Opini
Suara Rakyat Tak Butuh Chaos

Oleh: Ida Farida (Dosen UINSI, Ketua Muslimat NU Samarinda dan Pengurus Wilayah IKA PMII Kalimantan Timur)
AKSI mahasiswa yang akan digelar 1 September di Kalimantan Timur merupakan bagian dari gelombang solidaritas nasional. Di banyak kota, rakyat turun ke jalan untuk menolak kebijakan tunjangan DPR yang dianggap melukai rasa keadilan publik. Di Kaltim, aksi ini juga dipicu oleh duka: wafatnya Affan Kurniawan, driver ojek online yang tewas setelah terlibat insiden dengan kendaraan taktis di Jakarta. Tragedi itu menjadi pengingat pahit: demonstrasi seharusnya ruang menyampaikan suara, bukan ladang kehilangan nyawa.
Kemarahan publik sah, bahkan perlu, ketika elit politik asyik dengan privilese sementara rakyat masih berhadapan dengan harga kebutuhan pokok yang naik, kesenjangan ekonomi, dan sempitnya lapangan kerja. Namun pengalaman beberapa pekan terakhir memperlihatkan sisi lain: suara yang lahir dari keprihatinan justru sering terkubur oleh kericuhan.
Di Jakarta, protes yang semula tertib berubah ricuh ketika aparat menembakkan gas air mata. Di Surabaya, Gedung Negara Grahadi dibakar massa. Di Malang, kantor DPRD dirusak. Sementara di Makassar, kericuhan bahkan menelan empat korban jiwa dan gedung DPRD ikut terbakar. Pola ini berulang di banyak kota. Alhasil, pemberitaan publik lebih banyak menyorot kobaran api, benturan, dan korban, ketimbang alasan mengapa rakyat turun ke jalan. Substansi tuntutan tenggelam, yang tersisa hanya citra chaos.
Dalam era media sosial, citra lebih cepat menyebar daripada isi tuntutan. Foto gedung terbakar, video bentrokan, dan potret korban luka akan lebih viral ketimbang selembar poster yang berisikritik cerdas. Akibatnya, publik yang seharusnya diajak menimbang kebijakan justru dicekoki drama kerusuhan. Di titik ini, chaos bukan hanya mengubur suara rakyat, tetapi juga melemahkan solidaritas yang sedang dibangun. Karena itu, menjaga aksi tetap damai berarti juga menjaga agar pesan politik tidak dibajak oleh narasi sensasional.
Damai: Strategi dan Pelajaran
Pertanyaannya, apakah chaos benar-benar jalan yang efektif? Ada anggapan bahwa tanpa kericuhan, aksi tidak akan dianggap serius. Namun sejarah memperlihatkan sebaliknya: justru kedamaian yang konsisten memberi daya ubah terbesar.
Gerakan petani di India, misalnya, dengan tekun menjaga aksi mereka tetap damai meski berlangsung berbulan-bulan. Simpati publik yang lahir begitu besar hingga akhirnya pemerintah mencabut undang-undang yang merugikan. Begitu pula gerakan hak sipil di Amerika, di mana Martin Luther King Jr. menolak kekerasan karena tahu kericuhan hanya akan mengubur pesan. Pilihan non-kekerasan justru menjadikan tuntutan keadilan menembus nurani bangsa.
Dari Afrika Selatan hingga Eropa Timur, cerita serupa berulang: kekerasan memberi alasan bagi penguasa untuk mengabaikan tuntutan, sementara kedamaian memperkuat posisi moral rakyat. Maka, menjaga aksi tetap damai bukan kelemahan, melainkan strategi politik yang cerdas.
Pelajaran itu penting bagi Kaltim hari ini. Status sebagai calon Ibu Kota Negara membuat setiap peristiwa di sini akan mendapat perhatian lebih. Itu berarti aksi mahasiswa Kaltim tidak hanya menyuarakan solidaritas, tetapi juga akan menjadi cermin wajah daerah ini di mata nasional. Bila aksi di sini berjalan damai, pesan yang lahir tidak hanya soal tunjangan DPR, tetapi juga tentang kualitas demokrasi daerah yang mampu memberi contoh. Sebaliknya, bila chaos terjadi, stigma buruk itu akan melekat lama, seolah rakyat Kaltim tak mampu mengelola aspirasi secara bermartabat. Pilihan inilah yang harus disadari sejak awal.
Dampaknya bukan hanya citra. Chaos sesungguhnya hanya menguntungkan elit yang sedang dikritik. Begitu kerusuhan pecah, fokus publik mudah bergeser dari kebijakan yang bermasalahke soal keamanan dan ketertiban. Elit akan bersembunyi di balik narasi “stabilitas”, sementara media memberitakan kericuhan, bukan substansi. Sebaliknya, aksi damai memaksa pemerintah berhadapan dengan isi tuntutan secara telanjang, tanpa distraksi. Inilah alasan mengapa damai selalu lebih menguntungkan rakyat.
Dari Asap ke Cahaya
Solidaritas untuk almarhum Affan Kurniawan haruslah diwujudkan dengan cara yang menjaga kehidupan, bukan menambah korban baru. Kehilangan satu nyawa saja sudah terlalu mahal. Maka, aksi yang tertib adalah bentuk penghormatan paling nyata: memastikan bahwa perjuangan tidak melahirkan duka baru, tetapi menguatkan tekad kolektif.
Kemarahan tetap penting, sebab ia tanda nurani masih hidup. Namun kemarahan bisa diarahkan, dijernihkan, dan ditransformasikan menjadi energi yang berdaya moral. Marah yang tertib lebih menekan penguasa daripada ricuh yang hanya seumur asap.
Apalagi Kaltim kini berdiri di persimpangan sejarah: bukan hanya menjadi pusat solidaritas, tetapi juga calon pusat pemerintahan. Aksi damai di sini akan bergema lebih luas, seolah rakyat Kaltim berkata: “Inilah wajah demokrasi yang ingin kami wariskan.” Kedamaian dalam aksi bukan berarti tunduk, melainkan justru memperlihatkan bahwa aspirasi bisa lahir dengan cara yang kuat dan bermartabat.
Di sinilah metafora itu menemukan tempatnya: chaos memang membakar, tetapi seperti asap, ia cepat lenyap dan meninggalkan sesak. Damai mungkin tak secepat itu, tetapi ia bersinar sebagai cahaya yang konsisten menuntun arah. Dan rakyat butuh cahaya, bukan asap.
Besok, mahasiswa Kaltim tidak hanya membawa tuntutan atas kebijakan DPR. Mereka juga membawa solidaritas untuk korban, dan yang lebih penting: mereka membawa pilihan, apakah suara rakyat kembali lenyap dalam kabut kericuhan, atau bersinar terang sebagai cahaya perubahan.
Pada akhirnya, jawabannya sederhana. Suara rakyat tak butuh chaos. Suara rakyat butuh kedamaian—agar ia bergema, terang, dan tak bisa diabaikan. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis sebagaimana tertera, tidak menjadi bagian dari tanggung jawab redaksi Kaltimtoday.co.