Opini
Mahakam: Sungai yang Menyimpan Masa Depan Samarinda
Oleh: Aji Cahyono (Pemerhati Isu Lingkungan dan Geopolitik, Direktur Eksekutif Indonesian Coexistence)
SUNGAI Mahakam adalah denyut nadi bagi Kota Samarinda. Dari hulunya yang jauh di pedalaman Kalimantan Timur (Kaltim) hingga bermuara ke Selat Makassar, sungai ini menjadi saksi sejarah, pusat interaksi budaya, dan penopang ekonomi masyarakat selama berabad-abad. Di tepian alirannya, kampung-kampung tumbuh, peradaban lokal berkembang, dan masyarakat membangun kehidupan dengan bertumpu pada air yang terus mengalir. Mahakam menjadi lanskap geografis dalam suatu peta sekaligus ruang hidup yang membentuk identitas Samarinda.
Aliran sungai ini menjadi ruang pertemuan banyak hal. Seperti perahu jukung yang hilir mudik mengangkut hasil hutan dan ikan, lanting atau rumah rakit yang dahulu banyak bertambat di tepian, dan para nelayan suku Kutai yang setiap hari menggantungkan harapan pada hasil tangkapan. Ekosistem sungai yang kaya—mulai dari ikan haruan, biawan, patin, hingga pesut Mahakam yang langka dan endemik, mencerminkan keterhubungan harmonis antara kehidupan manusia dan alam.
Namun, kedekatan itu kini berada di persimpangan kritis, terancam oleh krisis ekologis. Realitas yang tidak terhindarkan, yakni banjir yang hampir selalu datang setiap kali hujan deras mengguyur kota. Hubungan antara Samarinda dan Mahakam merupakan kisah harmoni sekaligus dinamika yang menegaskan perlunya upaya serius menjawab persoalan ekologis yang kian kompleks.
Secara historis, Mahakam adalah poros peradaban. Sejak abad ke-4 Masehi, sungai ini menjadi pusat peradaban Kerajaan Kutai di Muara Kaman, disaksikan melalui Prasasti Yupa. Hal ini menegaskan bahwa Mahakam bukan sebatas jalur air biasa, melainkan koridor budaya yang menghubungkan peradaban lokal dengan jaringan perdagangan global pada masanya.
Pedagang dari India dan Tiongkok datang melalui Mahakam, membawa barang dagangan sekaligus pertukaran budaya. Dalam periode kolonial, sungai ini menjadi jalur penting transportasi hasil hutan seperti rotan, damar, karet, hingga minyak bumi dan batu bara. Kapal sungai tetap menjadi moda transportasi utama, bahkan ketika banyak desa di pedalaman belum tersentuh akses jalan memadai.
Tantangan Ekologis
Panjangnya sekitar 920 kilometer, Mahakam menghubungkan pedalaman Kutai Barat dan Mahakam Ulu dengan wilayah pesisir di Kutai Kartanegara dan Samarinda. Sungai ini adalah urat nadi yang menghubungkan beragam kehidupan—dari hutan tropis di hulu hingga pusat-pusat ekonomi perkotaan di hilir. Mahakam adalah jaringan hubungan ekologis, sosial, dan ekonomi yang saling bertaut.
Namun, perkembangan ekonomi dan pertumbuhan kota dari masa ke masa membawa konsekuensi ekologis. Eksploitasi sumber daya alam yang masif (tambang batu bara skala besar, pembalakan hutan ilegal, dan monokultur perkebunan) mendorong peningkatan sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan sungai. Sungai yang dahulu dikenal kedalamannya kini dangkal, anak sungai yang dahulu jernih kini banyak yang keruh dan cetek.
Salah satu dampak yang paling nyata dari perubahan tersebut adalah banjir kerap melanda Samarinda. Banjir bukan semata-mata karena intensitas hujan, melainkan dipicu oleh ketidakmampuan Mahakam menampung dan mengalirkan debit air secara optimal. Drainase kota yang belum memadai, sedimentasi sungai, dan rusaknya daerah aliran sungai (DAS) memicu air meluap ke pemukiman dalam waktu singkat.
Gubernur Kaltim Rudy Mas'ud, dalam beberapa kesempatan menyampaikan gagasan pengerukan Sungai Mahakam sebagai langkah teknis untuk mengurangi pendangkalan. Wacana ini memunculkan tanggapan beragam; ada pihak yang menyambut positif sebagai solusi praktis, namun tidak sedikit yang khawatir terhadap dampaknya terhadap ekosistem sungai serta biaya yang diperlukan.
