Bontang
Pulau Gusung Terancam Tenggelam, Pemkot Bontang Masih Abai Upaya Mitigasi
Selain terancam tenggelam akibat perubahan iklim, ada setumpuk persoalan lain yang menghantui Pulau Gusung, misalnya masalah pendidikan, kesehatan, listrik, dan air bersih. Pertanyaan krusialnya, apakah Pemkot punya langkah mitigasi guna menyelamatkan pulau itu, dan sejauh mana upaya mereka dalam memenuhi hak-hak mendasar warganya di Pulau Gusung?
Terancam tenggelam tapi diabaikan
Jumadi sadar betul, bila tak ada langkah konkret diambil pemerintah, Pulau Gusung bisa tenggelam. Dirinya mengaku sudah berkali-kali mengusulkan pemerintah, baik secara formal dan non-formal agar ada upaya penyelamatan bagi pulau itu. Misalnya membangun turap beton di sepanjang pulau atau memasang pemecah ombak.
Jalur formal ditempuh melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang). Sejak menjabat ketua RT 03 pada 2020, usulan ini selalu diajukan. Namun usulan itu tak pernah naik sampai ke Musrembang tingkat kota.
Jalur non-formal dilakukan Jumadi dengan menyampaikan langsung ke Wali Kota Bontang, Basri Rase atau melalui perwakilan di DPRD. Tiap kali kesempatan bertemu Wali Kota Basri, usulan itu disampaikan. Begitu pun ketika bertemu anggota dewan. Namun sayang, ia tak pernah mendapat respon berarti.
Pria berusia 36 tahun itu meyakini, bakal sulit merumuskan upaya penyelamatan pulau bila usulannya mesti masuk lewat Musrembang. Pasalnya, Pulau Gusung ini posisinya terpencil, dari dulu kurang diperhatikan, sehingga persoalannya dinilai tak sama mendesaknya dengan wilayah daratan Bontang. Mestinya, pemerintah membuat program khusus guna melakukan mitigasi atau menyelamatkan Pulau Gusung. Seperti halnya upaya penanganan banjir Bontang.
‘’Tidak bisa kalau masuk Musrembang, berat. Harusnya dimasukkan program khusus dan anggaran sendiri,'' simpulnya.
Upaya terakhir pernah dilakukan Pemkot Bontang guna menyelamatkan pulau berpasir putih itu pada 2016 silam. Kala itu, Pemkot membangun semacam penahan agar ombak tak langsung menyerang bibir pantai. Penahan ombak yang terbuat dari kayu ulin itu dibangun sepanjang 50 meter di sisi utara Pulau Gusung.
Penahan ombak yang dibangun tujuh tahun silam itu masih ada, tapi sudah miring. Ia sudah tak mampu menahan ganasnya air laut yang terus merangsek dan mengikis bibir pantai.
''Tidak mampu sudah. Itu di belakang papannya (penahan) dulu berpasir sampai ke atas. Sekarang sudah terkikis,'' terang Jumadi.
Persoalan di Pulau Gusung sebenarnya bukan cuma potensi tenggelam. Ada setumpuk persoalan lain di pulau itu, yang sayangnya kurang mendapat perhatian pemerintah. Makin mengenaskan karena persoalan di Pulau Gusung sebenarnya terkait dengan kebutuhan mendasar manusia.
Pertama, tidak ada air bersih. Untuk memperolehnya warga mesti membelah lautan 20-30 menit ke daerah lain, seperti di Guntung, Loktuan, Bontang Baru, atau Bontang Kuala. Warga mesti merogoh kocek Rp 1500 - Rp 2000 untuk air dalam jerigen ukuran 20 liter. Dalam sekali ambil, biasa warga memuat 30-50 jerigen air. Dan itu dilakukan 3-4 kali saban pekan. Ongkos untuk memperoleh air jelas berlipat, karena warga bukan saja membayar untuk air, pun mengisi solar buat kapal memuat air.
Pada 2019 silam, pemerintah pernah membangun pusat penyulingan air asin ke air tawar Sea Water Reverse Osmosis (SWRO) di pulau ini. Tapi air produksinya hanya sekitar 5000 liter per hari. Itu tak sanggup memenuhi kebutuhan air harian warga. Belum lagi, pusat penyulingan ini berhenti beroperasi usai tujuh bulan diresmikan. Sejak saat itu, produksi air berhenti total.
‘’Pemerintah tahu sekali kalau ini rusak," ungkapnya.
Kedua, tidak ada aliran listrik dari PLN. Untuk mendapat sumber energi listrik, warga memanfaatkan dua unit generator set (genset). Genset itu merupakan bantuan perusahan awal 2023 lalu.
