Opini
Media Framing dalam Arena Politik
Oleh: Hafiz Naufal Anshoor (Mahasiswa Magister Sastra, Universitas Gadjah Mada)
Menjelang pergantian penguasa di Indonesia, terjadi kontestasi berbagai informasi yang semakin kuat dan menyebar secara luas dengan cepat dalam ranah publik. Informasi-informasi ini sukar untuk dibedakakan antara mana yang faktual dan mana yang hoaks atau palsu yang melebur menjadi satu kesatuan dan menyebabkan pengaburan informasi yang menjadi kurang presisi.
Dalam era 5.0, pertukaran informasi yang didapatkan antar individu atau kelompok pun semakin tidak terhindarkan dan sering menyebabkan misperception dalam menginterpretasi berita atau informasi yang diperoleh. Sebenarnya, misperception (kesalahan persepsi) merupakan hal yang wajar terjadi dalam ranah komunikasi.
Melalui kacamata Stuart Hall, seorang ahli teori budaya dari Inggris sekaligus pencetus konsep encoding dan decoding, ia menyatakan bahwa setiap pesan atau informasi yang diproduksi (encoding) untuk pada reseptor atau penerima pesan (decoding) tergantung pada latar belakang para penerima pesan tersebut seperti dari pengetahuan, pengalaman membaca, dan perbedaan budaya. Sehingga, tentu pesan-pesan yang disampaikan pada khalayak umum mampu menciptakan berbagai intrepetasi atau makna yang berbeda-beda.
Namun, ketika dikontekskan dalam ranah arena politik, perbedaan pemaknaan informasi dan berita yang diperoleh menjadi instrument untuk melakukan politisasi terhadap suatu diskursus atau wacana yang mampu mengkonstruksi chaotic state (keadaan kisruh) khususnya dalam memanfaatkan media sosial atau media massa untuk melakukan taktik media framing.
Berdasarkan perspektif Fred Vultee seorang professor jurnalisme di Wayne State University, Amerika Serikat dalam bukunya berjudul A Media Framing Approach to Securitization, framing adalah sebuah seleksi dan bagian yang menjadi ciri khas dalam memilih peristiwa atau momen berbentuk fragmentasi (potongan-potongan) yang dimana akan membentuk satu kesatuan menjadi sebuah gambaran dalam pikiran kita dengan tujuan mendapatkan simpati atau perhatian dari ruang-ruang publik.
Dengan kata lain, ketika dihubungkan dengan media framing akan menjadi sebuah bentuk narasi cerita yang disampaikan secara terstruktur dengan membahas objek atau fenomena tertentu yang bertujuan mendapatkan perhatian intensif dari seluruh lapisan masyarakat dalam tatanan sosial yang dilakukan media-media itu sendiri. Tidak hanya mendapatkan perhatian, namun mampu menciptakan wacana-wacana yang dapat dipolitisasi dengan menjadikan keuntungan pribadi atau secara sepihak bagi individu maupun kelompok yang terobjektifikasi.
Di sisi lain, media framing disaat yang bersamaan juga mengkonstruksi apa yang disebut Vultee sebagai securitization (sekuritisasi). Ini adalah sebuah gerakan tentang penciptaan issue tertentu oleh individu atau aktor dalam ranah umum dimana issue tersebut menjadi bahan perdebatan politik.
Gerakan ini muncul ketika sebuah ancaman eksistensial terhadap institusi atau kondisi yang sedang kita fokuskan kebaikan bersama dengan menggunakan kata-kata pamungkas seperti “mari bertindak sekarang untuk menyelamatkannya, kalau tidak kita tidak akan pernah menjadi negara maju!”.
Ucapan ini tentu menjadi tidak asing untuk diutarakan oleh para politisi dengan memanfaatkan retorikanya yang menstimulus kesadaran masyarakat dari golongan tertentu ketika issue tersebut sedang menjadi bahan perbincangan publik secara massive. Sesuai dengan perkataan Vultee bahwa framing hampir seperti sesuatu yang masuk akal atau dinalar dalam pikiran kita, maka framing sama hebatnya dalam menyembunyikan bias-bias tertentu dalam setiap produktivitas informasi yang berada pada lingkupannya.
