Opini
Berulang Dinista, Sistem Sekuler Tidak Melindungi Agama
Oleh: Dewi Murni (Praktisi Pendidikan Al-Quran, Balikpapan Selatan)
Ferdinand Hutahaean resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan ujaran kebencian bernuansa SARA terkait ucapannya soal 'Allahmu lemah' pada Senin (10/1/2022) malam.
Surat perintah penetapan itu diteken oleh penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri usai dilakukan pemeriksaan maraton terhadap dirinya selama kurang lebih 11 jam (11/01/2022).
Kasus kasus penistaan agama dan ujaran kebencian bukan isu baru. Berulang kali terjadi kasus penistaan agama menimbulkan tanda tanya besar. Selama ini sudahkah kasus tersebut ditangani serius mulai dari pencegahan hingga hukuman jera. Pemerintah terkesan membiarkan masalah ini hingga kejadiannya kerap kali timbul dan tenggelam.
Seolah bukan masalah besar kasus penistaan agama bisa dengan mudah selesai lewat klarifikasi dan kata maaf. Bahkan ada saja kalangan yang justru membela pelaku dan mencap radikal bagi yang marah dan menuntut keadilan hukum. Hal ini tentu saja tidak boleh didiamkan, sebab nantinya mengolok-olok agama menjadi sesuatu yang biasa dikonsumsi umat. Peran aktif negara sangat dibutuhkan untuk memberikan keadilan paling adil bagi pelaku dan korban.
Oleh karena itu di sinilah butuh peran negara menciptakan kerukunan beragama. Kehadiran negara sangat dinanti-nantikan agar ruang ‘perkelahian’ itu segera ditutup. Negara berkewajiban menciptakan kerukunan dan keadilan agar tidak tercipta perpecahan sana-sini. Sebab memang harus diwaspadai adanya kemungkinan konspirasi pecah belah umat beragama. Di mana umat dihadap-hadapan untuk diadu dan meruncingkan gesekan di antara mereka.
Negara yang dinantikan itu bukanlah negara yang mengambil ide sekuler sebagai prinsip-prinsip kehidupan. Diakui atau tidak, penistaan agama tumbuh subur saat kehidupan disekulerkan. Sistem sekuler seperti memberi tempat bagi penista agama. Sebab ada kebebasan berekspresi dan berpendapat yang terjamin di sana. Dari situlah, jaminan kebebasan seolah melumpuhkan ingatan manusia bahwa sejatinya hidup ini beratur mengikuti seluruh aturan Tuhan. Bukan dibagi-bagi sesuai kepentingan.
Fenomena agama dinista atau diolok-olok harus segera diakhiri agar tidak menjadi sejarah panjang nan kelam. Diperlukan keberanian dan kesepakatan bersama bahwa kehidupan sekuler adalah akar masalahnya. Kita membutuhkan negara bukan sekadar tempat tinggal, tetapi sebagai tempat berlindung dari serangan. Islam membahasakannya sebagai junnah atau tameng.
Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits dari jalur Abu Hurairah ra, bahwa Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]
Islam memandang negara dengan kepemimpinan yang umum bertugas menjaga agama dan merealisasikan kemaslahatan di semua urusan bidang kehidupan. Sementara kemaslahatan itu tidak berangkat dari aturan manusia yang lemah lagi terbatas. Aturan tersebut haruslah datang dari pencipta, Allah subhanahu wa ta'ala. Alquran dan as-Sunnah adalah seperangkat aturan diriNya yang tidak mungkin keliru. Hukum-hukum islam berupa perintah dan larangan itulah yang menjadi sumber pelindung manusia dari kegelapan kekufuran, kemunafikan, keraguan dan dorongan mengikuti hawa nafsu.
Islam juga mendudukkan pemimpin ke panggung kekuasaan sebagai pengendali tertinggi untuk pengontrol aktivitas masyarakat dengan standar ketaatan kepada Allah dan rasulNya. Tidak ada kebebasan berperilaku dan berpendapat dalam tatanan kehidupan Islam. Sekalipun Alquran menyatakan secara gamblang hanya Islam agama yang diridai Allah SWT. Namun, kaum muslimin dilarang keras menjadikan agama sebagai bahan tawaan dan ejekan, baik itu kepada agama selain Islam maupun Islam itu sendiri.
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan rasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman… [At-Taubah : 65-66]
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikian Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka…" (QS. al-An’am: 108).
Islam menyediakan sanksi kepada pelaku penista agama karena negara beriman akan menjadi pihak yang paling marah manakala agama dijadikan bahan penistaan. Ada sanksi yang sangat tegas dan menjerakan, sekaligus memberi efek didikan kepada masyarakat untuk tidak meniru. Sehingga timbul rasa takut di tengah-tengah umat untuk melakukan hal demikian.
Selain itu, ada tahap pembinaan akidah dan pemikiran Islami umat secara sistemik agar menciptakan karakter masyarakat yang bersuasana keimanan. Masyarakat terhiasi dengan akhlak mulia kepada sesama manusia manapun. Maka, ini memperjelas bahwa Islam justru mencintai kerukunan dalam keberagaman masyarakat.
Maka dari itu, sekaranglah saatnya kita benar-benar memahami Islam sebagai hukum kehidupan yang kompleks ini. Meninggikan Islam setinggi-tingginya sampai menyentuh pilar negara. Meyakini kebenarannya yang tidak diragukan lagi sebagai pelindung umat dari upaya orang kafir memecah belah, menyesatkan dan menghancurkan peradaban Islam.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.