Opini

Perempuan, Rahim Nilai dan Harapan Bangsa

Refleksi Pelantikan dan Rakernas PP Muslimat NU, 9-12 Mei di Samarinda

Kaltim Today
13 Mei 2025 08:57
Perempuan, Rahim Nilai dan Harapan Bangsa
Penulis, Ida Farida.

Oleh: Ida Farida (Dosen UINSI, Ketua Muslimat NU Samarinda)

Pelantikan Pimpinan Pusat Muslimat NU yang berlangsung di Samarinda pada 10 Mei 2025 bukan sekadar agenda struktural organisasi. Ia menjadi momen kolektif yang memperlihatkan daya hidup perempuan Nahdliyin di Kalimantan Timur, sekaligus ruang refleksi tentang posisi strategis perempuan dalam menjaga nilai, keluarga, dan peradaban bangsa.

Waktu persiapan yang sangat singkat sempat membuat panitia bertanya-tanya: mungkinkah ini berhasil? Tapi hari-hari itu kami jalani dengan langkah serempak. Ada yang menyalin daftar hadir di antara jam kerja, ada yang berkoordinasi dengan PWNU untuk pemasangan atribut, dan banyak yang menahan lelah demi memastikan setiap detil berjalan baik. Kebersamaan semacam itulah yang menjadikan acara ini bukan hanya sukses secara teknis, tapi juga sarat makna spiritual dan sosial.

Acara pelantikan didukung secara sinergis oleh panitia pusat, PW Muslimat NU Kaltim, PC Muslimat NU Samarinda, PWNU Kaltim, serta seluruh warga NU Kalimantan Timur. Dukungan Pemerintah Provinsi Kaltim dan kehadiran Gubernur, Wakil Gubernur, Forkopimda, dan tokoh-tokoh masyarakat memperlihatkan besarnya simpati dan kepercayaan terhadap kiprah Muslimat NU.

Setelah pelantikan, acara berlanjut dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas). Rakernas ini melanjutkan mandat hasil Kongres Muslimat NU bulan Februari yang lalu. Rakernas dihadiri oleh 34 PW dari seluruh Indonesia serta PC terdekat dari Kaltim, Kalsel, dan Kaltara. Enam PCI (Pimpinan Cabang Istimewa) juga hadir: dari Mesir, Sudan, Arab Saudi, Malaysia, Hong Kong, dan Tiongkok. Rakernas menjadi ruang temu gagasan, pembelajaran kolektif, dan refleksi bersama atas tantangan gerakan perempuan dalam konteks kekinian.

Inspirasi datang dari banyak tempat. PC Sidoharjo menampilkan program unggul di bidang kesehatan dan pendidikan. Banyumas mengembangkan layanan haji dan umrah yang profesional. Cianjur menguatkan struktur organisasinya melalui model kemandirian organisasi, dan Kuningan memperlihatkan kemandirian ekonomi melalui jaringan mini market berbasis komunitas. Kisah-kisah seperti ini menunjukkan bahwa Muslimat NU terus tumbuh sebagai ruang pemberdayaan nyata, bukan sekadar simbol.

Dalam salah satu sesi, Ary Ginanjar hadir memberi motivasi tentang pentingnya mengenali potensi diri untuk pengembangan organisasi. Ia juga menekankan bagaimana perempuan Muslimat harus menjaga keseimbangan antara pengabdian sosial dan peran domestik sebagai ibu—sebab dari rahim keluarga yang sehat lahir peradaban yang tangguh.

Di tengah Rakernas, Muslimat NU juga meluncurkan Asosiasi GUBES (Guru Besar Muslimat NU), sebagai inisiatif strategis untuk mengonsolidasikan kekuatan intelektual perempuan NU di tingkat nasional. Ini bukan hanya forum silaturahmi, tapi juga pusat gagasan, pertukaran pengetahuan, dan ruang pengaruh yang merekatkan antara gerakan sosial dan akademik.

Sebagai penutup, delegasi Muslimat NU mengunjungi Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN). Disambut oleh Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, rombongan menyimak langsung arah pembangunan Indonesia masa depan. Suasana haru dan khidmat mengiringi penanaman pohon oleh Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jatim sekaligus Ketua Umum Dewan Pembina PP Muslimat NU) bersama Arifah Fauzi (Menteri PPPA sekaligus Ketua PP Muslimat NU). Aksi menanam pohon ini menjadi penanda simbolis bahwa Muslimat NU ikut menjaga ekologi spiritual dan sosial peradaban Nusantara baru.

Namun, jika kita berhenti pada kesuksesan teknis acara, kita bisa kehilangan pelajaran utamanya. Sebab pelantikan ini sejatinya adalah cermin tentang bagaimana perempuan—melalui kerja sunyi, kesetiaan pada nilai, dan ketekunan mengabdi—menghidupi fondasi bangsa.

Yudi Latif menulis: “Bangsa tidak dibangun oleh tumpukan regulasi, tetapi oleh regenerasi nilai.” Dan regenerasi nilai itu lahir dari rumah—lewat doa ibu, pelukan yang menenangkan, cerita pengantar tidur, dan teladan kehidupan sehari-hari.

Muslimat NU menjadi rahim nilai itu. Perempuan Muslimat hadir bukan untuk popularitas, tapi untuk pengabdian. Mereka membina pengajian, menemani ibu hamil di desa terpencil, menjadi penengah konflik rumah tangga, bahkan menyambut warga yang pulang dari rumah sakit jiwa. Dalam ketekunan mereka, nilai Islam dijalankan dalam bentuk paling nyata: kasih, peduli, dan sabar.

Dalam khazanah sufisme, Ibn Arabi menyebut: “Perempuan adalah cermin ruh laki-laki, dan dalam dirinya memancar cahaya kasih Tuhan.” Perempuan bukan sekadar pengasuh, tetapi penjaga harmoni semesta.

Tantangan Muslimat NU ke depan tetap besar. Regenerasi kader, adaptasi digital, dan perubahan sosial menuntut organisasi ini lebih lentur, namun tetap berakar. Maka pelantikan ini bukan titik akhir, tapi awal dari peneguhan komitmen. Muslimat NU harus terus menjadi jembatan antara tradisi dan kemajuan, antara agama dan ilmu, antara keluarga dan bangsa.

Perubahan besar seringkali dimulai dari yang kecil. Dari pelukan ibu yang sabar, dari musholla kecil di kampung, dari majelis pengajian dengan sajian seadanya, dari ibu-ibu yang menyiapkan konsumsi sambil menjaga anak, dari panitia yang bekerja di sela-sela jam kerja, dari perempuan yang tak pernah lelah mencintai bangsa lewat kerja senyap.

Dari tangan mereka, harapan Indonesia ditenun. (*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya