Lipsus

Sungai Pemaluan Dikeluhkan, Otorita IKN Justru Minta Warga Sabar dan Beri Pemakluman

Fitriwahyuningsih — Kaltim Today 31 Agustus 2024 09:38
Sungai Pemaluan Dikeluhkan, Otorita IKN Justru Minta Warga Sabar dan Beri Pemakluman
Deputi Otorita IKN Bidang Sosial, Budaya, dan Masyarakat, Alimuddin. (Fitriwahyuningsih/Kaltimtoday.co)

Alih-alih memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi warga di sekitar Sungai Pemaluan, Otorita IKN justru meminta warga untuk bersabar. Mereka menilai, apa yang terjadi saat ini adalah konsekuensi dari proses pembangunan.

Warga diminta bersabar karena pembangunan yang sedang dilakukan ini demi kesejahteraan dan kemajuan bangsa pada masa depan. Mereka mengklaim warga yang bermukim di sekitar IKN adalah yang pertama kali menerima manfaat dari hadirnya ibu kota baru ini.

Deputi Otorita IKN Bidang Sosial, Budaya, dan Masyarakat, Alimuddin, secara terbuka mengakui bahwa tentu ada dampak langsung yang dialami Sungai Pemaluan akibat pembangunan IKN. Selain karena terjadi pembukaan lahan yang luas, juga karena hujan yang sering turun sepanjang Juni 2024 di Kecamatan Sepaku dan sekitarnya.

"Bahwa ada pengaruh dari proses pembangunan, memang iya," kata Alimuddin ketika ditemui di Balikpapan awal Juli 2024 lalu.

Alimuddin mengatakan, tentu ada konsekuensi dari proses pembangunan ini. Jangankan proyek pembangunan sebesar dan semasif IKN, pembangunan skala menengah pun memiliki dampak, sebutnya.

Oleh sebab itu, dia meminta warga bersabar dan memberi pemakluman. Toh, kata Alimuddin, pembangunan ini hanya sementara. Saat ini memang ada dampak yang timbul, seperti air sungai berubah warna dan biota asli sungai sulit ditemui. Namun dia mengklaim segala yang dilakukan pemerintah ini, termasuk membangun IKN, manfaatnya akan dirasakan seluruh warga negara, terutama mereka yang bermukim di sekitar wilayah IKN.

Alimuddin mengatakan, dengan pembangunan IKN yang demikian masif, tentu ada konsekuensi yang timbul. Namun ia meminta warga untuk bersabar dan memberi pemakluman. Toh, pembangunan ini tak selamanya terjadi. Saat ini pemerintah sedang dalam proses pembangunan, dan ada konsekuensi yang timbul darinya, semisal sumber air warga di Sungai Pemaluan yang terganggu, baik karena perubahan warna air maupun biota yang mulai sulit ditemui.

"Tentu ada konsekuensi dari proses pembangunan. Namun justru pada akhirnya untuk melayani masyarakat. Tujuan kami di situ untuk melayani, membangun untuk memenuhi kebutuhan warga. Apalagi posisi sungai itu, kan, dekat dengan IKN. Jangankan warga yang hidup di situ, daerah mitra pun perlu diangkat," sebut mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) PPU ini.

Kendati mengakui ada dampak ke Sungai Pemaluan akibat pembangunan IKN, Alimuddin menampik bila dari dulu sungai itu jernih. Dia mengklaim sungai itu memang tak pernah jernih, katakanlah seperti sungai di Pulau Jawa. Alasannya, struktur dasar Sungai Pemaluan dan sekitarnya adalah tanah, bukan berbentuk bebatuan.

"Dari dulu memang begitu airnya, tidak sejernih sungai-sungai yang dasarnya bebatuan," klaimnya.

Kemudian, terkait keluhan warga yang harus alih profesi akibat sulitnya mencari biota di sungai, menurut Alimuddin warga setempat memang harus beradaptasi dengan "transformasi" yang diusung IKN. Adaptasi ini dalam artian, warga diminta menyesuaikan diri dengan kondisi IKN di masa mendatang.

Dia mendorong warga untuk mengikuti berbagai pelatihan yang ditawarkan oleh pemerintah. Menurutnya, ini penting agar warga setempat memiliki "bekal" dan bisa bersaing di masa mendatang. Dan tentu, agar warga tidak menjadi penonton di daerahnya sendiri.

Namun, bila warga memiliki usulan lain terkait pelatihan apa yang mesti disediakan, misalnya bagi nelayan di sekitar Sungai Pemaluan, Alimuddin mendorong warga agar menyampaikan usulan itu ke Otorita IKN. Semisal membutuhkan pelatihan terkait perikanan, Alimuddin menyebut Otorita IKN pasti akan memfasilitasi.

"Tawarkan kalau ada program pembinaan, pasti kami fasilitasi, dan pasti akan dibina," bebernya. Dia pun menyebut Otorita IKN cukup sering memberikan pelatihan dan pembinaan buat warga setempat. Pada 2024 ini misalnya, kurang lebih 700 orang diikutkan pelatihan dalam berbagai sektor.

