritik karya karena di Kalimantan Timur secara umum belum punya tradisi mengkritik karya. Para penulis lebih senang dengan pujian atas buku yang mereka terbitkan. Para pengarang lebih bangga jika karyanya dipuja-puji orang lain walaupun si pemuji belum membaca isi karyanya.
Sebagian penulis Kaltim jadi seolah hanyut dan terbuai dengan puja-puji. Belasan atau puluhan buku diterbitkan oleh satu penulis. Tapi tak pernah ada satu pun kritik yang dia terima. Pernah ada individu yang melontarkan kritik atas sebuah karya. Yang terjadi malah ‘pembungkaman’ terhadap si pengkritik.
Dalam lingkup terbatas dan tertutup skena literasi tertentu di Kaltim, sebenarnya ada karya-karya yang mutunya diperdebatkan. Namun, mereka menyadari, iklim kritik di Kaltim tak seterbuka dan sebebas skena literasi di Pulau Jawa. Di Kaltim masih berlaku sikap baperan jika ada yang mengkritik karyanya.
Tak hanya baper, kritik terhadap karya juga akan dilawan dengan ad hominem. Si penulis yang dikritik akan menyerang pribadi si pengkritik. “Sudah berapa buku yang kamu terbitkan?” Itu jika pengkritik baru punya satu-dua judul buku atau sama sekali belum menerbitkan buku sendiri.
Argumen ad hominem lainnya seperti, “Masih mending saya mampu berkarya. Kamu sendiri tak punya karya!”
Yang membungkam kritik karya bukan hanya dari si pembuat karya. Para fans penulis atau sebagian pelaku skena literasi—sering diklaim sebagai pegiat literasi—juga mengeliminasi kritik karya. “Orang menulis itu harus diapresiasi, jangan dicela,” begitu alasannya. Pendapat ini fatal juga, karena menyamakan kritik dan celaan.
Tradisi anti-kritik di Kaltim tidak berdampak positif bagi dunia literasi. Kualitas karya menjadi stagnan, jalan di tempat atau bahkan mengalami kemunduran. Penulis atau pengarang tak tahu bahwa karya mereka sebenarnya jika diukur dengan skala nasional atau global, jauh di bawah standar.
Saya menyadari iklim tak sehat itu di skena literasi di Kaltim. Karena itulah saya memulai dari buku saya sendiri untuk dikritik atau di-review oleh pihak yang berkompeten sebelum diterbitkan. Khusus buku sejarah, adanya kata pengantar atau epilog dari sejarawan lain, itu menjadi semacam endorsement. Jika naskah bukunya tak bermutu, sejarawan tak akan bersedia menuliskan pengantar atau epilog.
Sejarawan, apalagi yang punya nama besar, tak sembarang menuliskan kata pengantar untuk buku orang lain karena ada pertaruhan reputasinya. Sebelum menulisnya pun, sejarawan perlu menamatkan bacaan naskahnya. Buku-buku sejarah yang saya tulis mendapatkan kata pengantar dari sejarawan Peter Kasenda, Dr. Ita Syamtasiyah Ahyat, dan Prof. Asvi Warman Adam. Ada juga kata pengantar dan prolog dari akademisi Dr. Myrna A Safitri.
Unis Sagena, penulis dua antologi puisi, memang siap menerima kritik. Namun, dia—atau saya sebut beliau untuk mengakomodasi pembaca yang feodal atas nama budaya Timur—sudah lebih dulu defensif. Sekadar info, saya meminjam diksi “defensif”, belajar dari Nanda Puspita Sheilla yang mengkritik buku saya di forum publik. Siapa itu Nanda? Yang ingin mengetahui figur dia, boleh membaca tulisan saya di Kaltimtoday yang berjudul “Busana, Bahasa, Budaya Ad Hominem”.
Bu Unis Sagena—saya gunakan sapaan “Bu” supaya tampak sopan versi ketimuran—dalam prakata bukunya membuat disclaimer. Beliau bilang diuntungkan karena tak punya latar belakang keilmuan atau kesarjanaan sastra, sehingga bisa ngeles dan berapologi bahwa penulis autodidak seperti dirinya hanya mampu memproduksi puisi-puisi picisan. Ketimbang terpendam di komputer sendiri dan expired dimakan waktu, mending diterbitkan “dilepas saja ke khalayak untuk menemui takdirnya”. Begitu pernyataan defensifnya.
Lantas, apa yang bisa di-review dari buku Bu Unis? Pertama, bukunya tak benar-benar diterbitkan apa adanya dari file naskah lama. Beliau mengakui bahwa terdapat bantuan kurasi dari seorang sastrawan yang bekerja di di sebuah instansi bahasa. Naskah yang semula hendak diterbitkan sebagai sebuah buku, dibagi menjadi dua jilid buku. Dengan adanya proses kurasi dari pakar, tentu karya Bu Unis menjadi lebih baik. Jadi, jika mengkritik buku ini, maka sasarannya juga terhadap sang kurator.
Kedua, beberapa puisi Bu Unis ada yang menggunakan catatan kaki. Sebagai penulis sejarah, saya termasuk orang yang suka melihat buku yang menggunakan footnote. Ketika ada puisi yang memakai footnote, mata saya langsung mengarah ke teks informatif tersebut. Ada info definitif, profil tokoh, dan peristiwa sejarah. Namun, ada nama tokoh lain yang awam bagi pembaca umum, yang tak dibuatkan footnote-nya. Siapa itu Husni Djamaluddin, Nur Dahlan Jirana, Gabriel Garcia Marquez, Mourid Bourghoti, Naquib Al-Attas? Malas bertanya ke ChatGPT, apalagi Meta AI, karena kadang jawabannya ngawur.
Ketiga, pada halaman kolofon dua bukunya, dituliskan bahwa waktu penerbitan adalah Agustus 2024. Kemudian di media sosial beredar info bahwa acara peluncuran dan bedah bukunya baru dilaksanakan pada 26 Januari 2025. Pertanyaannya, mengapa antara waktu terbit dan hari launching buku ada jeda hampir setengah tahun?
Demikianlah tiga review yang sementara bisa saya tulis. Terakhir, untuk pentradisian kritik karya, perlu dibiasakan juga bahwa ketika mengkritik karya tidak diperlukan permintaan maaf terlebih dahulu. Kritik karya tidak perlu melibatkan perasaan kesungkanan atau tak enakan. Feodalisme harus disingkirkan dalam budaya kritik karya. Pihak yang dikritik juga semestinya legowo jika ada pihak lain yang mengkritiknya.
Kritik itu kadang seperti jamu. Rasanya pahit tapi hakikatnya menyehatkan. Beruntunglah orang yang berpemikiran terbuka dan tak tersinggung dengan kritikan. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Mendagri: Banyak Pemerintah Daerah Antusias Dukung Program Makan Bergizi Gratis Lewat APBD
- Dorong Pertumbuhan UMKM, BSI Gelar Roadshow Talenta Wirausaha di Balikpapan
- Polemik Spanduk Protes Kepemimpinan Kepsek SDN 003 Samarinda Tuai Pro dan Kontra di Kalangan Orangtua dan Guru
- Dishub Samarinda Derek 3 Mobil Parkir Liar di Kawasan Basuki Rahmat
- Kejati Kaltim Endus Dugaan Korupsi, Geledah Paksa Perusda Pertambangan BKS