Internasional
Masih Belum Berakhir, Inilah Dampak Konflik Palestina dan Israel Terhadap Kondisi Lingkungan
Kaltimtoday.co - Ketika kita berbicara mengenai konflik Palestina dan Israel di Gaza, kita sering kali terbayang serangan bom, tembakan senjata, dan kekerasan fisik yang menghancurkan bangunan, menyebabkan ribuan kematian serta merampas harapan hidup generasi mendatang. Namun, pernahkah kita memikirkan dampak perang terhadap lingkungan?
Konflik antara Palestina dan Israel yang masih belum berakhir hingga saat ini, membuat masyarakat dibayangi ancaman dampak perang yang mungkin tidak disadari. Krisis iklim, ketersediaan air, dan ketahanan pangan menjadi ancaman serius terhadap keselamatan jiwa mereka.
Konflik Palestina vs Israel
Konflik antara Palestina dan Israel dimulai sejak tahun 1917. Pada saat itu, wujudnya belum dalam bentuk perang. Konflik ini terjadi setelah adanya Deklarasi Balfour yang mengikat Inggris untuk mendirikan pemukiman Yahudi di Palestina. Kebijakan tersebut menyebabkan perubahan demografi dan penyitaan tanah untuk pemukiman Yahudi. Seiring waktu, konflik terus memuncak hingga menjadi peperangan seperti saat ini.
Tidak tinggal diam, saat ini kelompok Hamas dari Palestina pun melancarkan serangan dan perlawanan pada Israel di Gaza. Israel membalas serangan tersebut secara brutal dan mendapat kecaman dari masyarakat dunia. Perang tersebut telah menelan banyak korban jiwa dan menimbulkan kerugian materil, sosial, psikologis, dan lingkungan yang signifikan.
Bahkan, berdasarkan laporan dari Kementerian Kesehatan Palestina, jumlah korban di pihak Palestina sampai hari Selasa (16/1/2024) telah mencapai 24.448 orang tewas dan 61.504 orang luka-luka.
Peperangan dapat Menyebabkan Kerusakan Lingkungan
Dampak lingkungan dari perang seringkali terabaikan. Padahal permasalahan lingkungan yang timbul secara perlahan dapat menggerogoti keberlangsungan hidup masyarakat di zona konflik. Kerusakan tersebut bahkan dapat terus berlanjut di masa pasca-perang karena aktivitas militer tetap berlangsung.
Dilansir dari laman Greeneration Foundation, berikut adalah potensi kerusakan lingkungan yang dapat muncul akibat perang:
Menghasilkan Gas Emisi Rumah Kaca
Emisi Gas Rumah Kaca timbul dari aktivitas manufaktur, distribusi, dan penggunaan senjata, kendaraan, serta perlengkapan militer lainnya. Komponen-komponen militer tersebut diproduksi dengan menggunakan sumber energi dari mineral, minyak bumi, dan batu bara, yang semuanya merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbarui.
Proses penambangan sumber daya ini juga menghasilkan banyak emisi karbon. Gas Rumah Kaca memiliki potensi untuk memperburuk perubahan iklim dengan melepaskan karbon ke atmosfer, dan akibatnya suhu bumi diperkirakan akan terus meningkat.
Alih Fungsi Lahan
Peperangan berpotensi menyebabkan perubahan fungsi lahan, baik itu hutan, perkebunan, peternakan ataupun pemukiman. Selama konflik, lahan dapat diubah menjadi medan pertempuran, pos militer dan tempat evakuasi. Bahkan di masa damai, dapat terjadi alih fungsi lahan untuk pembangunan pangkalan militer.
Perubahan fungsi lahan ini berdampak pada hilangnya sumber daya pangan, penurunan ketersediaan air bersih, kerusakan kualitas tanah, dan kehilangan ekosistem asli. Pada manusia, konsekuensi ini dapat menyebabkan krisis pangan dan air yang berkepanjangan. Jika krisis ini terjadi, dikhawatirkan akan terjadi peningkatan jumlah korban perang.
Kerusakan Ekosistem
Berhubungan dengan alih fungsi lahan, peperangan memiliki dampak yang signifikan terhadap perubahan ekosistem yang menyebabkan penurunan biodiversitas. Kerusakan ekosistem yang terjadi mengakibatkan hewan dan tumbuhan yang mendiami wilayah tersebut akan kehilangan tempat tinggal dan sumber makanan. Spesies yang tidak dapat beradaptasi berisiko mengalami penurunan populasi.
Tidak hanya karena kerusakan ekosistem, namun penggunaan senjata militer juga dapat menyebabkan penurunan biodiversitas dengan membunuh langsung spesies-spesies makhluk hidup.
