Opini
Menciptakan Budaya Positif di Sekolah Meraih Student Well-Being
Oleh: Yeni Ronalisa Saselah (Guru SMK-SPP Negeri Samarinda, Fasilitator dan CGP Rekognisi Angkatan 10 Pendidikan Guru Penggerak)
Menurut Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. Pendidikan adalah tempat untuk membentuk peradaban. Tujuan pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Hal ini berarti pendidik hanya bisa menuntun anak agar tumbuh sesuai kodratnya, agar dapat memperbaiki lakunya dan menumbuhkan potensi anak tersebut. Anak diberi kebebasan namun guru sebagai ‘pamong’ selalu mengayomi dan memberikan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar.
Agar pertumbuhan benih-benih menjadi optimal dan subur seperti yang diharapkan maka sekolah harus menciptakan lingkungan yang mendukung hal tersebut. Lingkungan yang mendukung itu dapat tercapai dengan budaya positif. Budaya positif merupakan perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan universal yang diterapkan di sekolah. Seluruh warga sekolah memiliki peran dalam mewujudkan budaya positif di sekolah. Dan seorang guru memiliki peran terdepan dalam membangun atau mewujudkan budaya positif di sekolah. Karena guru lah yang berhadapan langsung dengan peserta didik di kelas.
Budaya positif diawali dengan perubahan paradigma guru tentang teori kontrol. Selama ini guru merasa berkewajiban mengontrol perilaku siswa agar memiliki perilaku sesuai yang guru harapkan. Perwujudannya, guru sering memberikan imbalan terhadap perbuatan peserta didik yang sesuai yang diharapkan guru dan kemudian memberikan hukuman kepada peserta didik yang melakukan tindakan yang tidak diharapkan.
Berdasarkan beberapa penelitian, tentang teori kontrol, semua perilaku manusia pasti memiliki tujuan. Begitu pula dengan perilaku peserta didik. Bahkan sebuah kesalahan yang dilakukan peserta didik pasti memiliki alasan. Alasan tersebut biasa disebut dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Ada lima kebutuhan dasar manusia yaitu 1) Kebutuhan bertahan hidup, yaitu kebutuhan berkaitan dengan fisik seperti makan, tidur, tempat tinggal dll; 2) Kebutuhan Cinta dan kasih sayang (penerimaan); 3) Kebutuhan penguasaan (pengakuan akan kemampuan); 4) Kebutuhan kebebasan (kebutuhan akan pilihan), dan 5) Kebutuhan akan kesenangan.
Ketika guru sudah mampu memahami kebutuhan dasar setiap peserta didik selanjutnya langkah yang dilakukan adalah dengan menerapkan disiplin positif. Selama ini, disiplin dipahami sebagai tindakan untuk membuat peserta didik patuh pada aturan sekolah dan guru. Apakah seperti itu penerapan disiplin yang tepat?
Menurut pakar pendidikan Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline ada tiga alasan motivasi manusia dalam melakukan sesuatu, adalah pertama, untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman, kedua untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain, dan ketiga untuk menjadi orang yang mereka inginkan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini.
Berdasarkan ketiga alasan tersebut, tindakan pendisiplinan dengan melakukan hukuman atau memberi imbalan termasuk kategori motivasi eksternal. Motivasi yang berasal dari luar diri sehingga hal tersebut tidak akan bertahan lama. Barangkali dengan hukuman dan imbalan siswa memang menjadi patuh, tapi kepatuhan itu bersifat sementara dan kedisiplinan yang diterapkan tidak mengubah karakter siswa menjadi lebih kuat. Maka motivasi yang ketiga merupakan motivasi yang berasal dari dalam diri dan akan bertahan lama dan menjadi karakter dari peserta didik. Peserta didik dengan penuh kesadaran berbuat sesuai dengan nilai yang mereka yakini.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang mengungkapkan bahwa disiplin kepada siswa adalah disiplin diri, sebab hanya diri sendiri yang mampu mengontrol diri kita bukan orang lain. Jika belum bisa mengontrol diri menurut Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara, penerapan disiplin tersebut tidak dalam kondisi Merdeka atau dalam keterpaksaan.
Oleh sebab itu, pentingnya membuat suatu keyakinan sekolah ataupun keyakinan kelas yang merupakan lingkup terkecil dan terpenting dari suatu sekolah. Sehingga harapannya peserta didik sendirilah yang menginginkan dirinya menaati peraturan sesuai dengan keyakinan universal atau keyakinan sekolah dan kelas.
Prosedur Pembentukan Keyakinan Sekolah/ Kelas adalah sebagai berikut.
1) Mempersilakan warga sekolah atau murid-murid di sekolah/kelas untuk bercurah pendapat tentang peraturan yang perlu disepakati di sekolah/kelas.
2) Mencatat semua masukan-masukan para murid/warga sekolah di papan tulis atau di kertas besar (kertas ukuran poster), di mana semua anggota kelas/warga sekolah bisa melihat hasil curah pendapat.
3) Susunlah keyakinan kelas sesuai prosedur ‘Pembentukan Keyakinan Sekolah/Kelas’. Gantilah kalimat-kalimat dalam bentuk negatif menjadi positif. Contoh:
Kalimat negatif: Jangan berlari di kelas atau koridor.
Kalimat positif: Berjalanlah di kelas atau koridor.
4) Tinjau kembali daftar curah pendapat yang sudah dicatat. Anda mungkin akan mendapati bahwa pernyataan yang tertulis di sana masih banyak yang berupa peraturan-peraturan. Selanjutnya, ajak warga sekolah/murid-murid untuk menemukan nilai kebajikan atau keyakinan yang dituju dari peraturan tersebut. Contoh: Berjalan di kelas, Dengarkan Guru, Datanglah Tepat Waktu berada di bawah 1 ‘payung’ yaitu keyakinan untuk ‘Saling Menghormati’ atau nilai kebajikan ‘Hormat’. Keyakinan inilah yang dimasukkan dalam daftar untuk disepakati. Kegiatan ini juga merupakan pendalaman pemahaman bentuk peraturan ke keyakinan sekolah/kelas.
