Opini
Doktrin Agama dan Pilihan Hidup Versi Ermioni

Oleh Muhammad Sarip (Sejarawan Publik)
Seorang novelis asal Samarinda bertanya pada saya. Apa arti nama Ermioni Vlachidou? Pertanyaan ini muncul setelah artikel saya yang berjudul “Ermioni Vlachidou dari Yunani” dipublikasikan media siber Kaltimtoday.co pada 13 Mei 2025.
Ada lagi kawan pembelajar filsafat yang mengajukan soal dengan praduga. Pertanyaannya, dengan bernama Vlachidou, apakah itu berarti Ermi memiliki garis keturunan dari Rumania atau Bulgaria?
Kepada dua kawan penanya ini, saya menjanjikan jawabannya akan dimuat dalam artikel berikutnya tentang Ermioni. Dan inilah artikelnya.
Ermioni Vlachidou adalah alumnus Magister Sejarah di Aristotle University of Thessaloniki. Saya mengenal dan berinteraksi dengannya dari sebuah program beasiswa untuk mahasiswa asing di Indonesia. Dia bersedia menjelaskan makna namanya dan tidak keberatan infonya saya ekspos ke publik.
Gen Z yang tinggal di Yunani bagian utara ini memulai dengan penjelasan nama depannya. Menurutnya, nama Ermioni sebenarnya tidak mempunyai arti khusus. Namun, dia punya preferensi tersendiri.
“It is probably the male version of Hermes the ancient Greek God. It's an ancient Greek name and in mythology Ermioni was the daughter of Helen of Troy.”
Dia bilang, Ermioni itu mungkin versi perempuan dari Dewa Yunani kuno yang bernama Hermes. Nama dia itu khas Yunani klasik. Yang jelas, dalam mitologi Yunani terdapat tokoh bernama Hermione, yang merupakan putri dari pasangan Helen dari Troya dan Menelaus, Raja Sparta.
Adapun nama belakang dia, Vlachidou, mengindikasikan seseorang yang berasal dari Wallachia, sebuah wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Rumania. Namun, Vlachidou juga menunjukkan nama seorang Yunani yang berasal dari wilayah Pontus di Laut Hitam.
“It is possible that I have some ancestry from Wallachia but it is so far back that I don't have any real connection to it.”
Ermi berpikir, mungkin saja dia memiliki leluhur dari Wallachia. Namun, seandainya itu benar, pastilah dari lini masa yang sangat lama. Jadi, untuk konteks masa kini, dia tidak merasa terkoneksi secara riil dengan Rumania.
Dari sejumlah pengalaman dan pemikiran Ermi tentang Indonesia, pada artikel ini saya mengkhususkan perspektifnya mengenai doktrin agama dan filosofi kehidupan. Ermi adalah nonmuslim yang toleran dengan perbedaan religi tiap manusia. Dia—dan saya juga—mengusung prinsip egaliter, kesetaraan (equality), dan kebebasan individu (personal freedom).
Secara spesifik, Ermi menyoroti implementasi suatu doktrin agama tertentu di Indonesia mengenai busana perempuan. Dalam konteks ini, Ermi perlu menyatakan disclaimer bahwa dia membela hak privasi perempuan muslim untuk memakai hijab kapan pun dan di mana pun.
“Coming to Indonesia, I would be defending the choice of women to wear a hijab in any case."
Awalnya Ermi menyangka, perempuan itu berhijab—dengan memakai busana yang menutupi kepala—merupakan keputusan privat yang berlandaskan preferensi religius. Dia pikir, pilihan pribadi tersebut murni sebagai wujud pelaksanaan ajaran agama. Setelah tinggal di Indonesia (Samarinda, Kalimantan Timur) selama 10 bulan, dia menyadari realita yang berbeda.
Dari interaksi dan observasinya, Ermi memperoleh insight bahwa keyakinan beragama bukanlah alasan utama perempuan memakai hijab. Dia melihat adanya implikasi unsur eksternal. Mereka berhijab lebih karena terkondisikan oleh lingkungan dan mengikuti persepsi standar masyarakat setempat. Padahal, Ermi mengetahui bahwa Indonesia mengklaim sebagai negara demokratis. Namun, dia juga mengerti bahwa fenomena perempuan muslim ini tidak bisa digeneralisasi.
