Kaltim
Penetapan 6 Calon Anggota Bawaslu Kaltim, Timsel Dinilai Abaikan Keterwakilan Perempuan dan Transparansi
Kaltimtoday.co, Samarinda - Tim seleksi telah menyelesaikan proses untuk memilih enam calon anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kaltim 2022-2027. Dari enam nama yang dinyatakan lolos untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Bawaslu RI, sama sekali tidak ada keterwakilan dari perempuan.
Enam calon anggota Bawaslu Kaltim yang terpilih itu yakni, Hari Darmanto, Asman Azis, Wamustofa Hamzah, Danny Bunga, Daini Rahmat, dan Galeh Akbar Tanjung.
Tidak adanya keterwakilan perempuan dalam komposisi enam calon anggota Bawaslu Kaltim ini menjadi catatan serius, karena bisa menunjukkan belum adanya kesetaraan dan keadilan bagi seluruh warga negara baik perempuan maupun laki-laki untuk terlibat di dalam institusi politik, khususnya penyelenggara pemilu di Kaltim. Hasil ini juga bisa menunjukkan rendahnya komitmen tim seleksi untuk memenuhi amanat konstitusi terkait keterwakilan perempuan yang sudah diamanatkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Apalagi tiga perempuan yang sebelumnya lolos 12 besar punya pengalaman di bidang kepemiluan. Ana Siswanti Rahayu dan Farida Asmauanna, keduanya merupakan anggota Bawaslu Balikpapan. Sementara, Ulfa Jamilatul Farida merupakan ketua KPU Kutai Timur.
Akademisi dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini menegaskan, keterwakilan perempuan sangatlah penting. Apalagi dalam konteks penyelenggara pemilu.
"Agar penyelenggara pemilu tidak didominasi dari laki-laki saja karena kehadiran keterwakilan perempuan diharapkan bisa mengakomodir kepentingan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu," kata Orin dihubungi Kaltimtoday.co, Selasa (2/8/2022).
Terlibatnya perempuan dalam penyelenggaraan pemilu, menurut Orin, merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan. Dalam tataran normatif keterwakilan perempuan bahkan diatur minimal sebesar 30 persen dalam penyelenggaraan pemilu. Hal itu tercantum dalam UU Pemilu 7/2017 Pasal 92 Ayat 11.
"Tujuannya sebagai bentuk kesetaraan gender demi melawan budaya patriarki di level privat maupun publik," jelas dia.
Kendati demikian, keterwakilan perempuan juga tidak mutlak bisa dipaksakan jika memang tak memenuhi kriteria. Sebab untuk bisa mengemban misi-misi keperempuanan, keterwakilan perempuan juga harus disertai dengan kemampuan sebagaimana yang disyaratkan dan disaring melalui mekanisme seleksi.
"Selebihnya menjadi tanggung jawab tim seleksi untuk menjalankan mekanisme sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku," tuturnya.
Senada, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unmul Budiman menyatakan, keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen untuk komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu telah diamanatkan dalam Pasal 10 Ayat 7 dan Pasal 92 atau 11 UU 7/2017.
Dari 12 kandidat, tiga di antaranya perempuan punya latar belakang mumpuni. Misal pendaftar perempuan asal Samarinda. Menurutnya, kandidat tersebut pernah tercatat menjadi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pengawas Kecamatan (PPK), hingga sebagai Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di tingkat kota.
“Artinya, dari sisi pengalaman sebenarnya ada yang bisa mewakili untuk masuk 6 besar. Mengapa tidak diperhatikan itu? Seleksi ini juga kurang transparan dan akuntabel,” kritik dia.
Tidak adanya keterwakilan perempuan, menurut Budiman, sangat disayangkan. Padahal, di dalam keanggotaan timsel ada satu perempuan. Lain halnya jika di dalam peraturan perundang-undangan tidak diamanatkan untuk mengakomodir keterwakilan perempuan sebesar 30 persen.
