Opini
Hak Konstitusional dan Ruang Aman bagi Perempuan
Oleh: Nayla Shaidina (Mahasiswa Universitas Andalas)
JAMINAN rasa aman merupakan hak konstitusional yang diatur pada saat berdirinya Negara Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28G(1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan dirinya, keluarganya, kehormatan, martabat manusia dan harta benda yang berada di bawah penguasaannya, serta berhak atas rasa aman dan terlindungi dari ancaman ketakutan untuk bertindak atau tidak bertindak sesuai dengan hak asasi manusia.”
Selain konstitusi negara yang menjamin rasa aman setiap orang, UU HAM No. 39 Tahun 1999 menegaskan hak atas rasa aman. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 30 UU HAM yang berbunyi: "Setiap orang berhak untuk merasa aman dan terlindungi dari rasa takut melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu."
Peraturan hukum di atas menunjukkan bahwa hukum positif Indonesia mengatur dan memberikan rasa aman kepada semua orang, khususnya seluruh warga negara Republik Indonesia. Ungkapan yang digunakan dalam kedua undang-undang tersebut adalah “semua,” yang berarti bahwa rasa aman tidak hanya diberikan kepada sekelompok atau beberapa orang saja, tetapi diberikan kepada semua orang tanpa kecuali.
Dalam konteks ini, salah satu kelompok rentan akibat penyalahgunaan rasa aman tersebut adalah perempuan, terutama perempuan pekerja. Perempuan memiliki hak yang sama dengan orang lain, termasuk hak untuk mengekspresikan diri, hidup aman tanpa campur tangan pihak manapun, dan hak untuk tidak didiskriminasi. Perempuan bekerja bukanlah hal baru. Stereotip bahwa perempuan hanya bekerja di rumah dan laki-laki bekerja untuk mencari nafkah telah ditolak sejak zaman kuno. Perempuan menunjukkan keahliannya di berbagai bidang, bahkan dalam peran ganda sebagai ibu dan pengelola rumah tangga.
Peter Carey menyebutkan dalam Mighty Women in Java in XVIII-XIX Century bahwa wanita bangsawan Jawa adalah pengusaha yang lebih baik. Pada abad ke-18, perempuan Jawa menggunakan keterampilannya dalam membatik, mengukir perhiasan, dan bercocok tanam. Di sisi lain, perempuan ini memiliki peran dalam rumah tangga, membesarkan anak, dan menghormati suami. Perempuan dari kalangan rakyat juga bekerja di bidang pertanian, seni, bisnis, dan lainnya.
Rasa aman ini dapat diciptakan melalui ruang yang aman bagi perempuan. Jadi, apa sebenarnya ruang aman itu? Roestone Collective (Hartal, 2017) menjelaskan ruang aman sebagai konsep hidup dengan variasi yang berbeda untuk konteks yang berbeda. Ruang aman dapat berarti ruang spasial yang mengacu pada lokasi geografis atau tempat di mana seseorang dapat tinggal. Namun, ruang aman juga bisa merujuk pada proses dan perspektif perilaku hidup (Himas, 2021). Dalam hal ini, ruang aman bagi perempuan tidak diciptakan untuk melindungi perempuan saja, tetapi dimulai dari cara berpikir primitif masyarakat itu sendiri, di mana perempuan ditempatkan di bawah laki-laki dan perempuan hanyalah objek. Negara harus menciptakan ruang aman bagi perempuan dalam rangka pembelaan diri dan pelestarian eksistensi perempuan untuk menghindari kekerasan oleh orang-orang yang berpikiran primitif.