“Of course I am not that oblivious not to understand that religion and society are moving hand in hand.”
Ermi cukup menyadari bahwa agama dan masyarakat itu berjalan beriringan. Ada orang tua yang anak perempuannya sejak berusia 2 tahun dipakaikan hijab. Aktivitas dan ruang gerak anak menjadi terbatas di tengah panasnya temperatur udara. Alasannya sebagai latihan supaya sampai dewasa terbiasa dengan hijab sebagai outfit keseharian, walaupun katanya diberi kebebasan memilih.
“To train them like their upbringing is some sort of moral experiment?”
Ermi mempertanyakan konsep pelatihan anak-anak berhijab seolah-olah masa kecil adalah eksperimen moral.
“If parents want their children to truly choose whether or not they want to wear a hijab, then they should give them the information and actually let them choose!”
Menurut Ermi, jika orang tua benar-benar ingin anaknya memilih sendiri apakah akan berhijab atau tidak, maka berikanlah mereka informasi dan kebebasan untuk benar-benar memilih. Akan lebih baik jika mereka berhijab dengan kesadaran beragama ketimbang pengaruh tekanan sosial.
Wacana yang diungkap Ermi mengingatkan saya pada fenomena perempuan berhijab di lembaga pendidikan yang beratribusi Islam. Tidak semuanya berhijab dengan landasan konsistensi praktik beragama. Ada juga yang berhijab hanya ketika ke lingkungan kampus. Saat di luar kampus, mereka tidak berhijab.
Begitu pula di lembaga pendidikan umum dan instansi birokrasi maupun swasta. Penggunaan hijab oleh perempuan di ruang publik tidak konsisten. Di luar sekolah dan tempat bekerja, mereka ada yang tidak berhijab. Namun, saya juga perlu disclaimer, perilaku tersebut adalah hak individu, sebagaimana perempuan lain yang konsisten tidak berhijab juga berhak untuk menjalankan pilihan pribadinya.
Saya teringat dengan kejadian Juli 2024 ketika sebuah organisasi eksekutif mahasiswa perguruan tinggi negeri di Samarinda melalui media sosial Instagram mewacanakan tentang hijab. Saat itu diposting opini berjudul “Tubuhku Otoritasku: Obsesi Pemaksaan Menghijabkan Perempuan”. Opini tersebut mengkritisi tafsir tunggal agama atas narasi tentang hijab. Menurut penulis opini tersebut, mewajibkan perempuan untuk berhijab sama dengan pemaksaan dan hal ini merupakan pelanggaran atas kebebasan individu dan hak-hak perempuan.
Akun Instagram organisasi mahasiswa itu diserbu netizen. Umumnya komentator memvonis bahwa unggahan opini tersebut menistakan ajaran agama tertentu. Admin yang slow respons memancing lebih banyak hujatan netizen. Tak tahan dengan serangan netizen, postingan di-take down sendiri oleh admin IG yang bersangkutan. Saya menyesalkan take down tersebut karena opini diperdebatkan adalah hal yang normal. Apalagi pihak pemosting sendiri yang awalnya meminta feedback dari netizen. Namun, pada sisi lain tampak ruang berpikir yang masih kurang terbuka di masyarakat untuk mendiskusikan topik tertentu.
Dari sini tampak bahwa doktrin dan tradisi merupakan determinan yang lebih kuat dalam memengaruhi perilaku individu.
Kita kembali ke pemikiran Ermi. Dia bilang, banyak orang melakukan sesuatu tanpa alasan yang rasional. Bahkan yang berkategori takhayul pun kadang dikerjakan. Dan mari kita juga jujur, kata Ermi, bahwa kita semua pernah melakukan sesuatu hanya demi memenuhi stupid standard dalam masyarakat.
Ermi memberi contoh. “I shave my legs and I don’t like.” Dia mencukur bulu kakinya dan dia sebenarnya tidak menyukainya. “But I know that I am doing it to please some societal standards.” Tapi Ermi tahu bahwa dia melakukannya demi memenuhi standar masyarakat.