5) Tinjau ulang Keyakinan Sekolah/Kelas secara bersama-sama. Seharusnya setelah beberapa peraturan telah disatukan menjadi beberapa keyakinan maka jumlah butir pernyataan keyakinan akan berkurang. Sebaiknya keyakinan sekolah/kelas tidak terlalu banyak, bisa berkisar antara 3-7 prinsip/keyakinan. Bilamana terlalu banyak, maka warga kelas akan sulit mengingatnya dan akibatnya sulit untuk dijalankan.
6) Setelah keyakinan sekolah/kelas selesai dibuat, maka semua warga kelas dipersilakan meninjau ulang, dan menyetujuinya dengan menandatangani keyakinan sekolah/kelas tersebut, termasuk guru dan semua warga/murid.
7) Keyakinan Sekolah/Kelas selanjutnya bisa dilekatkan di dinding kelas di tempat yang mudah dilihat semua warga kelas.
Tentunya pelaksanaan pembelajaran sehari-hari tidak akan lepas dengan ketidaksesuaian tingkah laku peserta didik dengan keyakinan kelas yang sudah disepakati. Masalah-masalah yang terjadi tersebut dapat diselesaikan dengan restitusi. Restitusi adalah upaya mendisiplinkan siswa tapi dengan cara siswa sendiri yang menyelesaikan masalahnya dan membuat mereka bertindak sesuai dengan keinginan ideal yang didasarkan pada keyakinan kelas.
Hal tersebut tentu akan berjalan dengan semestinya ketika guru menempatkan diri sesuai dengan posisi kontrol yang tepat. Posisi kontrol guru yang terbaik adalah posisi seorang manajer. Di dalam posisi ini, sikap guru ketika melihat peserta melakukan kesalahan tidak langsung menghukum atau menasehati, tapi diawali dengan sikap memahami tindakan siswa bahwa ketika siswa bersalah itu biasa karena memang setiap manusia pasti pernah bersalah (Menstabilkan Identitas). Selanjutnya guru juga mencoba memahami alasan atau kebutuhan dasar apa yang ingin dipenuhi siswa dengan perilakunya tersebut (Validasi Tindakan yang salah).
Selanjutnya, siswa diingatkan tentang keyakinan kelas dan dipancing dengan pertanyaan tentang bagaimana seharusnya sikap mereka menurut keyakinan kelas dan jawabannya datang dari siswa sendiri. Kemudian baru ditanyakan solusi terbaik menurut siswa tersebut yang berdasarkan keyakinan tadi (Menanyakan Keyakinan). Saat melakukan restitusi seorang manajer, tentu tidak bersikap emosional, tidak juga merasa bahwa dia yang benar dan siswa harus mengikuti aturan saya.
Jika siswa bersalah sebenarnya gampang saja menyuruh mereka meminta maaf kemudian menjalankan hukuman yang kita berikan, siswa pun menuruti kemauan guru. Dengan seperti itu seolah masalah selesai. Akan tetapi, sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan adalah tempat menyemai benih kebudayaan. Kebudayaan dibentuk dari kebiasaan dan menjadi karakter. Diharapkan dampaknya lama, jangka panjang.
Pendidikan sejatinya mampu menumbuhkan manusia-manusia terbaik yang berpegang pada nilai-nilai keyakinan yang memiliki kemerdekaan jiwa, bukan hanya membentuk generasi yang patuh karena tekanan dan aturan tapi jika menghendaki siswa patuh pun karena mereka mematuhi keyakinan dan nilai-nilai yang mereka pegang sendiri bukan aturan yang guru atau sekolah paksakan.
Oleh karena itu, restitusi adalah sebuah upaya untuk membuat peserta didik mampu mengevaluasi diri mereka sendiri agar menjadi manusia yang baik sesuai dengan nilai-nilai kebajikan universal dan sebuah upaya agar setiap kesalahan yang dilakukannya menjadi bahan pembelajaran agar dirinya menjadi lebih baik, menjadi lebih kuat karakternya dan penghargaan pada diri mereka sendiri pun menjadi bertambah.
Berdasarkan uraian di atas maka diharapkan dapat mewujudkan lingkungan sekolah berperan terhadap kenyamanan di sekolah atau disebut student well-being. Menurut Rasyid, et all dalam tulisannya ‘Gambaran Student Well-Being pada Peserta Didik’ Student well being merupakan lingkungan sekolah yang memberikan kenyamanan peserta didik sehingga peserta didik merasakan kepuasan berada di sekolah dan emosi positif.
Beberapa riset sebelumnya melaporkan bahwa peserta didik well-being di sekolah memberikan dampak positif kepada peserta didik yang diantaranya adalah tingkat kepercayaan diri tinggi, optimisme, motivasi belajar peserta didik tinggi baik secara akademik maupun non akademik.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp
Related Posts
- Dorong Konsumsi Beras Lokal, DKP PPU Imbau ASN Beli 5 Kilogram per Bulan
- Disdikpora PPU Gandeng Telkom Sediakan WiFi Gratis di Sekolah
- Andi Singkeru Soroti Tantangan Guru dan Pendidikan di Daerah Terpencil PPU
- Disdikpora PPU Libatkan Puluhan Sekolah dalam Program Sekolah Laboratorium Pancasila
- Kekurangan Guru di PPU, Proses Belajar Mengajar Terhambat