Genset mulai beroperasi pukul 6-11 malam. Untuk membeli bahan bakar untuk menyalakan genset yakni solar, warga urunan. Per hari, ada tiga rumah yang mendapat giliran membeli solar sebanyak 15 liter. Esoknya, tiga rumah lain mendapat giliran. Begitu terus hingga seluruh rumah mendapat giliran.
Sebenarnya pada 2014 lalu pemerintah telah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Pulau Gusung. Seiring tahun, performanya menurun. Dari mulanya bisa mengaliri listrik 24 jam, pada 2020 hanya 1-2 jam. PLTS tak bisa beroperasi seperti dulu karena baterainya sudah menua, perlu diganti. Instalasi PLTS di Gusung butuh 110 baterai. Bila dikalikan harga per unit baterai Rp 7 juta, maka untuk membeli 110 baterai baru diperlukan anggaran sekitar Rp 770 juta.
"Listriknya terbatas, jadi barang elektronik itu banyak tidak bisa dipakai.’’
Ketiga, minimnya layanan pendidikan. Di pulau ini, hanya ada satu sekolah, SDN 011. Kata Ismail, guru kelas 3 di SDN 011, banyak muridnya yang putus sekolah ketika SMP. Penyebabnya, banyak anak-anak mulai malas ketika harus menyeberang pulau untuk masuk ke SMP. Belum lagi, orangtua yang kurang sportif. Bahkan tak sedikit kasus pernikahan anak— khususnya perempuan, di pulau ini.
Ketiga, tidak ada pelayanan kesehatan. Untuk mendapat layanan kesehatan, katakanlah ke Puskesmas, warga harus menyeberang pulau. Ini sama halnya ketika mereka mau memburu air ke daerah lain.
Bagaimana nasib warga Gusung selanjutnya?
Kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Bontang, saya tanyakan apakah mereka menerapkan mitigasi kalau kejadian sekolah ambruk tahun 2021 terjadi lagi di kemudian hari.
Sekretaris Disdikbud Bontang Saparuddin mengatakan, pihaknya tidak punya mitigasi semacam itu. ‘’Mitigasi seperti itu tidak ada. Pertanyaannya, apa nanti masih ada orang tinggal di sana. Kan begitu,’’ bebernya ketika ditemui usai rapat dengan DPRD, Senin (22/5/2023) siang. Dia menambahkan, Disdikbud saat ini hanya fokus memberi layanan pendidikan ke Pulau Gusung. Sementara langkah mitigasi menurutnya lebih merupakan kewenangan Wali Kota.
Kabid Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bontang, Ambo Sakka mengatakan hal serupa. Langkah mitigasi penyelamatan dan adaptasi pulau-pulau kecil Bontang dari krisis iklim belum dibuat. Pemkot sudah memiliki dokumen kajian penanggulangan bencana, tetapi tak disebut soal penyelamatan atau mitigasi pulau terluar dari ancaman tenggelam.
"Mudah-mudahan bisa masuk (saat direvisi)… sekarang belum ada,’’ terang Ambo saat ditemui di kantornya, Jalan Ir. Juanda, Kelurahan Tanjung Laut Indah, Selasa (23/5/2023) siang.
Lebih lanjut, berdasarkan data BPBD, kenaikan level air laut di Bontang berada di angka 2-3 mm per tahun. Perhitungan ini dilakukan secara manual melalui pemantauan patok indikator yang dipasang di pesisir Bontang. Di Bontang saat ini ada 3 pulau yakni Kendindingan, Beras Basah, dan Gusung.
Jawaban yang barangkali paling mengecewakan, justru datang dari Wali Kota Bontang, Basri Rase. Ketika ditanya mengenai langkah mitigasi dan adaptasi terhadap berbagai problem di pulau terutama ancaman Gusung tenggelam, jawabannya nampak sekenanya saja.
‘’Semua pasti (ada), semua itu. Tapi kami mulai satu-satu,’’ bebernya sembari melangkah cepat ke Rumah Jabatan Wali Kota, Jalan Awang Long, Rabu (24/5/2023) siang. Tidak jelas apa yang dimaksudnya dengan “satu-satu”.
Jadi apa persisnya mitigasi Pemkot Bontang untuk Pulau Gusung yang terancam tenggelam?
‘’Pasti lah. Pasti lah, pasti ada,’’ kata Basri yang buru-buru masuk rumah dinas tanpa benar-benar menjawab pertanyaan.
Mitigasi alam terbaik
Di berbagai wilayah Indonesia, isu mitigasi dan adaptasi terhadap krisis iklim terutama untuk pulau-pulau kecil diperkirakan akan makin mendesak.
Berdasarkan studinya, Prof Eddy Hermawan menyarankan mitigasi dilakukan dengan kembali ke alam (nature-based solution). Misalnya menanam bakau di sepanjang garis pantai serta menargetkan penghijauan kembali lahan-lahan yang selama ini gundul.