Ketua Timsel Johans Kadir Putra mengakui, soal tidak adanya keterwakilan perempuan dari enam calon anggota Bawaslu Kaltim yang diumumkan bakal mendapat sorotan publik. Sebab keterwakilan dari perempuan dalam institusi politik apalagi penyelenggara pemilu sudah diamanatkan dalam undang-undang.
Meski begitu, Johans memastikan, tidak terpilihnya perwakilan perempuan murni disebabkan hasil pemeringkatan dari rangkaian seleksi yang digelar tim seleksi, yakni hasil tes kesehatan dan wawancara. Tes kesehatan 40 persen. Sementara tes wawancara sebesar 60 persen.
"Kami sudah memberikan penilaian secara objektif. Kami tidak hanya mempertimbangkan keterwakilan perempuan, tapi juga berdasarkan kriteria lain, seperti kemampuan di bidang kepemiluan, inovasi dan gagasan, serta strategi dalam pengawasan jika terpilih sebagai anggota Bawaslu Kaltim," katanya.
Selain itu, dijelaskan Sekretaris Timsel Ida Farida, tidak adanya keterwakilan perempuan disebabkan karena dalam penilaian ada tambahan dari nilai tes kesehatan sebesar 40 persen. Tambahan itu berpengaruh terhadap hasil akhir penetapan enam calon anggota Bawaslu Kaltim yang lolos dan berhak mengikuti uji kepatutan dan kelayakan.
"Hasil tes kesehatan itu bukan dari tim seleksi. Kami hanya dapat angka (hasil). Kalau 40 persen (tes kesehatan) ditambah hasil tes wawancara itu sangat berpengaruh (terhadap pemeringkatan)," jelas Ida Farida.
Transparansi Diperlukan
Selain tidak adanya keterwakilan perempuan, seleksi anggota Bawaslu Kaltim juga masih belum memenuhi harapan publik. Salah satunya berkaitan dengan transparansi.
Nilai-nilai dari tiap tahapan seleksi tidak semua dipublikasikan. Hanya hasil Computer Assisted Tes (CAT) yang dipublikasikan. Sementara nilai dari hasil tes wawancara tidak dipublikasikan.
Kurangnya transparansi ini bisa menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan masyarakat. Publik bisa bertanya-tanya alasan nama-nama terpilih. Sudah sesuai dengan berdasarkan kualitas, kompetensi, dan rekam jejak secara jujur, adil, dan wajar atau tidak.
Transparansi ini penting demi menjaga integritas. Sebab sudah jadi rahasia umum, seleksi-seleksi penyelenggara pemilu kerap kali diwarnai aksi titipan dari kelompok tertentu demi kepentingan jangka pendek.
Ketua Timsel Johans Kadir Putra menyatakan, pihaknya menjalankan proses seleksi berdasarkan petunjuk dan tata aturan yang ditetapkan Bawaslu RI. Timsel punya keterbatasan dalam mempublikasikan hasil tes yang sudah dilalui semua calon anggota Bawaslu Kaltim.
"Selama ini penilaian semua terpusat kecuali tes wawancara. Mulai dari tes CAT, psikologi, hingga kesehatan semua diserahkan ke Bawaslu RI," kata dia.
Untuk wawancara, sebelumnya Johans menyampaikan, timsel berkeinginan agar proses tersebut disiarkan secara langsung ke publik. Namun tidak mendapat persetujuan dari Bawaslu RI.
Adapun terkait 12 peserta yang mengikuti tes wawancara, dikatakan Johans, semuanya punya nilai yang baik. Namun timsel harus memutuskan enam yang terbaik dari 12 nama tersebut.
"Ada dua orang yang mendapat tanggapan dari masyarakat. Itu juga sudah kami klarifikasi saat proses wawancara dan jadi bahan pertimbangan timsel kepada peserta," ujarnya.
Adapun keputusan timsel menetapkan enam nama calon anggota Bawaslu Kaltim yang berhak mengikuti uji kepatutan dan kelayakan, diyakinkannya, karena dalam proses wawancara enam orang tersebut punya pengetahuan di bidang kepemiluan, integritas, dan berbagai indikator lain, ditambah hasil tes kesehatan. Sehingga timsel memutuskan enam orang tersebut layak menjadi bagian dari Bawaslu Kaltim.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unmul Budiman menyebutkan, transparansi timsel Bawaslu Kaltim memang menjadi sorotan publik. Misal tes wawancara. Untuk tingkat Bawaslu RI, bahkan DPR RI menggelar tes wawancara secara langsung dan bisa disaksikan publik secara luas.
"Kalau tidak mau dicurigai dan ada kesan janggal, ya mengapa tidak (dibuka)?” kata Budiman..
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan Budiman, jika melihat komposisi yang ada, penyelenggara pemilu terlihat identik dengan latar belakang organisasi yang dibawa.
Menurut Budiman, saat ini ada satu kelemahan untuk menjadi penyelenggara pemilu. Misalnya, jika seseorang tidak berasal dari basis organisasi tertentu yang sudah ada di pusat, kecenderungan menjadi anggota penyelenggara pemilu akan sulit. Bahkan bisa dikatakan mustahil.
“Ketika berbicara tentang tanggapan masyarakat, itu kan berbicara soal track record. Nah yang ada kan kebanyakan justru rekomendasi. Rekomendasi itu biasanya dari organisasi dan sifatnya positif. Sementara kan kami ingin lihat yang negatif. Ada tidak? Rata-rata, tanggapan itu berisi rekomendasi bukan masukan,” beber dia.
Kemudian jika berbicara soal kasus, Budiman menegaskan hal itu bisa dilihat dari rekam jejak yang bersangkutan. Misalnya, seseorang menjadi penyelenggara pemilu di suatu daerah, kemudian mendapat teguran dari pusat karena tidak bisa menangani masalah dengan baik. Artinya, jika di daerah saja sudah bermasalah bagaimana bisa naik ke tingkat provinsi dan itu diloloskan oleh pusat. Sehingga, menurut Budiman, dari sisi kapabilitas menangani masalah di daerah sangat tidak mumpuni.
“Artinya yang bermasalah itu atau sudah mendapat surat teguran, harusnya kan tidak diloloskan,” katanya.
Terkait 6 calon anggota Bawaslu Kaltim yang sudah diumumkan, Budiman menyebut harus dicari tahu siapa saja yang sebelumnya mempunyai pengalaman sebagai penyelenggara pemilu. Menurutnya, ada beberapa orang yang sebenarnya bisa diadu dan diprioritaskan karena memiliki pengalaman sebagai penyelenggara pemilu. Khususnya bagi pendaftar perempuan.
Dalam hal ini, Budiman menekankan agar penyelenggara pemilu harus jujur dan adil.
“Jadi catatan untuk timsel, patut dipertanyakan keterwakilan perempuan tidak ada? Kan lolos 12 besar ada tiga dan punya pengalaman. Lain hal kalau tidak ada perempuan yang mendaftar,” tutupnya.
[YMD | TOS]
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Dugaan Ketidaknetralan ASN oleh Rektor Unmul, Bawaslu Kaltim Bakal Teruskan Kasus ke BKN
- Pokja 30 Adakan NgoPi-Kaltim, Kolaborasikan KPU-Bawaslu dan Media Junjung Tinggi Netralitas Pilkada
- Pengaruh Program Pendidikan Gratis sampai S3 Milik Rudy-Seno terhadap Keseimbangan APBD Kaltim, Begini Pandangan Pengamat Ekonomi
- Kaltim Today Menerima Penghargaan di Local Media Summit 2024
- Presidium ICEC Kecam Penangkapan Pemred Floresa, Tuntut Usut Tuntas Pelaku Penghalang Kerja Jurnalistik