Opini
Pilkada Kaltim: PSU dan Krisis Kepercayaan Demokrasi

Oleh: Ida Farida (Dosen UINSI Samarinda, dan Komisioner KPU Kaltim 2014-2019)
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Pilkada di Kalimantan Timur harus diulang di dua daerah, yaitu Mahakam Ulu (Mahulu) dan Kutai Kartanegara (Kukar), akibat permasalahan dalam proses pemilu kepala daerah 2024. PSU di Kukar telah dijadwalkan pada 19 April 2025, sementara PSU di Mahulu dijadwalkan pada 25 Mei 2025. Keputusan ini tidak hanya sekadar pengulangan teknis, tetapi juga mencerminkan tantangan yang masih dihadapi dalam memastikan transparansi, keadilan, dan kepastian hukum dalam sistem pemilu.
PSU tidak hanya membebani anggaran negara, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap demokrasi. Biaya besar yang dikeluarkan untuk mengulang pemilu seharusnya dapat dialokasikan untuk pembangunan daerah, peningkatan layanan kesehatan, atau pendidikan yang lebih mendesak. Pemilu yang diulang akibat kesalahan yang dapat dicegah mencerminkan kegagalan sistem yang tidak hanya berimplikasi pada aspek teknis, tetapi juga menimbulkan kejenuhan politik dan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Partisipasi pemilih berisiko menurun, sementara kredibilitas penyelenggara pemilu semakin dipertanyakan. Jika kondisi ini terus terjadi, bukan hanya legitimasi pemilu yang terancam, tetapi juga stabilitas politik serta kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi secara keseluruhan.
Mengapa Pemungutan Suara Ulang Terjadi?
Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan PSU di Mahulu setelah menemukan adanya praktik kontrak politik yang melibatkan pasangan calon dan sejumlah ketua RT. Praktik ini bukan sekadar janji politik biasa, tetapi sudah masuk ke ranah transaksi politik yang mencederai prinsip pemilu yang bebas dan adil. Selain itu, MK juga mencatat keterlibatan bupati petahana yang menggunakan fasilitas negara untuk mendukung salah satu calon, sebuah tindakan yang bertentangan dengan etika dan regulasi pemilu.
Jika sejak awal Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) lebih aktif dalam mengawasi dan menindak pelanggaran, kasus ini mungkin tidak akan berkembang hingga mengharuskan PSU. Optimalisasi peran Gakkumdu dalam menangani pelanggaran pemilu dapat memastikan bahwa setiap indikasi kecurangan segera diproses secara hukum, sehingga dampak pelanggaran terhadap jalannya pemilu di Mahulu bisa diminimalkan atau bahkan dicegah sejak awal.
Di Kukar, PSU terjadi akibat ketidakpastian hukum dalam pencalonan kepala daerah, khususnya terkait masa jabatan Edi Damansyah. MK memutuskan bahwa masa jabatan Edi Damansyah sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati pada 2018-2019 dan Bupati definitif pada 2019-2021 dihitung sebagai satu periode penuh. Dengan demikian, pencalonannya pada Pilkada 2024 dianggap melanggar batas maksimal dua periode jabatan kepala daerah.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Banjarmasin menolak gugatan yang meminta pembatalan status pencalonan Edi Damansyah, dengan alasan bahwa penggugat tidak memiliki kedudukan hukum yang jelas. Namun, MK kemudian membatalkan putusan PT TUN tersebut dan menetapkan diskualifikasi Edi Damansyah sebagai keputusan final.
Keputusan ini menegaskan bahwa masa jabatan lebih dari setengah periode dihitung sebagai satu periode penuh, sehingga Edi dianggap telah menjabat dua periode dan tidak dapat mencalonkan diri kembali. Ketidakkonsistenan dalam proses hukum ini menciptakan ketidakpastian bagi peserta pemilu dan pemilih.
Situasi ini menunjukkan masih adanya celah dalam regulasi yang memungkinkan perbedaan tafsir hukum di antara lembaga penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, koordinasi antara KPU, Bawaslu, dan MK perlu diperkuat agar setiap keputusan yang diambil bersifat final, tidak bertentangan satu sama lain, dan memberikan kepastian hukum bagi seluruh pihak yang terlibat dalam pemilu.
Menuju Pemilu yang Lebih Baik
PSU di Kalimantan Timur menunjukkan masih adanya celah dalam sistem pemilu yang perlu segera diperbaiki. Ketidakkonsistenan regulasi, lemahnya koordinasi antar-lembaga, serta pengawasan yang belum optimal adalah beberapa faktor utama yang perlu dibenahi. Tanpa perbaikan nyata, legitimasi pemilu dan kepercayaan publik terhadap demokrasi akan semakin melemah. Oleh karena itu, langkah konkret diperlukan untuk membangun sistem pemilu yang lebih kredibel dan berintegritas.
Menjaga kepercayaan publik terhadap pemilu memerlukan keterlibatan aktif seluruh pemangku kepentingan. Pemerintah harus memastikan kebijakan pemilu yang transparan dan berbasis kepastian hukum. KPU dan Bawaslu dituntut untuk menjalankan tugasnya dengan profesionalisme dan akuntabilitas, sementara partai politik memiliki tanggung jawab besar dalam mencalonkan kandidat yang berintegritas.
Masyarakat sipil dan pemilih juga berperan penting dalam mengawasi jalannya pemilu agar berlangsung secara adil dan demokratis. Oleh karena itu, perbaikan sistem pemilu harus mencakup penyempurnaan regulasi, peningkatan koordinasi antar-lembaga, penguatan kapasitas penyelenggara, serta perluasan partisipasi publik.
Regulasi pencalonan perlu diperjelas untuk menghindari tafsir yang bertentangan dan memastikan kepastian hukum dalam pencalonan serta penyelesaian sengketa pemilu. Evaluasi berkala terhadap regulasi pemilu menjadi krusial guna menutup celah hukum yang dapat dimanfaatkan demi kepentingan politik jangka pendek. Tanpa aturan yang jelas dan konsisten, pemilu akan terus menghadapi tantangan hukum yang berulang.
Koordinasi antara KPU, Bawaslu, dan Mahkamah Konstitusi harus diperkuat agar kebijakan pemilu memiliki kepastian hukum sejak awal. Keputusan yang diambil harus bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada perubahan aturan di tengah proses yang dapat memicu ketidakstabilan politik. Sinergi yang erat antar-lembaga ini akan memastikan pemilu berjalan lebih efektif dan minim sengketa.
Profesionalisme penyelenggara pemilu juga harus terus ditingkatkan. KPU dan Bawaslu perlu memastikan bahwa seluruh penyelenggara memiliki keterampilan teknis yang memadai serta menjunjung tinggi standar etika. Pelatihan berkelanjutan dan pemanfaatan teknologi dalam deteksi serta penanganan pelanggaran pemilu akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas proses pemilu.
Kesimpulan
Kasus PSU di Kalimantan Timur menjadi pengingat bahwa sistem pemilu di Indonesia masih menghadapi tantangan serius yang memerlukan perbaikan. Ketidakkonsistenan regulasi, lemahnya koordinasi antar-lembaga, serta pengawasan yang belum optimal adalah beberapa faktor utama yang perlu dibenahi. Jika masalah ini tidak segera ditangani, bukan hanya legitimasi pemilu yang akan terus dipertanyakan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, langkah konkret diperlukan untuk membangun sistem pemilu yang lebih kredibel dan berintegritas.
Seperti yang dikatakan Montesquieu, "Demokrasi hanya akan bertahan jika berdiri di atas fondasi yang kokoh." Upaya perbaikan harus dilakukan secara berkelanjutan agar pemilu benar-benar mencerminkan kehendak rakyat dan memperkuat legitimasi demokrasi.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp
Related Posts
- Pemprov Kaltim Segera Bentuk Badan Pengelola Pendidikan Gratis SMA-S3
- Safari Ramadan, Pemprov Kaltim Beri Santunan Rp 42 Juta ke Ahli Waris Pekerja
- PAW Abdul Rakhman Bolong Gantikan Seno Aji, Duduki Komisi III DPRD Kaltim
- Dituduh Serobot Lahan, Empat Warga Telemow di IKN Ditahan Kejari PPU
- Wagub Seno Aji Sebut Pembentukan TGUPP Pemprov Kaltim Irisan dari Tim Transisi