Bontang
Nasib Pulau Gusung di Bontang: Tertinggal, Terabaikan, dan Terancam Tenggelam
Brakkkk!!
Juharni bersama jemaah lain yang baru saja menunaikan salat isya di Masjid Al-Wahid seketika tersentak mendengar suara hantaman keras. Berbondong-bondong mereka keluar masjid, mencari sumber suara. Ini terjadi pada Mei 2021.
"Itunah sekolah roboh,’’ kata seseorang yang berlari menuju sekolah.
Sekolah yang dimaksud ialah SD Negeri 011 Bontang Utara. Bangunannya terletak di Pulau Gusung, Kelurahan Guntung, Kecamatan Bontang Utara. Jarak sekolah itu dari Masjid Al-Wahid tak jauh, hanya sekitar 50 meter.
Juharni juga penasaran. Dengan mukenah yang masih menempel di tubuh, tergopoh-gopoh ia mendekati halaman sekolah.
Penerangan di pulau itu masih sangat terbatas. Namun Jurhani bisa dengan jelas menyaksikan betapa mengenaskannya kondisi sekolah kala itu. Nyaris seluruh bangunannya yang terbuat dari kayu ambruk dan akhirnya tenggelam di laut. Hanya tersisa dua ruang yang masih berdiri. Yang bila dilihat dari penampilannya pun bakal mengalami nasib serupa: ambruk. Menyaksikan sendiri kondisi itu, dalam hati dia bertanya, bagaimana masa depan pendidikan putranya, Iqbar Fuqron, bila satu-satunya sekolah di pulau itu sudah tak bisa digunakan lagi.
Proses belajar mengajar terhenti nyaris sepekan setelah sekolah ambruk. Menurut cerita Juharni, sekolah masih mencari solusi bagaimana melanjutkan pembelajaran. Usai sekolah berembuk dengan orangtua murid serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Bontang, pembelajaran dilanjutkan namun dengan kondisi apa adanya.
Secara umum, hampir tak ada bangunan besar di Pulau Gusung yang dapat menampung seluruh murid SDN 011 yang kala itu berjumlah 64 orang. Dua bagunan cukup besar di pulau itu hanya dua: masjid dan Balai Pertemuan Umum (BPU). Masjid tak mungkin difungsikan sebagai tempat pembelajaran darurat karena digunakan warga beribadah. Praktis, opsi terakhir yang tersedia ialah memanfaatkan gedung BPU.
"Akhirnya anak-anak belajar di gedung BPU," kata perempuan 38 tahun itu, ketika ditemui di kediamannya di Pulau Gusung, pertengahan Mei 2023 lalu.
Namun dalam perjalanannya, proses pembelajaran di BPU banyak tantangannya. Juharni menjadi saksi, bagaimana murid SDN 011, termasuk putranya, terpaksa belajar dengan kondisi yang jauh dari kata ideal.
Untuk membedakan setiap tingkatan kelas, anak-anak diminta membuat lingkaran serupa kelompok belajar. Mereka lantas duduk mengemper dan menulis di atas meja kecil, sembari mendengarkan guru menjelaskan. Karena dalam satu ruang BPU itu tak bersekat, maka suara bising antar satu kelas dan kelas lain menjadi tak terhindarkan.
"Anak-anak mengeluh, katanya belajarnya tidak nyaman. Ya memang beda kalau belajarnya tidak di sekolah. Tidak ada mejanya, tidak ada kursinya, ada capeknya juga," beber perempuan yang sudah bermukim di Pulau Gusung sejak 1993 ini.
Selain tak nyaman, anak Juharni yang kala itu duduk di bangku kelas 4 SD pun mengeluhkan soal sulitnya fokus menerima pelajaran. Selain karena ketiadaan fasilitas memadai, kondisi pembelajaran membuat anak sulit berkonsentrasi.
Guru sempat berinisiatif memindahkan pembelajaran sejumlah murid ke gazebo yang letaknya tepat di depan BPU. Ada dua gazebo digunakan. Tiap gazebo dapat menampung hingga 6 murid. Pemindahan ini terpaksa dilakukan lantaran suara anak-anak dari satu kelas mengganggu murid di kelas lain.
"Nggak bisa fokus belajar karena ini kan di luar (gazebo). Jadinya anak-anak kayak seperti bermain," ungkapnya.