Kabar terbaru pengukuran menunjukkan shallow water level (SWL) di muara Mahakam hanya berkisar 3,8 meter. Kedalaman ini tergolong dangkal bagi sungai yang menjadi jalur distribusi logistik, terutama untuk kapal besar pengangkut komoditas vital seperti batu bara, minyak, sawit, kebutuhan industri, dan kebutuhan pokok masyarakat.
Dinas PUPR, melalui Kepala Bidang Sumber Daya Alam, menegaskan penanganan Mahakam merupakan kewenangan Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan IV, di bawah koordinasi pemerintah pusat. Artinya, jika wacana ini digarap serius, Pemerintah Daerah hanya dapat mengusulkan, sementara pelaksanaan memerlukan koordinasi lintas lembaga dan kepastian pendanaan yang besar.
Persoalan Mahakam tidak berhenti pada pengerukan. Revitalisasi sejati bukan sekadar mengangkat sedimen, melainkan mengembalikan fungsi ekologis sungai secara menyeluruh. Tanpa pemulihan hutan di hulu, pengelolaan drainase kota yang terencana, dan kepastian bahwa aktivitas industri tidak merusak lingkungan, pengerukan hanya akan menjadi upaya sesaat.
Mahakam Milik Kita dan Masa Depan Samarinda
Samarinda mempunyai peluang besar untuk tumbuh sebagai kota sungai modern, sebagaimana Bangkok dengan Chao Phraya, Seoul dengan Cheonggyecheon, hingga Paris dengan Seine. Kota-kota tersebut sukses mentransformasi sungai menjadi ruang budaya, wisata, transportasi publik, hingga ekosistem lingkungan yang seimbang.
Revitalisasi sungai dapat menghadirkan ruang publik yang inklusif di tepian Mahakam—jalur pedestrian yang ramah, taman terbuka hijau, pasar terapung, ruang seni budaya, hingga dermaga transportasi air. Transportasi sungai dapat menjadi moda harian untuk mengurangi kemacetan dan memperkuat identitas kota. Dengan pendekatan yang tepat, Mahakam menjadi ruang hidup yang memanusiakan.
Namun, keberhasilan perbaikan sungai mensyaratkan keterlibatan semua pihak. Pemerintah kota perlu memperbaiki sistem drainase dan tata ruang. Pemerintah provinsi memperkuat diplomasi kebijakan dengan pemerintah pusat. Dunia usaha memastikan aktivitas industrinya tidak merusak lingkungan. Sementara masyarakat dapat mengambil peran melalui tindakan sederhana, seperti menjaga kebersihan sungai, tidak membuang sampah sembarangan, dan mendukung gerakan restorasi lingkungan.
Mahakam adalah milik kita bersama. Sungai ini menyimpan ingatan masa lalu, menjalankan fungsi kehidupan hari ini, dan menentukan masa depan Samarinda. Pertanyaan penting bukan lagi “siapa yang harus mengeruk?” melainkan “apakah kita siap menjaga setelah pengerukan dilakukan?”. Revitalisasi sungai bukanlah proyek instan, melainkan sebuah ikhtiar jangka panjang yang mensyaratkan kesabaran, keberlanjutan, dan komitmen lintas generasi.
Samarinda adalah kota yang lahir dari sungai. Mengabaikan Mahakam berarti mengabaikan jantung kehidupan kota itu sendiri. Masa depan Samarinda ditentukan oleh bagaimana kita memperlakukan sungai ini pada hari ini, apakah sebagai sekadar latar lanskap atau sebagai sumber kehidupan yang harus dijaga, dihormati, dan diwariskan dengan penuh tanggung jawab. Mahakam tidak hanya menyimpan masa lalu, melainkan menyimpan masa depan. Dan masa depan bergantung pada pilihan kita sekarang. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Seluruh 8 Korban Kapal Ferry Tenggelam di Kubar Ditemukan Meninggal Dunia
- Forum Rakyat untuk Keadilan Iklim Kritik COP30 di Brasil, Dinilai Akan Gagal Jika Tak Hentikan Ekspansi Tambang
- Prevalensi Stunting Nasional Turun, Kemenkes Apresiasi Kaltim sebagai Daerah Terbaik
- Tragedi Ferry Tenggelam Kubar, Tujuh Korban Ditemukan Meninggal, Tim SAR Lanjut Cari Korban Terakhir
- Pesut Mahakam Mati, KLH Temukan Tiga Perusahaan Batu Bara Beroperasi Tanpa Izin di Anak Sungai Mahakam