Krisis Lingkungan di Gaza
Disadur dari laman Greeneration Foundation, masyarakat Gaza telah menghadapi krisis lingkungan selama bertahun-tahun. Mereka menghadapi tantangan seperti krisis air bersih, pencemaran, peningkatan suhu, serta perubahan dalam periode musim dan curah hujan.
Krisis air bersih menjadi permasalahan serius karena sumber air terbatas dan tercemar. Bahkan untuk mendapatkan air yang tercemar, masyarakat harus mengeluarkan biaya, berkisar antara Rp. 78.000 hingga Rp. 200.000 per barel.
Pencemaran juga menghantui Gaza dengan limbah padat dan cair yang mencemari lingkungan sekitar. Tidak hanya berdampak pada kesuburan tanah, tetapi juga menyebabkan penyakit pada penduduk. Kualitas udara juga semakin memburuk karena penggunaan senjata perang.
Krisis iklim di Gaza turut berkontribusi pada peningkatan suhu di wilayah tersebut. Peneliti memperkirakan bahwa suhu di Gaza telah meningkat sekitar 2.5oC sejak tahun 1800. Dampaknya terasa nyata bagi masyarakat, yang mengalami cuaca panas lebih sering dibanding cuaca dingin, baik di siang maupun malam hari.
Krisis iklim juga mempengaruhi periode dan curah hujan. Sejak terjadinya perang, musim hujan di Gaza tiba lebih lambat dari biasanya. Musim hujan di Gaza yang umumnya dimulai pada Oktober saat ini baru dimulai pada November atau Desember.
Curah hujan di Gaza juga sangat dinamis, menurun pada periode 2012-2011 dan meningkat pada periode 2017-2019. Perubahan ini berdampak besar pada kegiatan pertanian dan perkebunan, menjadi latar belakang dari krisis pangan yang melanda Gaza.
Perlunya Penanganan Kerusakan Lingkungan Pasca Perang
Setelah terjadi perang, negara yang terlibat dalam konflik akan menghadapi sejumlah masalah terkait pemulihan ekonomi, sosial, kesehatan, dan keamanan. Aspek-aspek ini dianggap sebagai kebutuhan darurat dan menjadi prioritas yang harus segera diatasi.
Namun, seringkali dampak lingkungan akibat perang tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Padahal, perbaikan kondisi lingkungan memiliki potensi untuk mendukung keberhasilan pemulihan aspek yang menjadi fokus dan darurat.
Ketika terjadi perang, langkah pertama dalam pemulihan lingkungan adalah memperbaiki kualitas tanah dan mengurangi tingkat pencemaran. Penyelesaian dua aspek ini membentuk dasar untuk menangani masalah lingkungan lainnya, seperti krisis air, pangan, dan iklim.
Restorasi tanah bertujuan untuk mengembalikan kesuburan dan menghilangkan zat polutan yang mungkin terakumulasi selama periode perang. Tanah yang telah pulih dapat memberikan manfaat signifikan dengan membuka peluang untuk pertanian, perkebunan, dan hutan.
Sebagai hasilnya, masyarakat secara perlahan akan dapat mengembangkan sumber pangan secara mandiri, sementara tingkat pencemaran udara yang disebabkan oleh penggunaan senjata perang juga dapat berkurang.
Dalam konteks pencemaran lingkungan, selain polusi udara, pencemaran akibat kontaminasi limbah dan sampah juga memerlukan penanganan segera. Pencemaran ini dapat merusak kualitas air yang digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhan konsumsi. Memperbaiki sistem pengelolaan limbah dan sampah akan membantu mengatasi krisis air, yang merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat.
Pemulihan dampak lingkungan perang merupakan tugas yang besar dan memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk memulihkan ekosistem yang terdampak. Diperlukan kolaborasi dan sinergi untuk membantu negara yang terkena dampak perang dalam menangani masalah lingkungan ini.
[Kontributor : Gilang Satria Pratama | Editor : Diah Putri]
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Pj Bupati PPU Resmi Buka Bimtek Pengelolaan Sampah untuk Tingkatkan Kesadaran Lingkungan
- Setahun Serangan Israel ke Gaza, 42.000 Warga Palestina Tewas
- WHO: 28 Tenaga Medis di Lebanon Tewas dalam Sehari akibat Serangan Israel
- Sekjen PBB Antonio Guterres Dilarang Masuk Israel, Disebut Persona Non-Grata
- Iran Luncurkan 180 Rudal ke Israel Setelah Pasukan Darat Israel Masuk Lebanon