Kaltim
UU TPKS Disahkan, Angin Segar Bagi Korban Kekerasan Seksual di Kaltim
Kaltimtoday.co, Samarinda - Setelah penantian panjang, akhirnya DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai undang-undang (UU) pada Selasa (12/4/2022).
Sebelumnya, RUU TPKS bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Namun pada 10 September 2021, Panitia Kerja (Panja) memutuskan untuk mengganti RUU PKS menjadi TPKS. Alasannya agar penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual lebih mudah dilakukan.
Secara substansi, ada 6 elemen kunci yang terkandung di dalam UU TPKS. Yakni pemidanaan, pencegahan, pemulihan, tindak pidana, pemantauan, dan hukum acara. Substansi tindak pidana mengatur 9 bentuk kekerasan seksual yang terdiri atas pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, eksploitasi seksual, serta kekerasan seksual dengan sarana elektronik.
Sementara di pasal 4 ayat (2) menjelaskan jenis kekerasan seksual dengan sanksi pidana yang merujuk pada aturan perundang-undangan lain. Contohnya, pemerkosaan, perbuatan cabul—termasuk persetubuhan dan eksploitasi seksual terhadap anak, perilaku melanggar kesusilaan yang tidak dikehendaki korban, dan pornografi yang melibatkan anak, atau memuat kekerasan dan eksploitasi seksual.
Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, Noryani Sorayalita mengungkapkan, dengan adanya RUU TPKS akan menghadirkan fungsi pencerdasan. Agar perempuan dan anak-anak bisa terhindar dari kekerasan seksual. Selama ini, perempuan dan anak dianggap sebagai kelompok rentan yang kerap mengalami kekerasan seksual dan pelakunya kebanyakan datang dari orang terdekat.
"Masyarakat khususnya orangtua jangan malu melaporkan kasus kekerasan seksual. Kasus justru harus diselesaikan untuk memberikan efek jera ke pelaku," kata Noryani, Rabu (13/4/2022).
Dalam hal ini, besar harapannya agar UU TPKS bisa menjadi payung hukum bagi korban dan agar tak lagi muncul stigma sosial kepada para korban kekerasan seksual. Di sisi lain, Noryani mengakui jumlah kasus dan jumlah korban yang tinggi lebih sering terjadi di lingkungan rumah tangga.
Mirisnya, kebanyakan pelaku juga merupakan orang dekat korban dan anggota keluarga. Pelaku bisa datang dari berbagai macam latar belakang. Mulai ayah sendiri, paman, saudara, pacar, teman, hingga kakek korban.
"Jadi bukan orang jauh. Bukan bermaksud suudzon, tapi sebagai orangtua, kita harus waspada dan menjaga anak-anak kita," lanjut Noryani.
Mengacu pada data yang dikeluarkan DKP3A Kaltim pada 2021 silam, tercatat ada 513 anak dan perempuan yang alami kekerasan. 76 orang atau setara 34 persen adalah korban orang dewasa dan 66 persen setara dengan 730 orang merupakan korban anak-anak.
Kekerasan seksual jadi bentuk kekerasan paling banyak. Tercatat ada 216 kasus dengan rincian 191 korban anak dan 25 korban dewasa. Selama ini, jika mengacu pada pengakuan sejumlah keluarga korban, banyak kasus kekerasan seksual di Kaltim yang tidak tuntas di jalur hukum. Biasanya, kasus terhenti di tingkat penyidikan karena berbagai alasan. Salah satu contohnya, kehadiran saksi mata kejadian.
"Aparat hukum mengaku kesulitan cari saksi yang bisa membenarkan keterangan korban. Padahal kalau ada saksi, kekerasan itu tidak akan terjadi. Tapi karena selama ini ada pemahaman begitu, sepertinya ada kendala di proses penegakan hukum," beber Noryani.
Pentingnya Aparat Penegak Hukum yang Berperspektif Terhadap Korban
Dihubungi terpisah, akademisi dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul), Orin Gusta Andini menyebutkan bahwa dirinya mengapresiasi disahkannya UU TPKS. Mengingat, substansinya menjawab kebuntuan mengenai penanganan kekerasan seksual yang terus terjadi selama ini.
"UU TPKS menegaskan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang selama ini beberapanya belum diatur dalam ketentuan pidana hukum," beber Orin kepada Kaltimtoday.co.
Penanganan kekerasan seksual yang selama ini ragu-ragu ditangani karena alasan kurangnya saksi, bisa diakomodir karena 1 saksi cukup dengan didukung oleh alat bukti lain sesuai KUHAP. Hal lain yang juga penting untuk diingat adalah aparat penegak hukum harus memiliki kekhususan dalam penanganan kekerasan seksual.
"Ini penting sekali, karena aparat penegak hukum yang berperspektif korban diharapkan memberikan perlakuan yang adil dan non diskriminatif kepada korban," lanjut Orin.
Dalam pasal 70 ayat (1) ada diatur hak pemulihan korban. Di antaranya, rehabilitasi medis, rehabilitasi mental dan sosial, pemberdayaan sosial, dan restitusi dan kompensasi. Pun dalam pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa jika harta kekayaan terpidana yang dipidana tidak mencukupi restitusi, negara memberikan kompensasi melalui victim trust fund atau dana bantuan korban.
"Dana bantuan korban kekerasan seksual itu juga tujuan yang diatur dalam UU TPKS. Ini sangat penting untuk pemulihan psikis mental korban karena pemulihannya harus sesuai dengan kasus kekerasan seksual," tambah Orin.
Sejumlah poin-poin di UU TPKS perlu diapresiasi. Orin menegaskan, meski UU TPKS sudah disahkan, namun masyarakat harus terus mengawal lagi implementasinya. Sebab UU yang baik harus didukung dengan pengetahuan dan kecakapakan pelaksananya agar dapat berjalan sesuai harapan.
