Nasional
Pemerintah Didorong Segera Ratifikasi OPCAT untuk Cegah Penyiksaan
Kaltimtoday.co, Jakarta - Enam lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) mendesak pemerintah segera meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (OPCAT). Desakan ini muncul sebagai upaya untuk memperkuat langkah-langkah pencegahan penyiksaan di Indonesia.
Urgensi Ratifikasi OPCAT
Kekerasan dan penyiksaan masih marak terjadi meskipun Indonesia telah memiliki UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan. Beberapa kasus mencuat, seperti pengeroyokan hingga tewas seorang transpuan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, dan persekusi terhadap seorang pemandu karaoke di Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa hukum yang ada belum cukup kuat untuk mencegah aksi kekerasan dan penyiksaan.
Enam lembaga yang tergabung dalam KuPP adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman Republik Indonesia (ORI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND). Mereka mendesak ratifikasi OPCAT untuk memperkuat perlindungan terhadap hak asasi manusia di Indonesia.
Komnas Perempuan Laporkan 15 Kasus Penyiksaan
Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (24/6), menyebutkan bahwa dalam enam tahun terakhir, dari 106 kasus perempuan yang berhadapan dengan hukum, 15 di antaranya merupakan kasus penyiksaan.
"Penyiksaan seksual sering terjadi saat proses penyidikan, termasuk korban yang ditelanjangi, diperkosa, diintimidasi, dan disiksa agar memberikan keterangan yang diinginkan oleh penyidik," ungkapnya.
Ia juga mengapresiasi pengesahan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang mengakui penyiksaan seksual sebagai salah satu bentuk kekerasan.
"Penyiksaan seksual juga ditemukan pada korban pelanggaran HAM di Papua dan saat pelaksanaan Daerah Operasi Militer di Aceh," tambahnya.
Komnas HAM Dorong Penguatan Personel Penegak Hukum
Komisioner Komnas HAM, Putu Elvina, menyatakan upaya pencegahan penyiksaan masih belum optimal.
"Kami melakukan pelatihan HAM bagi TNI dan Polri untuk memperkuat personel penegak hukum. Kami berharap ini menjadi program berkelanjutan," jelasnya.
LPSK Siap Beri Perlindungan
Tenaga Ahli di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ali Nur Syahid, menyatakan lembaganya siap memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam kasus penyiksaan berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006 dan UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Selama periode 2018-2023, LPSK menerima 135 permohonan perlindungan dalam kasus penyiksaan, dengan 24 permohonan di tahun 2023," katanya.
Menurutnya, layanan yang paling banyak diminta adalah pendampingan dalam proses hukum dan persidangan serta perlindungan fisik. Layanan lain yang diberikan LPSK meliputi bantuan psikologis, fasilitasi restitusi, dan bantuan medis.
Ratifikasi OPCAT dianggap sebagai langkah penting untuk memastikan Indonesia dapat mencegah dan mengatasi kasus penyiksaan secara lebih efektif, memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korban, dan menegakkan hak asasi manusia dengan lebih kuat.
[TOS | VOA INDONESIA]
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Tayang di Bioskop! Berikut Sinopsis Film Bob Marley: One Love, Sang Legenda Musik Reggae Asal Jamaika
- Isu HAM di Indonesia Kembali Disorot, Berikut Hasil Debat Perdana Capres Pemilu 2024
- Menlu RI Hadiri Peringatan 75 Tahun Deklarasi HAM, Indonesia Tekankan Komitmen Dukungan terhadap Palestina
- Ganjar Terus Serang Prabowo dengan Isu 12 Kasus Berat HAM Masa Lalu, Berikut Penjelasannya!
- Krisis Rohingya: Tantangan Multikultural dalam Konteks Hak Asasi Manusia