Pembangunan dinding raksasa (giant wall) atau sejenisnya menurutnya tak membawa terlalu banyak manfaat. Infrastruktur anti-rob seperti ini menurutnya justru berpotensi bahaya, sebab berlawanan dengan daya tahan alami lingkungan. Membangun kesadaran akan pentingnya alam dan menjalankan gaya hidup selaras alam menurutnya juga penting digalakkan, terkhusus kepada anak muda.
‘’Kembali ke alam, jangan rusak lingkungan. Ubah pola gaya hidup,’’ sebutnya.
Selain itu, kata Eddy, Indonesia perlu belajar dari sejumlah negara di Eropa Barat seperti Belanda, Finlandia, dan Norwegia. Negara-negara ini terletak berdekatan dengan kutub utara dan juga menerima dampak perubahan iklim. Tetapi negara-negara ini memiliki penguasaan proses hidrologi tinggi melalui pemanfaatan teknologi mutakhir. Mengembangkan teknologi, memahami proses hidrologi, dan memasang satelit pemantau. Langkah-langkah ini diusulkan Eddy untuk ditiru Indonesia.
‘’Ini (perubahan iklim) tidak bisa ditentang. Teknologi harus dikembangkan untuk menurunkan level emisi CO2 dan supaya tidak rusak lingkungan.’’
Karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat terdampak kenaikan muka air laut, Eddy mendorong pemerintah daerah membaca tren dan mengidentifikasi kawasannya terkait dengan perubahan iklim ini. Misalnya dengan menyiapkan skenario pemindahan warga ketika air laut sudah menguasai wilayah daratannya.
‘’Bukan long term-nya baru nanti 2100. Tapi masalah ini dibahas dua tahunan, atau malah per tahun,’’ tambahnya.
Ilmuwan lain, salah anggota peneliti tim studi pulau kecil Unpad, Noir Primadona Purba mengusulkan setidaknya tiga upaya warga pulau kecil beradaptasi dengan perubahan iklim. Pertama, mencoba memasang pondasi rumah, bila ingin mempertahankan rumah tetap berada di posisinya. Kedua, menaikkan pondasi rumah. Ketiga, pindah bila dirasa muka air laut pulau sudah tak mungkin diajak kompromi.
Masalahnya menurut dosen di Fakultas Perikanan dan Kelautan ini, warga wilayah pesisir biasanya kalangan masyarakat kelas menengah bawah. Mereka tak punya banyak pilihan ketika dihadapkan pada situasi krisis. ‘’(Jadi) Pertanyaan pentingnya: apa yang harus dilakukan pemerintah? Karena sifat kenaikan muka laut bukanlah bersifat lokal tapi global yang harus diselesaikan bersama,’’ tegasnya melalui surel.
Noir mengatakan tiga poin adaptasi di atas mungkin diambil warga pulau kecil. Dalam praktiknya, poin tersebut sukar dilakukan karena berkaitan dengan infrastruktur dan pendanaan. Orang juga sukar meninggalkan tempat lahir walau tempat itu kemungkinan akan hancur.
‘’Jadi tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri. Warga pulau mungkin akan beradaptasi dengan membuat pondasi rumah dengan tiang-tiang sehingga tidak tenggelam. Di sisi lain memperkuat ekosistem pesisirnya seperti mangrove, lamun, dan karang. Karena ketiga ekosistem ini menjaga agar pulau atau pesisir tidak cepat tergerus dari gelombang dan arus,’’ tandasnya.
[RWT]
Liputan ini bagian kedua dari artikel yang ditulis reporter Kaltimtoday.co, Fitri Wahyuningsih. Artikel ini merupakan hasil worskhop AJI Indonesia dan Unicef Indonesia bertajuk ’’Peliputan Perubahan Iklim dan Dampaknya pada Anak-Anak’’. Bagian kedua dari tulisan ini dapat di baca di sini: Nasib Pulau Gusung di Bontang: Tertinggal, Terabaikan, dan Terancam Tenggelam.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Pemerintah Alokasikan Rp 256 Triliun untuk Pembebasan PPN Kebutuhan Pokok
- Kukar Raih Juara Umum di Peparpeda I/2024, NPCI Kaltim Siapkan Atlet Menuju Peparpenas
- Sofyan Hasdam Pastikan Tapal Batas Kampung Sidrap Kembali Dibahas Usai Pelantikan Kepala Daerah
- Gelar Silaturahmi, IKA Unhas Pertegas Komitmen Mengawal Pembangunan Bontang
- Fenomena Drone Misterius di AS, Trump Minta Segera Ditembak Jatuh