Kendati memprihatinkan, namun Juharni dan orangtua yang anaknya bersekolah di SDN 011 tak bisa berbuat banyak. Mereka pasrah sebab tak punya pilihan lain.
"Saya lihat sendiri keadaannya di sana (sekolah). Cuma kami mau bagaimana, kondisinya sudah seperti itu. Kami cuma berharap bisa cepat-cepat dibantu pemerintah," kata Juharni.
Lia Adilla (28) menceritakan keprihatinan hal yang sama. Warga Gusung beranak dua ini mengatakan, selama pembelajaran dipindahkan ke BPU dan gazebo, beberapa kali guru berinisiatif menggelar pembelajaran keliling rumah murid. Misalnya, di pekan pertama mengunjungi rumah murid A, di pekan selanjutnya di rumah murid B, dan terus bergilir ke rumah seluruh murid di kelas.
"Katanya ribut kan di BPU, sempit juga, jadi belajarnya sempat keliling-keliling rumah," beber Lia.
Sementara itu, guru SD Negeri 011 Ismail menjelaskan, sudah sejak lama pihak sekolah memprediksi bangunan sekolah bakal ambruk. Ada dua alasannya. Pertama, karena bangunan sekolah sudah rapuh akibat dimakan usia.
Satu-satunya sekolah di Pulau Gusung itu dibangun pada 2002, lebih dari 20 tahun lalu. Empat tahun kemudian, pembangunan dilanjutkan dengan penambahan ruang guru dan perpustakaan. Adapun, bangunan sekolah meliputi 6 ruang kelas ukuran 4 x 6 meter, ruang guru, perpustakaan, toilet, dan gudang. Seluruh bangunan terbuat dari kayu, sebagian besar kayu ulin, dan pembangunan sepenuhnya dilakukan oleh PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim). Lokasi pabrik pupuk itu memang bersisian dengan Pulau Gusung.
Alasan kedua, karena terjadinya abrasi di Pulau Gusung dan bangunan sekolah yang terus-terusan dihantam ombak. Ismail menyebut, awalnya bangunan SDN 011 didirikan di sisi utara wilayah dataran Pulau Gusung. Namun karena laju abrasi di pulau itu, wilayah daratannya terkikis dan mengubah sekolah dari mulanya berada di daratan kini justru terendam wilayah laut.
Kondisi buruk sekolah makin nyata terlihat pada 2019. Tanah yang mulanya menopang rangka bangunan sekolah terkikis. Tiang penyangganya pun mengalami kemiringan. Maka pada 2020 pihak sekolah melapor ke Disdikbud Bontang minta direlokasi. Ini dilakukan sebagai antisipasi kejadian tak diinginkan ketika proses belajar berlangsung.
Saking daruratnya kondisi sekolah, 6 bulan sebelum sekolah ambruk pada Mei 2021, dua ruang kelas tidak difungsikan lagi. Lantainya sudah terlalu miring dan rapuh. Walhasil, dua ruang kelas lain disekat untuk menampung murid kelas 1 dan 2 yang ruang kelasnya ditutup.
Permintaan pihak sekolah untuk direlokasi ke bangunan baru tak langsung dikabulkan Disdikbud. Mereka beralasan, rencana pembangunan sebenarnya sudah masuk pada 2020 untuk APBD 2021. Namun wacana itu ditangguhkan lantaran pemerintah melakukan refocusing anggaran untuk penanganan Covid-19. Akhirnya sekolah keburu ambruk ketika tempat belajar lain belum disiapkan.
"Sudah lama kami usulkan ke pemerintah. Tapi karena keterbatasan anggaran, lama diakomodir. Baru setelah ambruk, diberitakan (media) di mana-mana, baru gerak," ujar Ismail ketika ditemui di SD Negeri 011 pertengahan Mei 2023 lalu.
Setelah sekolah itu ambruk, pembelajaran darurat digelar di BPU. Suara bising yang dihasilkan dari guru dan murid masing-masing kelas membuat pembelajaran menjadi tak nyaman. Untuk meminimalisir "bentrokan suara" dan gangguan murid lintas kelas, pembelajaran di gazebo dan keliling rumah murid pun dilakukan — ini untuk murid kelas 5.
Ismail bilang, barang tentu pembelajaran di gazebo tak menyenangkan. Bila matahari sedang terik-teriknya, mereka kepanasan. Ketika hujan dalam intensitas tinggi ditambah angin kencang, mereka terkena tempias. Dan bila angin laut kencang, mereka kedinginan dan buku pelajaran murid tertiup angin.