Setelah mengkritik, Ermi tetap menyerahkan pilihan itu pada tiap individu. “Of course, I still believe that any woman has a right to wear or not wear a hijab and no one should take that away from them.” Kata dia, setiap perempuan punya hak untuk memakai atau tidak memakai hijab, dan tak seorang pun boleh merampas hak itu.
Pemakaian hijab itu apakah itu pilihan atau bukan, pada akhirnya tetap hak individu untuk memutuskan apa yang ia ingin lakukan terhadap tubuhnya. “A choice or not, in the end it is for her to decide what she wants to do with her body in any context.” Menurutnya, “Feminism is all about choice.”
Saya dapat menerima konsep berpikir Ermi tentang doktrin agama dan pilihan hidup yang kontroversial. Opsi busana perempuan, opsi mencukur bulu kaki—juga misalnya opsi menikah atau tidak menikah—kadang mengikuti standar kuantitas persepsi orang banyak dan bukan standar kualitas nalar. “In the end I know that this is a controversial topic, but it is okay, we should still be talking about it.”
Setelah mendiskusikan tentang doktrin religi dan pilihan individu, kemudian Ermi berterus terang mengungkap muatan tersiratnya. “That the question about the hijab was more of a play on deterministic philosophy and if in fact anything we do is a choice or it is all predetermined.”
Dari contoh fenomena yang diulas, sebenarnya Ermi sedang mengaplikasikan konsep filsafat yang disebut determinisme. Filsafat determinisme eksis dalam peradaban Barat dan Timur. Di Yunani sendiri, konsep filsafat ini dirintis oleh para filsuf sebelum Socrates seperti Heraclitus dan Leucippus pada abad ke-6 Sebelum Masehi. Dari filosofi ini, kita diajak merenung dengan pertanyaan. Segala sesuatu yang kita lakukan itu apakah benar-benar pilihan, ataukah semuanya sudah ditentukan sebelumnya?
Dalam filsafat determinisme, semua keputusan dan tindakan kita bukanlah hasil pilihan atau kehendak bebas (free will), melainkan sebagai konsekuensi dari hal-hal yang terjadi sebelumnya. Perilaku manusia ditentukan oleh beragam faktor seperti genetik, lingkungan, adat istiadat, tradisi, dan nilai etik. Lawan konsep ini adalah free will, yang menyatakan bahwa individu memiliki kebebasan berkehendak.
Perdebatan antara konsep determinisme dan free will berlangsung hingga masa kini. Pemikiran yang memoderasi atau merumuskan sintesis antara keduanya juga muncul. Lantas, konsep mana yang Ermi yakini sebagai kebenaran? “I am not sure yet,” ujarnya ragu.
“I think determinism but not in absolute terms.”
Ermi bilang dia cenderung ke determinisme, tapi tidak dalam makna yang mutlak.
“We have free will but previous choices and where we live how we grow up affect our future ones.”
Menurut Ermi, kita memang memiliki kehendak bebas. Namun, sejumlah pilihan sebelumnya seperti lingkungan tempat tinggal kita dan bagaimana kita dibesarkan ikut memengaruhi pilihan-pilihan kita di masa depan.
Boleh setuju, boleh tidak. (*)
Catatan Penulis: Naskah ini telah dibaca dan disetujui oleh Ermioni Vlachidou untuk dipublikasikan
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Pers Kaltim Diteror, AJI–PWI–IJTI Desak Polisi Usut Doxing terhadap Jurnalis
- PW KAMMI Kaltimtara Gelar Diskusi Publik Bahas Banjir dan Longsor Samarinda, Soroti Dampak Tambang dan Infrastruktur Drainase
- Sekda Kaltim Sebut Tiga Pergub Gratispol Dapat Persetujuan Kemendagri
- Kementan RI Terjunkan Penyuluh Pertanian Dampingi Pembentukan Koperasi Merah Putih di Samarinda
- Pemkot Samarinda Kucurkan Dana Sebesar Rp53 Miliar untuk Asrama Polisi