Seperti salah satu fenomena yang terjadi sekarang pasca debat cawapres pada tanggal 21/01/2024 terdapat buzzer di media sosial khususnya di Instagram yang melakukan framing pada setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Tentu buzzer ini menggunakan kapabilitasnya sebagai kumpulan individu yang terstruktur dengan memiliki satu tujuan yaitu menyuarakan sesuatu secara sepihak atau demi kepentingan tertentu. Apalagi Generasi Z, Generasi Milenial, dan Generasi X lebih banyak menggunakan media sosial untuk mengakses informasi apapun secara cepat tanpa memikirkan secara panjang tentang validitas informasi atau wacana tersebut dengan sungguh-sungguh.
Dengan begitu, ketika buzzer melancarkan aksinya dalam ikut mengomentari salah satu feeds atau postingan di salah satu akun bertemakan politik, maka ia bisa melakukan kontrolisasi terhadap setiap individu yang kurang melakukan deep research terhadap informasi atau wacana yang sedang dibahas yang dimana memungkinkan mereka cenderung berpindah-pindah kubu ketika ada suatu issue yang sedang hangat dibahas. Metode deep research yaitu dengan cara melihat darimana dan bagaimana berita atau informasi yang diproduksi berasal.
Sebagai contoh, media A mengutarakan wacana tentang perpindahan IKN yang akan mengakibatkan kehancuran ekosistem di sekitar wilayah yang akan dibangun. Maka, harus dilihat secara seksama historis media yang menjadi subjek itu, apakah dalam setiap mengkonstruksi diskursus bersifat netral atau mengarah pada tendensius kepada pendukung salah satu paslon. Selain itu juga perlu dilihat, siapa pemimpin atau pemilik media tersebut dilihat dari ideologi seperti apa yang berada pada dalam dirinya
Efek dari kurangnya deep research ini mengakibatkan ketidakpercayaan pada pilihan sedari awal. Secara eksplisit, para kaum muda yang kurang melakukan penelitian mendalam mengatakan bahwasannya selalu berpindah mendukung paslon-paslonnya. Yang awalnya mendukung paslon nomor satu, berubah menjadi pendukung nomor dua, lalu ketiga. Namun, pada akhirnya akan menyatakan kembali mendukung paslon nomor satu.
Situasi ini dapat dikatakan sebagai tidak adanya pendirian yang kuat. Untuk menanggulangi masalah pendirian pada pilihan, dibutuhkan pembacaan secara intensif terkait berita-berita yang disampaikan baik di media sosial atau media massa. Berita atau informasi itu terkait dengan sesuatu yang realistis sudah terjadi seperti hasil kinerja apa saja yang sudah dilakukan selama masa jabatan sebelumnya dan pengalaman-pengalaman yang terkait pembangunan terhadap daerah atau arena yang sudah dipimpin oleh setiap capres dan cawapres. Sehingga, output yang dihasilkan akan lebih baik dengan menggunakan referensi-referensi yang sudah tervalidasi sesuai dengan hasil decoding para pembacanya. Lalu, setiap individu atau kelompok pada dasarnya berpihak pada posisi-posisi tertentu dalam setiap hasil penerimaan informasi yang diperoleh.
Terdapat tiga jenis bentuk decoding yang berkaitan dengan posisi-posisi para reseptor yang sudah digagas oleh Stuart Hall. Melalui laman Kompas (07/03/2022) yang ditulis oleh Raisa Zakiah dan Vanya Karunia Mulia Putri mengatakan bahwa ada tiga bentuk decoding oleh para penerima atau reseptor.