Akibat dari pembelajaran seperti ini mudah ditebak: nilai mata pelajaran anak didik jeblok. Ini terlihat dari nilai ulangan dan ujian mereka.
"Kelihatan nilainya turun semua karena pembelajarannya memang tidak maksimal," kata pria yang bermukim di Kelurahan Bontang Baru ini.
Pulau Gusung merana
Jumadi menatap pohon bakau yang masih berdiri kokoh di ujung pantai. Letaknya tak jauh dari jembatan penyeberangan Pulau Gusung. Jarak dari tempatnya berdiri hingga pohon yang sudah tergenang wilayah lautan itu sekitar 25 meter.
Pria yang berprofesi sebagai nelayan dan juru las (welder) bawah laut ini bilang, di awal 2000-an, tempat pohon itu tumbuh masih masuk wilayah daratan Pulau Gusung. Namun seiring naiknya level air laut dan abrasi yang menghantam pulau itu, bibir pantainya terus tergerus dan luruh oleh air laut. Hasilnya, terjadi penurunan drastis wilayah daratan pulau.
"Parah sekali pengurangannya [wilayah daratan] ini. Jauh ketimbang dulu awal saya tinggal di sini," katanya.
Dia mengisahkan, mulanya Pulau Gusung ini adalah bekas galian PT Pupuk Kaltim. Sekitar tahun 1970-an ketika pembangunan areal pabrik dimulai, wilayah lautannya juga dilakukan pengerukan guna mendukung aktivitas pelayaran perusahaan. Tanah hasil pendalaman laut itu kemudian menumpuk dan membentuk pulau.
Pulau tak berpenghuni itu mulai didatangi beberapa nelayan. Mereka singgah sekadar untuk menghalau penat usai melaut. Nelayan ini datang dari berbagai daerah di Sulawesi, namun sebagian besar berasal dari Sulawesi Barat (Sulbar) khususnya Mamuju.
Seiring waktu para nelayan mulai membangun pondok-pondok kecil di pulau. Keluarga mereka dari Sulawesi ikut diboyong ke pulau itu. Perlahan namun pasti, inilah yang kemudian mendorong arus pertumbuhan penduduk di pulau itu.
Memasuki awal 1990-an, kumpulan warga pendatang ini secara administratif resmi tercatat sebagai RT 013 Kelurahan Tanjung Laut Indah. Tapi pada 1993 diubah menjadi bagian Kelurahan Guntung karena secara geografis memang lebih dekat kelurahan itu.
Adapun nama Pulau Gusung diambil dari bahasa Mamuju "Dusung" yang artinya tumpukan tanah dari pasir. Belakangan jadi "Gusung" mengikuti pengucapan warga lokal Bontang.
Ada beberapa pilihan jalur untuk ke pulau ini. Biasanya melalui Pelabuhan Guntung, Pelabuhan Loktuan, dan Pelabuhan Tanjung Limau. Durasi penyeberangan sekitar 20-30 menit tergantung titik awal penyeberangan, jenis kapal yang digunakan, dan kondisi cuaca. Bila dari Pelabuhan Tanjung Limau menggunakan kapal kecil dan kondisi cuaca bagus, durasi tempuhnya sekitar 20 menit.
Jumadi sendiri mulai menetap di pulau berpenduduk 347 jiwa ini pada 1993. Sebelumnya dia hanya singgah di pulau ketika rehat melaut, seperti pendahulunya. Namun demi alasan efisiensi biaya, ketimbang bolak-balik lokasi mencari ikan di perairan Bontang, ia memutuskan menetap di Pulau Gusung.
"Karena dari kampung kami kan sebagian besar memang nelayan," beber pria yang sejak 2020 lalu menjabat ketua RT 03 Pulau Gusung ini.
Dalam ingatan Jumadi, awal 1990-an, wilayah daratan Pulau Gusung sangat luas. Di sisi barat pulau, banyak pokok bakau tumbuh. Warga tak berani mendekat pokok-pokok itu lantaran takut akan keberadaan binatang buas macam ular.
Di sepanjang bibir pantai hingga di pekarangan Masjid Al-Wahid berdiri, deretan pohon kelapa tumbuh subur. Beberapa warga bahkan bisa menanam singkong dan pohon pisang di halaman depan rumah.
"Dulu bisa tumbuh tanaman itu, kayak singkong dan pisang. Tapi sekarang tidak bisa, air sudah naik sampai di atas," terangnya.