Banyak yang Masih Perlu Dikritisi dari UU TPKS
Aktivis perempuan, Nawal yang juga perwakilan dari Sekolah Pembebasan Perempuan dan Anti Seksisme (SPARK), memberikan sejumlah catatan kritis terhadap UU TPKS. Pihaknya menganalisis, ada perbedaan yang cukup signifikan antara RUU PKS dan UU TPKS yang sudah disahkan.
Dijelaskan Nawal, saat masih menjadi RUU PKS seluruh pasal tampak utuh. Terutama dalam hal jenis kekerasan seksual yang dijelaskan secara detail dan penting. Termasuk definisi kekerasan seksual yang berbeda antara RUU PKS dan UU TPKS.
"Misalnya bicara tentang bagaimana consent, persetujuan, dan sebagainya. Selama ini sexual consent kan selalu jadi masalah. Di RUU PKS itu sudah sangat jelas dan terperinci," beber Nawal.
Menurutnya, di RUU PKS juga tidak sekadar berbicara mengenai jenis kekerasan seksual, tapi juga membahas soal pelaporan, penanganan kasus, pendampingan, bahkan posisi pendamping-pendamping korban saat itu. Bahkan sampai berbicara bagaimana menangani pelaku dan korban ketika sudah diputuskan bentuk kekerasan seksualnya yang mana. Menurut Nawal, kekerasan seksual bisa terjadi karena ada sistem yang mengakar. Bukan perihal individualistik.
"Di dalam UU TPKS, manipulasi consent itu tidak masuk ke dalam jenis kekerasan seksual. Sedangkan manipulasi consent itu adalah salah satu hal yang paling sering terjadi di sosial," tegas Nawal.
Banyaknya perbedaan di RUU PKS dan UU TPKS disadari oleh SPARK. Termasuk adanya pemangkasan sejumlah pasal. Nawal juga mengkritisi pasal pemaksaan aborsi dan pemerkosaan yang juga tidak masuk ke dalam UU TPKS. Padahal, hal tersebut dianggap penting.
"Kami memahami bahwa perjuangan perempuan itu tidak lepas daripada UU TPKS. Walaupun dipreteli. Kami merasa bahwa posisi kami harus mengkritik ini. Namun, di posisi yang kami tahu UU TPKS sudah dipreteli habis, tidak berpihak seluruhnya pada korban, UU TPKS juga banyak dihabisi pasal-pasalnya," tambah Nawal.
Beberapa bunyi pasal juga dinilai tampak masih bisa dinegosiasikan. Alias banyak pasal yang bisa multitafsir dan tidak tegas. Hal tersebut diyakini SPARK akan berdampak dan berbahaya kepada korban. Sebab menurut pihaknya, TPKS merupakan salah satu sub-bab di dalam RUU PKS.
"Kami pahami, itu salah satu sub-bab yang dijadikan acuan utama. Berarti kan banyak pasal yang dihilangkan. RUU PKS lebih progresif berbicaranya kepada penghapusan kekerasan seksual. Bahkan dalam pencegahan, ada memasukkan kurikulum-kurikulum pendidikan seksual. Di UU TPKS, pencegahannya tidak secara utuh," ujarnya.
Lebih lanjut lagi, pasal 14 ayat (1) UU TPKS mengatur kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Tak hanya mengatur tentang perekaman atau pengambilan gambar bermuatan seksual, pasal tersebut juga mencakup pentrasmisian informasi atau dokumen elektronik di luar kehendak penerima. Serta tindakan penguntitan dan pelacakan digital.
Salah satu pasal penting yang ada di UU TPKS juga ada di pasal 10 ayat (2) yang mengatur tentang pemaksaan perkawinan, baik itu perkawinan anak, pemaksaan perkawinan atas nama praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku pemerkosaan.
UU TPKS juga mengatur mengenai relasi kuasa dan kemungkinan korban berada di posisi rentan. Yakni dijelaskan dengan terperinci orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau tindakan manipulatif lainnya sebagai pelaku di beberapa pasal. Kemudian dijelaskan pula di institusi mana saja kekerasan bisa terjadi. Yakni mulai lingkup keluarga, layanan publik, pejabat publik, dan perusahaan atau atasan.
Dalam pasal 67 ayat (1), dijelaskan bahwa hak korban meliputi hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan. Hak penanganan meliputi hak mendapat dokumen hasil penanganan, hak pelayanan hukum, layanan kesehatan, psikologis, layanan atau fasilitas sesuai kebutuhan korban, sampai penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus KBGO.
Dalam pasal 42 ayat (1) juga menyatakan bahwa paling lambat 1×24 jam terhitung sejak menerima laporan, kepolisian dapat memberikan perlindungan sementara untuk korban.
Hak perlindungan korban meliputi perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lainnya, kerahasiaan identitas, perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban, perlindungan dari kehilangan pekerjaan, pendidikan, akses politik, serta perlindungan dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas pelaporan kasus.
[YMD | TOS]
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- DJPb dan Pemprov Kaltim Serahkan DIPA dan Buku Alokasi TKD Digital ke Kepala Daerah dan Pimpinan Unit Satuan Kerja
- Tragedi Muara Kate di Paser Belum Usai, Natalius Pigai Justru Soroti Minimnya Peran Media
- IESR Dorong Indonesia dan Tiongkok Perkuat Kerja Sama Hijau untuk Percepatan Transisi Energi
- Perusahaan Didorong Salurkan CSR untuk Mendukung Transisi Energi Berkeadilan di Kaltim
- Yayasan Mitra Hijau Dorong Partisipasi Perempuan dalam Transformasi Ekonomi dan Transisi Energi Berkeadilan di Kaltim