Pertama, posisi hegemonik dominan yaitu reseptor atau pembaca memiliki kesamaan atau selaras persepsi dalam melihat suatu wacana atau informasi yang disampaikan oleh media. Kedua adalah posisi negosiasi, yaitu khalayak umum menerima makna yang disampaikan secara dominan, namun perlu memikirkan, mengukur, atau menimbang lebih jauh tentang penerapan pemaknaan informasi tersebut apakah bisa digunakan dalam lingkungan mereka. Salah satu dasar pertimbangan itu adalah perbedaan budaya atau pengalaman.
Lalu terakhir adalah posisi oposisi yang dimana para penerima pesan atau informasi dalam suatu media tidak memiliki persepsi yang sama atas pesan yang disampaikan dan cenderung untuk menolaknya karena berbagai ketidaksetujuan atas informasi tersebut karena salah satunya perbedaan ideologi yang dianut oleh setiap individu berbeda-beda. Dengan begitu, dari berbagai posisi ini, media-media mampu mengelola informasi sesuai dengan tujuannya itu memecah belah para individu menjadi oposisi, negosiasi, dan hegemonik dominan dengan menunjukkan sebagian informasi (framing) saja yang tentu bersifat tidak mutlak atas fakta yang terdapat di dalamnya sehingga media selalu mendapatkan eksposur karena statusnya sebagai subjek dalam penyampaian berita atau narasi tertentu.
Hal ini juga berhubungan dengan para generasi kaum muda khususnya yang tidak bisa lepas dari media sosial maupun media massa di dunia digital dengan memposisikan dirinya sesuai keinginan dan pengalaman mereka dalam melihat berita yang diperoleh. Sehingga, para kaum muda mampu menentukan pilihan-pilihan mereka sesuai dengan fakta secara akurat karena sejatinya kaum muda pada pemilu kali ini memegang peranan terpenting sebagai pemegang suara dengan persentase tertinggi.
Lebih lanjut, dilansir dari laman CNBC Indonesia (05/12/2023) yang ditulis oleh Susi Setiawati terkait pemegang suara terbanyak pada pemilu tahun 2024 menyatakan bahwa generasi Milenial yang lahir pada periode tahun 1981-1996 menjadi pemegang suara terbanyak 33%.
Selanjutnya, pemegang suara kedua terbanyak sebesar 28% berada ditangan Generasi X yang lahir dalam periode tahun 1965-1980. Terakhir, urutan ketiga posisi pemegang suara terbanyak adalah Generasi Z sebesar 23% dengan kelahiran dari tahun 1997-2012. Artinya, kekuasaan untuk memilih kaum muda-mudi Indonesia menjadi titik tumpu dalam menentukan arah masa depan bangsa dan negeri tercinta kita ini. Sehingga, kita perlu bersama-sama membangun atmosfer yang bersahabat dan penuh dengan perdamaian dengan cara menghargai perbedaan masing-masing setiap paslon yang akan dipilih sesuai hak masing-masing individu.
Kita juga perlu menggaungkan suara anti golput, agar kita sebagai kaum muda memiliki kapabilitas dalam berpikir secara rasional dan kritis dalam melihat wacana-wacana atau strategi framing yang digunakan diberbagai media dan kita tidak mudah untuk dideterminasi atau detotalisasi secara penuh subjektivitas kita sebagai manusia yang merdeka dan bebas oleh buzzer yang memanfaatkan ketidakmandirian kita terhadap pilihan kita sendiri. Kita sebagai kaum muda perlu menunjukkan sikap nasionalis dan menjunjung tinggi demokrasi yang ideal sesuai dengan harapan para Founding Fathers bangsa Indonesia terdahulu.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Pemilu 2024: IFCS Ungkap Prabowo Subianto Gunakan Toxic Positivy saat Berkampanye
- Tahapan dan Jadwal Sidang Sengketa Pileg 2024 oleh MK, Ada 279 Perkara
- Hakim Arief Hidayat Sebut Tidak Ada Bukti Jokowi Lakukan Nepotisme di Pencalonan Gibran Pilpres 2024
- 240 ASN Terbukti Langgar Netralitas Pemilu 2024, Mendagri Tito Tegas Beri Sanksi
- Pemilu 2024: 181 Petugas PPK, PPS, KPPS Meninggal Dunia