Medio 1990-an, diperkirakan luas pulau mencapai 1000 m2 x 500 m2. Namun perhitungan yang dilakukan Jumadi awal Mei 2023 lalu menunjukkan luas daratan pulau hanya tersisa 780 m2 x 150 m2. Ini pun bisa lebih kecil karena pengukuran dilakukan hingga jembatan yang menghadap rumah warga. Sementara jembatan tersebut sudah masuk wilayah laut.
Pengikisan pulau mulai disadari sekitar tahun 2004-2005. Ambruknya sekolah pada Mei 2021 lalu hanya semakin menyadarkan mereka bahwa pulau makin tergerus. Sejak 2020 pun, banjir rob bahkan sudah merangsek ke rumah warga. Dulu hanya 4-5 rumah saja yang terendam rob. Sekarang, 40 persen dari total 85 rumah sudah terendam ketika rob datang. Siklus rob tiba antara Januari-Maret. Banjir rob biasanya naik di malam hari, dan surut dalam 2-3 jam.
Akibat dari abrasi, bukan hanya luas daratan pulau menyusut, konstruksi rumah warga di sana banyak yang rusak.
Tepat di sisi kanan lokasi penyulingan air laut yang sudah tak berfungsi itu, dulunya berdiri 10 rumah warga, termasuk rumah Jumadi. Karena sering dihantam ombak, dan pemerintah juga sempat berjanji jadikan kawasan itu pusat wisata bahari, warga membangun rumah di sudut lain pulau.
‘’Kalau tidak dipindah juga akan hancur, mbak. Di sana juga kencang ombak,’’ ujar Jumadi.
Tak jauh dari sana, konstruksi bawah rumah beberapa warga yang terbuat dari kayu ulin juga miring. Juharni, yang sebelumnya sempat diwawancarai mengatakan, seandainya rumah mereka tidak terendam laut konstruksinya tak akan miring. Padahal dulu permukiman yang sederetan rumahnya didirikan di wilayah daratan, bukan laut. Bahkan kini, air bisa merembet hingga muka pintu rumah mereka ketika banjir rob datang.
‘’Dulu itu, sampai belakang rumah masih tanah. Ada pohon kelapanya juga. Sekarang laut semua sudah,’’ kenangnya.
Krisis Iklim merajalela
Fenomena yang terjadi di Pulau Gusung sejatinya bukan hal baru dan tidak terjadi di pulau itu saja. Ia merupakan fenomena global. Menimpa banyak pulau dan daerah pesisir Indonesia, pun terjadi di belahan bumi lainnya. Misalnya di Kepulauan Pasifik.
Dilansir dari jurnal online Environmental Research Letters, setidaknya ada lima pulau kecil di Pasifik hilang akibat naiknya permukaan air laut dan erosi. Pulau-pulau yang terendam adalah bagian dari Kepulauan Solomon, sebuah kepulauan yang selama dua dekade terakhir telah mengalami kenaikan permukaan laut tahunan sebanyak 10 mm.
Masih dalam jurnal tersebut, pulau-pulau tak berpenghuni yang hilang tersebut berukuran sekitar 1-5 hektar. Sementara enam pulau lain yang berpenghuni dengan ukuran lebih luas berpotensi mengalami nasib serupa: tenggelam. Air laut sudah merangsek ke daratan, menghancurkan rumah-rumah di pulau tersebut.
Ancaman serupa juga menghantui Indonesia. Dikenal sebagai negara maritim dengan banyak pulau-pulau kecil, Indonesia juga menghadapi ancaman serius akibat perubahan iklim. Dalam riset yang dilakukan sejumlah peneliti dari Universitas Padjajaran disebutkan, perubahan iklim mengancam keberadaan pulau-pulau kecil. Salah satu ancamannya adalah kenaikan permukaan laut.
Penelitian mereka yang berjudul ''The vulnerability of Small Islands from Coastlines Change in Indonesia'' menyebut, dalam skala global kenaikan muka air laut akan mencapai 0,5 m pada 2100. Atau sekitar 60 cm dari muka air laut saat ini. Itu artinya, sekitar 34.000 km2 wilayah Indonesia termasuk pulau-pulau kecil yang memiliki dataran tinggi bakal tenggelam.