Budaya patriarki dan diskriminasi gender di masyarakat Indonesia menjadikan fenomena perempuan bekerja sebagai fenomena budaya dan adat istiadat dengan mendefinisikan peran perempuan sebagai pekerja rumah tangga (housekeeper). Perempuan dipaksa bekerja di rumah, di dapur, atau di tempat tidur. Perempuan dianggap tunduk dan tidak boleh memimpin, serta pekerjaan yang dilakukan tidak boleh ada nilai ekonomisnya. Meski banyak perempuan saat ini memiliki pekerjaan, karir, bahkan menjadi pemimpin industri, mereka masih mengalami berbagai bentuk diskriminasi di tempat kerja. Tempat kerja - dari industri hingga perkantoran - tidak selalu menjadi tempat yang aman bagi perempuan. Adanya struktur sosial yang menyimpang dari perspektif budaya patriarki Indonesia yang menempatkan laki-laki di atas perempuan membuat praktik diskriminatif sering terjadi di tempat kerja. Menurut Peterson dan Morgan (1995), ketimpangan dalam kehidupan kerja dapat terwujud dalam kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki, terbatasnya kesempatan, dan hambatan kepemimpinan perempuan. Selain itu, insiden kekerasan dan pelecehan seksual juga sangat mungkin terjadi di tempat kerja. Menurut laporan yang diterbitkan Komnas Perempuan pada 2019, 76% dari 3.528 kasus kekerasan di tempat kerja adalah seksual.
Terlihat masih adanya tindak kekerasan yang dapat menyebabkan perempuan kehilangan ruang amannya di negeri ini. Kekerasan seksual terhadap perempuan tergolong sebagai kekerasan seksual, di mana penyebab kekerasan tersebut adalah struktur sosial yang mendiskriminasi perempuan dan bias gender. Tindakan yang menyalahkan korban berdasarkan pakaian atau tubuhnya merupakan pemikiran primitif yang kemudian menjadi faktor penting keengganan korban untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya. Oleh karena itu, ruang aman harus dibangun berdasarkan pengalaman, perasaan, dan harapan yang sama dari perempuan itu sendiri. Meskipun sulit untuk mengubah sistem dan budaya di tempat kerja, gerakan perempuan dapat menyediakan tempat yang aman bagi para penyintas untuk mencari perlindungan.
Memiliki gerakan kolektif atau “asosiasi” perempuan dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kekuatan untuk melawan pelecehan seksual. Gerakan ini dapat didorong untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan berbeda secara minimal. Bersama-sama, perempuan dapat menuntut tempat kerja yang ramah perempuan, penerapan sistem hukuman bagi pelaku pelecehan, dan sosialisasi tentang kesetaraan gender. Selain itu, ruang aman berbasis gerakan kolektif perempuan diharapkan dapat membantu penyintas mendapatkan perlindungan, dukungan psikologis, dan rasa aman untuk kembali bekerja. Gerakan kolektif berdasarkan solidaritas dan kesamaan perasaan merupakan cara yang sangat efektif untuk memberantas kekerasan berbasis gender di tempat kerja dan memberikan ruang aman bagi perempuan. Perempuan memiliki hak untuk bebas dari rasa takut, ancaman, dan perilaku berbahaya di tempat kerja, bahkan di tempat kerja laki-laki.
Padahal, menciptakan ruang aman bagi perempuan bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi tanggung jawab semua orang. Hal ini bisa dimulai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat, mengedukasi masyarakat luas tentang pentingnya menciptakan ruang aman bagi semua orang, terutama perempuan dalam kehidupan keluarga. Edukasi tersebut juga harus didukung oleh peran pemerintah dalam membuat regulasi yang bertujuan untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan yang harus dibangun bersama oleh bangsa ini. (*)
*) Opini menulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- UNiTE 2024: Kolaborasi Ungkap Realitas Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia
- DP3A Kukar Dorong Perempuan Jadi Penggerak Perubahan dalam Pilkada 2024
- UMKT Luluskan 1.314 Mahasiswa Siap Kerja, Rektor Komitmen Kontribusi SDM Unggul untuk Pembangunan IKN
- Memberdayakan Perempuan: Jalan Menuju Kesetaraan Politik di Kaltim
- Mahasiswa Unmul Turun Aksi ke Jalan, Kritik 10 Tahun Kepemimpinan Jokowi, dan Tuntut DPR Patuhi Putusan MK