Kaltim

Setelah 9 Tahun Rehabilitasi, Orangutan Popi Kembali ke Alam Liar

Kaltim Today
10 Oktober 2025 09:59
Setelah 9 Tahun Rehabilitasi, Orangutan Popi Kembali ke Alam Liar
Popi, orangutan Kalimantan betina berusia 9 tahun, tampak menikmati buah hutan tak lama setelah dilepasliarkan di Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat, Kutim, Minggu (10/8/2025). (Foto: BKSDA Kaltim)

Kaltimtoday.co - Seekor orangutan Kalimantan betina bernama Popi resmi dilepasliarkan ke habitat alaminya di Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat, Kutai Timur, Kaltim, Minggu (10/8/2025), bertepatan dengan peringatan Hari Konservasi Alam Nasional. Proses ini menandai akhir perjalanan panjang rehabilitasi Popi selama sembilan tahun sejak ia diselamatkan dalam kondisi bayi.

Popi ditemukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim pada 21 September 2016 di Desa Sempayau, Sangkulirang. Saat itu, usianya diperkirakan baru satu bulan. Tubuhnya masih kecil, tali pusarnya basah, dan belum tumbuh gigi. Ia juga mengalami gangguan pada saluran pernapasan. Tanpa induk yang biasanya mengasuh anak orangutan hingga usia tujuh tahun, Popi dipindahkan ke pusat rehabilitasi Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA).

Proses penyelamatan Popi menjadi kisah panjang dari upaya konservasi orangutan Kalimantan. Popi menjalani masa karantina di klinik BORA hingga awal 2017, sebelum mulai diperkenalkan ke lingkungan sekolah hutan di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Labanan, Kabupaten Berau. Sekolah hutan adalah tahap penting dalam proses rehabilitasi yang melatih orangutan untuk kembali menyesuaikan diri dengan kehidupan liar. Di sini, Popi belajar memanjat, berayun, mengenali pakan alami, dan membuat sarang—keterampilan dasar untuk bertahan di alam.

Selama sembilan tahun, Popi menunjukkan perkembangan signifikan. Ia pernah memanjat pohon hingga setinggi 30 meter, dan menjalin ikatan sosial dengan orangutan lain seperti Septi, seekor betina dewasa yang berperan sebagai ibu asuh. Setelah menjalani sekolah hutan hingga awal 2025, Popi dipindahkan ke Pulau Bawan untuk habituasi dan kemudian menjalani masa karantina akhir sebelum dilepasliarkan.

Kepala BKSDA Kaltim M. Ari Wibawanto, menegaskan bahwa pelepasliaran Popi adalah bagian dari proses konservasi yang ketat dan sistematis.

“Kami tidak hanya melihat kondisi fisik, tetapi juga kesehatan mental dan kemampuan menunjukkan perilaku liar. Itu menjadi tolok ukur utama kesiapan seekor orangutan untuk kembali ke alam,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa keberhasilan serupa juga pernah terjadi di kawasan lain seperti Taman Nasional Gunung Palung, tempat individu orangutan hasil rehabilitasi bahkan berhasil berkembang biak di alam bebas.

Tim Centre for Orangutan Protection (COP) yang bertugas memantau Popi setelah pelepasliaran mencatat berbagai perilaku positif. Pada dua hari pertama, Popi masih berada di sekitar titik pelepasan. Namun pada hari ketiga, ia terlihat menyeberangi sungai melalui kanopi hutan dan bergabung dengan orangutan lain bernama Bonti, yang dilepasliarkan pada Januari 2025. Keduanya kemudian bergerak lebih dalam ke hutan.

Popi sempat terpantau kembali di minggu ketiga Agustus, dan terakhir terlihat pada 28 Agustus 2025 di atas pohon dekat sungai. Setelah itu, tim tidak lagi menemukan jejak Popi, namun hal ini justru dianggap sebagai indikator bahwa ia telah mampu beradaptasi secara mandiri.

“Popi termasuk orangutan yang manja saat di sekolah hutan. Kadang ia bermain terus dengan penjaga satwa, kadang seharian di atas pohon. Tapi proses panjang ini membuktikan bahwa hasil tidak akan mengkhianati usaha,” ujar Wahyuni, Manajer Komunikasi COP.

Ia menambahkan bahwa sepanjang pemantauan, Popi terlihat sehat, tidak kurus, dan mampu mencari pakan alami seperti buah balangkasua (Lepisanthes alata) dan sengkuang (Dracontomelon dao), yang berlimpah di kawasan hutan pelepasliaran.

Popi, kini salah satu simbol dari ketekunan rehabilitasi orangutan yang dimulai sejak usia dini. Tidak semua individu menunjukkan kesiapan pada usia yang sama. Meski Popi dilepasliarkan pada usia 9 tahun, pihak BKSDA Kaltim menyatakan bahwa keputusan pelepasliaran tidak bergantung pada waktu, melainkan kesiapan setiap individu. Ada orangutan yang siap di usia tujuh tahun, ada pula yang memerlukan waktu lebih lama.

Pelepasliaran Popi merupakan hasil kolaborasi multipihak antara BKSDA Kaltim, KPHP Kelinjau, COP, Dinas Kehutanan Kaltim, dan masyarakat lokal. Langkah ini tidak hanya mengembalikan satwa ke habitatnya, tetapi juga menjadi kontribusi nyata dalam menambah populasi orangutan Kalimantan yang terancam punah.

Di tengah ancaman deforestasi dan perburuan liar, kisah Popi jadi contoh bahwa upaya konservasi bukanlah kerja instan, tetapi investasi jangka panjang untuk menyelamatkan spesies kunci dalam ekosistem hutan tropis Indonesia.

[TOS]



Berita Lainnya