"Di IKN ada transformasi yang tinggi. Siapa yang harus bertransformasi? Ya, warga. Dan kami pemerintah mesti menyiapkan masyarakat agar siap terhadap transformasi itu," tandasnya.

Menggenjot IKN: Pemerintah Berpotensi Lakukan Ekosida terhadap Lingkungan dan Kebudayaan Warga 

Program Officer for Human Rights and Democracy, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Ari Wibowo, mengatakan pemerintah telah mengingkari regulasi yang dibuatnya sendiri. Indikasi meningkatnya krisis sosio-ekologis di Sungai Pemaluan yang berimbas pada kehidupan masyarakat di sekitar IKN melanggar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia (Stranas BHAM).

Stranas BHAM meliputi tiga hal. Pertama, kewajiban kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah untuk melindungi HAM pada kegiatan usaha. Kedua, tanggung jawab pelaku usaha untuk menghormati HAM. Dan ketiga, akses atas pemulihan bagi korban dugaan pelanggaran HAM di kegiatan usaha. Untuk menyelenggarakan pelaksanaan Stranas BHAM dibentuk Gugus Tugas Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia (GTN BHAM).

Ari menjelaskan bahwa untuk pilar kedua, misalnya, entitas bisnis terlebih pemerintah harus menghormati ekosistem berbasis HAM, utamanya hak lingkungan, hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob). Hak ekosob meliputi hak atas pendidikan, hak atas perumahan, hak atas standar hidup yang layak, hak kesehatan, hak atas lingkungan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya seperti diatur dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).

Lebih lanjut, Ari mengatakan ketika praktik bisnis dan pembangunan membawa dampak, mestinya ada mekanisme mitigasi sedari awal dan pemulihan yang disiapkan. Dalam konteks pembangunan IKN, apakah pemerintah memberikan jaminan pemulihan bagi warga setempat yang kehilangan tanah dan terpaksa direlokasi?

Ketika pemerintah memberikan ganti rugi, harus dipastikan agar itu cukup berkontribusi terhadap pemulihan ekonomi dan ruang hidup warga. Proses ini harus dimulai dari awal hingga beberapa tahun mendatang. OECD atau Bank Dunia menetapkan jangka waktu 10 tahun guna memastikan kemandirian atau pemulihan ekonomi warga.

Ari menambahkan, UU IKN dan Omnibus Law sejatinya telah melanggar komitmen Stranas BHAM yang diteken oleh Presiden Joko Widodo. Dua UU ini ditujukan untuk mempercepat investasi, namun tidak menyediakan mekanisme proses rehabilitasi dan reparasi yang memadai atas dampak pelanggaran HAM.

Ia menegaskan pemerintah seharusnya malu terhadap diri sendiri. Karena Indonesia telah mengadopsi Guiding Principles on Business and Human Rights (Prinsip-prinsip Bisnis dan Hak Asasi Manusia) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Prinsip ini salah satunya menegaskan bahwa negara harus mengatasi dan mencegah dampak hak asasi manusia akibat dari aktivitas bisnis dan otomatis proses bisnis pembangunan oleh negara seperti di antaranya PSN dan Proyek IKN.

"Ada inkonsistensi dalam sikap pemerintah. Mereka mengingkari regulasi yang mereka buat sendiri," ujarnya kepada Kaltim Today, pertengahan Juli 2024.

Lebih jauh, Ari menjelaskan bahwa hubungan manusia dan alam sebagai ruang hidup serta penghidupannya tidak bisa disimplifikasi atas nama pembangunan, apalagi secara serampangan seperti IKN. Menurut Ari, praktik serampangan itu terjadi lantaran pembangunan ini dipaksakan, terburu-buru, tidak partisipatif, dan tidak memikirkan mitigasi dan mekanisme pemulihan dampak pembangunan terhadap warga setempat, khususnya di Kelurahan Pemaluan.

Ari menilai, jargon keberlanjutan yang diusung pemerintah dalam pembangunan IKN itu kontradiktif dengan fakta di lapangan. Bila mengusung keberlanjutan, pemerintah seharusnya menyesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat, bukan membabat hutan secara masif, mengeksklusi masyarakat adat dan warga lokal dari tanahnya, dan mencemari sungai.

"Ini kan hijaunya hanya desain saja. Hutan dibabat, sungai, dan gambut dikeringkan. Secara substansi itu mengakibatkan kerusakan sosio-agraria, sosio-ekosistem," sebut salah satu anggota tim pengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan peneliti di Pusat Studi Agraria IPB ini.

Ari menilai pembangunan di IKN juga sangat sentralistik, tanpa memikirkan kondisi masyarakat akar rumput di sana. Warga yang tak bisa bertahan akan terpental dari tanahnya sendiri. Masyarakat adat juga akan kehilangan tanah dan hubungan dengan alamnya (deagrarianisasi).