Selain itu, kenaikan muka air laut dapat mempengaruhi banyak aspek lingkungan pesisir, misalnya abrasi dan erosi pantai yang menyebabkan berkurangnya garis pantai. Garis pantai adalah salah satu wilayah pesisir yang didefinisikan sebagai garis yang berinteraksi antara daratan, atmosfer, dan laut.
Hasil riset mereka menunjukkan, dalam 20 tahun terakhir, setidaknya terjadi perubahan garis pantai yang cukup variatif terhadap 19 pulau di Indonesia. Umumnya, luas pulau-pulau tersebut telah menyusut 5,084 persen dari luas semula. Dengan rata-rata pengurangan per tahunnya sebesar 0,443 persen.
Pulau Iyu Kecil adalah satu dari 20 pulau yang mereka amati. Hasilnya, pulau ini menunjukkan indeks kerentanan tertinggi dalam 19 tahun terakhir. Berdasarkan data yang diperoleh melalui Coastsat, luas pulau yang terletak di Selat Malaka ini menyusut 0,008 km2 dari total luas 0,027 km2.
Hal serupa juga dialami Pulau Workbondi. Ia merupakan pulau kecil yang terletak di sebelah utara teluk Cenderawasih, Papua. Pulau ini telah mengalami pengurangan luas sebesar 5 persen dalam 19 tahun terakhir, dan penyusutan sebesar 0,2 persen per tahun. Pada 2001 pulau ini memiliki luas 1,67 km2, namun pada 2020 telah menyusut jadi 1,58 km2.
Temuan tim peneliti Unpad itu juga didukung hasil riset yang dilakukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). BRIN menaksir, sekitar 115 pulau kecil di Indonesia pada 2100 terancam hilang atau tenggelam.
Peneliti Ahli Utama BRIN Profesor Eddy Hermawan mengatakan sejumlah faktor mengancam keberadaan pulau dan pesisir di Indonesia. Seperti pulau atau pesisir yang kawasannya landai, lahannya berwujud aluvial, hingga terjadi kerusakan lingkungan yang masif. Namun berdasar temuan timnya, Eddy mengatakan ratusan pulau berpotensi terkena dampak berlipat akibat kenaikan permukaan air laut sekaligus penurunan muka tanah.
Dia juga menjelaskan bagaimana cara BRIN menyimpulkan 115 pulau kecil Indonesia itu terancam tenggelam. Kesimpulan diambil usai pihaknya melakukan perhitungan dengan berbagai skenario.
Seperti diketahui, peningkatan karbon dioksida (CO2) bakal membuat suhu di permukaan bumi ikut memanas. Pemanasan ini kemudian membuat es di kutub ikut mencair. Dengan melakukan kalkulasi, misal penggunaan CO2 ditingkatkan 2 kali lipat, mereka melihat bagaimana dampaknya. Atau ditingkatkan jadi 3 kali lipat, dan seterusnya. Itu sebabnya, Eddy menekankan pentingnya mengontrol CO2.
‘’Berdampak juga ke pulau yang besar. Tapi pulau-pulau kecil yang pertama kali menerima dampak dari naiknya air laut kalau emisi CO2 tidak bisa dikendalikan dengan baik,’’ ujarnya ketika berbincang melalui sambungan telepon, Jumat (19/5/2023) sore.
Dia menambahkan, salah satu dampak bila pulau tenggelam ialah terjadinya eksodus besar-besaran.
Liputan ini bagian pertama dari artikel yang ditulis reporter Kaltimtoday.co, Fitri Wahyuningsih. Artikel ini merupakan hasil worskhop AJI Indonesia dan Unicef Indonesia bertajuk ’’Peliputan Perubahan Iklim dan Dampaknya pada Anak-Anak’’. Bagian kedua dari tulisan ini dapat di baca di sini: Pulau Gusung Terancam Tenggelam, Pemkot Bontang Masih Abai Upaya Mitigasi.
[RWT]
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Kepemimpinan Perempuan: Membangun Peradaban yang Berkeadilan
- Pengaruh Gawai Terhadap Perilaku Berbahasa Anak Usia 10 Tahun: Kajian Psikolinguistik
- Pembentukan AKD DPRD Kaltim Tak Kunjung Rampung, Ayub Jelaskan Penyebabnya
- ASN Pemkot Bontang di Kelurahan Gunung Telihan Positif Narkoba, BNN Lakukan Assesment
- UMP dan UMSP Kaltim 2025 Naik 6,5 Persen, Ini Rinciannya