Opini

Hetifah  

Kaltim Today
10 September 2025 08:18
Hetifah   

Oleh: Zalfaa Irdhitya Zahirah (Aktivis KOHATI dan Alumnus FH Unhas, tinggal di Samarinda)

Aksi unjuk rasa yang mengguncang layar kesadaran kita pada akhir Agustus 2025 lalu, sungguh masih berbekas dalam ingatan. Di berbagai kota besar, jalanan dipadati amarah. Suara tuntutan menggema dan linimasa berbagai platform media sosial sesak oleh berjuta opini.

Di tengah suasana panas itu, banyak pejabat publik memilih berdiam diri. Sebagian  bahkan menutup kolom komentar di media sosial mereka. Namun, ada satu nama sekonyong-konyong lewat di beranda IG saya dan memilih sikap berbeda: Dr. Hetifah Sjaifudian, Ketua Komisi X DPR RI Dapil Kalimantan Timur.

Hetifah tetap membuka kolom komentar Instagram-nya dan menghadirkan ruang interaksi yang jujur dan menyentuh di saat gelombang ketidakpuasan sedang memuncak. Followernya pun merasa dihargai karena punya saluran artikulasi untuk “didengar”.

Tampak sederhana, namun punya arti besar. Kolom komentar seketika dipenuhi cuitan, dari ungkapan harapan, kritik dan protes, hingga doa-doa tulus dari mereka yang nyaris kehilangan asa. Langkah itu kita apresiasi sebagai bagian penting dari proses demokratisasi.  

Hetifah memang punya jejak panjang sebagai legislator. Selama hampir dua dekade duduk di Senayan, menjadi bukti nyata kepercayaan masyarakat. Ia bukan politisi musiman yang hanya muncul saat kampanye. Sebaliknya, ia konsisten membangun reputasi sebagai sosok yang fokus (terutama) dalam isu pendidikan. 

Hetifah bahkan menginisiasi penyaluran beasiswa aspirasi melalui Program Indonesia Pintar (PIP). Sudah puluhan ribu pelajar Kaltim yang merasakan manfaatnya. Kisah-kisah mereka menyebar: dari pelajar yang akhirnya bisa melanjutkan sekolah hingga orang tua yang meneteskan air mata haru.

Politik Melayani

Di era ketika politik sering kali dipersepsikan jauh dari kehidupan rakyat, Hetifah justru hadir dengan wajah lain. Ia hadir sebagai jembatan yang siap menerima lalu lalang pendapat publik. Ia bahkan memiliki personal website yang sabang waktu terbuka untuk mendengar aspirasi masyarakat.

Kita tentunya menaruh harapan pada semua wakil rakyat; bahwa rakyat butuh untuk didengar. Dan kritik bukanlah ancaman. Sebaliknya, boleh jadi kritik menjadi tanda cinta pada negeri. Dari sana akan lahir percakapan yang mencerminkan keakraban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perjalanan Hetifah tentu tidaklah mudah. Sebagai perempuan yang memilih berkiprah di jalur parlemen, ia mesti membuktikan diri di tengah arena yang keras dan kompetitif. Namun, keuletan dan sikap konsisten membuatnya bertahan. Ia tidak hanya “ada” di parlemen; Ia “bergerak” dan “berbuat”.

Masyarakat Kalimantan Timur tentu mengetahui bagaimana Hetifah “berbuat”. Mereka melihat hasil kerja nyata. Maka wajar bila banyak berharap ia terus berkarya, tidak hanya di bidang pendidikan, tetapi juga dalam merawat ruang demokrasi agar tetap sehat.

Kita tentu mengharapkan sikap seperti itu bisa menular. Bayangkan jika seluruh anggota DPR RI bersikap terbuka, tidak alergi kritik, dan benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Bayangkan jika mereka semua memperjuangkan kemajuan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Wajah politik kita pasti akan berubah: lebih bersih, lebih dekat, dan lebih manusiawi.

Mungkin kita bisa menyebutnya sebagai “Hetifah Syndrome”: sebuah gejala positif di mana para pejabat publik tidak alergi kritik, justru menjadikannya energi untuk bekerja lebih baik. Mereka tidak lagi berdiri di menara gading, melainkan hadir di tengah kehidupan masyarakat. Dan, tentu saja, kita tak akan mendengar lagi kata-kata “tolol” atau “brengsek” dari mereka yang seharusnya menjadi teladan.

“Hetifah Syndrome” bukan soal figur semata. Ini adalah tentang nilai: keberanian mendengar, ketulusan melayani, dan konsistensi menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Inilah energi yang kita butuhkan untuk membawa Indonesia melangkah lebih jauh: pemimpin yang rendah hati, terbuka, dan bersungguh-sungguh mengabdi bagi kemajuan bangsa.

Keteladanan Pemimpin

Sejarah bangsa kita sesungguhnya mewariskan banyak kisah tentang kejujuran dan kesederhanaan para pemimpin bangsa. Mereka hadir bukan sebagai penguasa yang mencari keuntungan pribadi, melainkan sebagai pelayan rakyat yang mengabdikan seluruh tenaga, pikiran, bahkan hidupnya demi Indonesia merdeka.

Salah satu yang paling menyentuh adalah cerita tentang Mohammad Hatta, Proklamator dan Wakil Presiden pertama RI. Di balik kedudukan tingginya, Bung Hatta menjalani hidup dengan penuh integritas, bersahaja, dan tanpa sedikit pun memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan keluarga 

Konon, setelah kepergiannya, keluarga menemukan sebuah guntingan iklan sepatu merek Bally, diselipkan rapi di dalam salah satu dari 10.000 buku yang ia wariskan. Rupanya, Bung Hatta menyimpan keinginan untuk memiliki sepasang sepatu Bally. Namun hingga akhir hayatnya, sepatu itu tak pernah ia miliki.

Padahal, bagi seorang Wakil Presiden, tentu sangat mudah untuk mendapatkannya. Cukup dengan satu telepon kepada pengusaha atau pejabat, pasti keinginannya terpenuhi. Tetapi itulah yang tidak pernah dilakukan Bung Hatta. Dalam dirinya, kekuasaan dipahami bukan sebagai jalan untuk menguasai, melainkan sarana untuk mengabdi.

Bung Hatta, seorang Wakil Presiden, meninggalkan integritas, ilmu, dan teladan moral. Kisah hidupnya mengingatkan kita bahwa pemimpin sejati diukur bukan dari harta yang ia kumpulkan, melainkan dari nilai-nilai yang ia wariskan kepada generasi bangsanya 

Semoga Bunda Hetifah selalu diberi kekuatan untuk menjaga nurani, melanjutkan warisan moral, dan menghadirkan kepemimpinan yang kontributif dalam upaya memulihkan kepercayaan publik.(*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp



Berita Lainnya