Pembangunan IKN juga memutuskan ketergantungan masyarakat dengan alam, sehingga menjadi hubungan ekonomis karena semua kebutuhan hidup mesti dibeli. Misalnya, masyarakat sekitar Sungai Pemaluan harus membeli air untuk kebutuhan sehari-hari dan membeli ikan untuk lauk-pauk di rumah.

Proses ini akan sangat berpotensi menyebabkan pemiskinan. Pasalnya, kebutuhan hidup yang diberikan alam secara gratis, kini harus dibeli.

Ari tidak sepakat dengan pernyataan Deputi Otorita IKN Alimuddin yang mengatakan dampak buruk di sekitar IKN adalah konsekuensi dari proses pembangunan. Menurutnya, ini adalah cara pandang soal pembangunan yang sudah usang, tidak berkeadilan, dan tidak berkelanjutan.

Ketika negara-negara lain melakukan pembangunan yang berkelanjutan dan peka terhadap krisis iklim, pemerintah Indonesia justru inkonsisten dan malah menambah laju terjadinya krisis iklim.

Bila mengusung pembangunan berkelanjutan, mestinya pembangunan tak dilakukan secara terburu-buru. Rancangan pembangunan mestinya melibatkan masyarakat adat dan masyarakat setempat.

Ari mengatakan pembangunan itu harus melibatkan partisipasi semua pihak secara bermakna dan itu tidak bisa instan, terutama masyarakat yang akan merasakan dampaknya langsung. Penerapan konsep 'co-creasi' ini sangat penting, karena pembangunan jadi lebih organik dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Beda dengan pembangunan IKN yang terlihat lebih ke 'top-down', desainnya sudah jadi dari pusat tanpa banyak melibatkan masyarakat.

"Kalau ada kata keberlanjutan di IKN, saya kira itu cuma hasrat belaka," tegasnya.

Sejak tahun 1970-an, istilah 'ekosida' telah digunakan untuk menggambarkan kerusakan lingkungan yang parah, terutama dalam konteks perang. Namun, istilah ini kini semakin relevan dengan krisis iklim. Ekosida mencakup tindakan merusak lingkungan secara besar-besaran, yang tidak hanya mengancam kelangsungan hidup manusia saat ini, tetapi juga generasi mendatang. Kegiatan seperti eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan perusakan habitat dari aktivitas bisnis serta pembangunan telah menyebabkan hilangnya hak-hak dasar manusia dan merusak keseimbangan ekosistem.

Ari mengingatkan bahwa pembangunan yang top-down dan mengabaikan aspek keberlanjutan menyebabkan ekosida, pembunuhan alam dan manusianya. Ke depan, krisis sosial ekologis akan makin buruk. Bila dipaksakan, negara sedang melakukan ekosida terhadap peradabannya sendiri.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim, Fathur Roziqin Fen, mengatakan sulit membuktikan bahwa pemerintah memiliki tujuan baik bila yang terjadi adalah pengrusakan atau perampasan ruang hidup warga.

Berbagai dampak buruk dari pembangunan IKN, seperti rusaknya Sungai Pemaluan, membuktikan bahwa negara tidak melindungi dan memenuhi hak ekosob warga negara, misalnya hak atas lingkungan hidup yang sehat dan hak atas standar hidup yang layak. Rusaknya Sungai Pemaluan menjadi penyebab hilangnya penghidupan warga.

"Bagaimana mau menjelaskan komitmen kebaikan itu, sementara negara melakukan pengrusakan lebih dulu. Kamu yakin tidak, kehidupanmu akan lebih baik kalau sekarang lingkungan dirusak? Tidak bisa kita masuk logikanya."

Pria yang akrab disapa Iqin ini menegaskan bahwa IKN hanya menghadirkan himpitan berlapis bagi warga. Durasi kerusakan sungai dan hilangnya mata pencaharian warga akan memiliki dampak yang panjang.

Yang menangguk keuntungan, kata Iqin, adalah rezim konsesi. Mereka datang, merampas ruang hidup warga setempat, menghadirkan dampak, lantas mendatangkan orang lain ke wilayah itu.

Bila ingin membangun, pemerintah mestinya mempertimbangkan lingkungan alam dan masyarakat setempat dengan serius. Jika tidak dilakukan, tujuan pembangunan IKN itu jelas bukan untuk masyarakat, tapi untuk memenuhi nafsu oligarki.

"Apa tujuannya mempercantik kawasan IKN tapi rela menghilangkan akses masyarakat terhadap keberagaman di sungai?" tanya Iqin.


Artikel ini merupakan tulisan ketiga dari liputan kolaborasi antara Kaltimtoday.co dan Independen.id, yang terlaksana atas dukungan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Tulisan pertama dari serial liputan khusus ini bisa dibaca di sini: Pembangunan IKN Hancurkan Ekosistem Sungai Pemaluan: Air Keruh, Buaya Semakin Mengancam, Nelayan Terpuruk, dan tulisan kedua bisa Anda baca di sini: Tak Ada Upaya Pemulihan, Sungai Pemaluan di IKN Terancam Rusak Permanen


Berita Lainnya