Lipsus

Pembangunan IKN Hancurkan Ekosistem Sungai Pemaluan: Air Keruh, Buaya Semakin Mengancam, Nelayan Terpuruk

Fitriwahyuningsih — Kaltim Today 31 Agustus 2024 09:26
Pembangunan IKN Hancurkan Ekosistem Sungai Pemaluan: Air Keruh, Buaya Semakin Mengancam, Nelayan Terpuruk
Nuranto menunjukkan kondisi terkini Sungai Pemaluan yang berada tepat di belakang rumahnya. (Fitri Wahyuningsih/Kaltimtoday.co)

NURANTO (44) ingat betul ketika ia dan dua rekannya kerap turun ke Sungai Pemaluan untuk berburu berbagai hasil sungai pada 2008. Hanya berbekal alat penjerat ikan tradisional sepanjang 700 meter yang disebut jaring tenang, mereka bisa membawa pulang bermacam-macam hasil tangkapan seberat 60-100 kilogram, seperti ikan baung, kakap putih, kerapu, ikan sumpit hingga udang galah.


Kala itu, pria yang akrab disapa Anto ini mulai turun ke sungai antara pukul 08.00-10.00 pagi saat kondisi sungai mulai menurun. Maksudnya, saat air sungai tidak surut dan tidak pasang sehingga dasarnya bisa terlihat. Ini adalah waktu yang tepat bagi nelayan sungai untuk memasang jaring.

Cara menangkap ikan di sungai cukup sederhana. Jaring tenang yang terbuat dari rajutan tali tambang tipis itu ditempatkan di lokasi sungai yang dipilih. Bagian bawah jaring dipastikan tertanam kuat di dasar sungai agar tak mudah lepas. Sedangkan bagian atas dibuat sedikit miring agar tidak menghalangi pergerakan biota sungai ketika air pasang.

Ketika air sungai surut, sekira pukul 21.00 malam, Anto dan rekannya mengecek hasil tangkapan. Ia tinggal menyerok semua ikan yang tertangkap jaring tenang.

"Kami bawa semua yang tertangkap, kecuali yang kecil," kata Anto di rumahnya di Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, akhir Juni 2024 lalu.

Anto adalah seorang nelayan sungai. Dia bersama istri dan dua anaknya tinggal di sebuah perkampungan tua di Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). 

Saat ini, lokasi rumah Anto masuk dalam kawasan IKN. Bila ditarik garis lurus, jarak antara rumah dan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) kurang dari 5 kilometer. Sementara lokasi proyek pembangunan jalan bebas hambatan 1 dan 2 hanya berjarak sekitar 2 kilometer.

Nuranto (44) menunjukkan salah satu perangkap untuk menangkap kepiting. (Fitri Wahyuningsih/Kaltimtoday.co)
Nuranto (44) menunjukkan salah satu perangkap untuk menangkap kepiting. (Fitri Wahyuningsih/Kaltimtoday.co)

Letak Sungai Pemaluan pun hanya sepelemparan batu dari rumahnya di RT 02, Kelurahan Pemaluan. Seperti namanya, sungai yang berhulu di Utuk Pemaluan atau Kilometer 15 PPU itu berliku melewati Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, PPU dan bermuara di dekat Pulau Dua, PPU.

Kini, sungai itu mengalami kerusakan, airnya menjadi keruh dan biota sungainya mulai menghilang. Penyebabnya, tak lain adalah pembangunan infrastruktur untuk Ibu Kota Nusantara (IKN). Sayangnya, inisiatif Presiden Joko Widodo membangun ibu kota untuk menggantikan Jakarta itu menyebabkan kerusakan lingkungan dan berdampak pada Sungai Pemaluan.

Kehidupan warga yang tinggal di sekitar sungai pun menjadi terancam. Padahal sejak dulu, Sungai Pemaluan adalah sumber penghidupan yang gratis bagi warga.

Airnya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hanya dengan berbekal pompa air sederhana dan pipa PVC ukuran 19 mm, air bersih bisa dialirkan ke rumah-rumah warga. Warga biasa menyedot air sungai saat air sungai surut dan terasa tawar.

Sedangkan berbagai biota yang hidup di sungai itu bisa menjadi sumber makanan dan pendapatan bagi warga.

Sungai Pemaluan merupakan sungai air payau, tempat pertemuan air tawar dan air laut. Menjelang petang, air terasa lebih asin dan esok hari, sekitar pukul 06.00 Wita, air mulai terasa tawar.

Dengan kekhasannya itu, sungai yang memiliki panjang sekitar 25 kilometer ini kaya akan berbagai biota sungai, seperti kakap putih, ikan baung, ikan sumpit, kepiting, dan udang galah. Ini bisa memenuhi hidangan pangan di meja makan dan menjadi sumber pendapatan.

Anto berkisah, bila ingin mencari ikan, udang, atau kepiting buat dimakan sendiri, warga tidak perlu repot. Cukup melempar jala atau perangkap sederhana di pinggir sungai, tunggu 20-30 menit, ada saja hasil tangkapan yang bisa diangkut pulang ke rumah.

"Kalau cuma buat dimakan sendiri, berdiri saja kami (warga, red) di pinggir sungai itu, dapat sudah. Malah kalau sejam itu kelamaan," ujarnya.

Sejak kecil, Anto sendiri sudah sangat akrab dengan Sungai Pemaluan. Sungai menjadi tempat bermain bagi dia dan kawan-kawannya.

Usia 11 tahun, ia mulai membantu keluarganya mencari ikan atau udang di sungai, meskipun hanya untuk bersenang-senang. Memasuki usia 20-an, Anto memutuskan menjadi nelayan sungai karena keterampilan menangkap ikan dan binatang sungai lainnya sudah diasah sejak muda.

Pilihan menjadi nelayan juga tidak aneh karena sebagian besar warga di Kelurahan Pemaluan menggantungkan hidup dari alam. Entah itu menjadi nelayan (laut atau sungai), petani, peladang, atau kombinasi dari ketiganya.

Sungai ini juga berperan jadi sumber mata pencaharian. Setidaknya bagi nelayan sungai seperti Anto, keberadaan sungai tentu amat vital. Dari sana mereka mencari ikan, udang, dan kepiting yang nantinya dijual di pasar. Uang hasil penjualan itu kemudian digunakan buat membiayai kehidupan sehari-hari.

Saat kondisi Sungai Pemaluan masih bagus, menjadi nelayan sungai masih bisa memberikan pendapatan bagus. Sekali menangkap, Anto dan kawan-kawan setidaknya bisa mengantongi Rp1 juta.

Uang itu kemudian dibagi rata kepada tiga anggota tim, masing-masing mendapat sekira Rp350 ribu. Pada masa itu, uang sebesar itu sudah cukup besar dan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan harian.

Suku Balik 

Selain itu, Sungai Pemaluan juga menjadi lokasi penting bagi suku asli yang tinggal di sekitar IKN, Suku Balik. Suku ini biasa menjalankan ritual melepas jakit. Jakit sendiri terdiri dari sejumlah sesajen mulai dari ketan aneka warna, buah-buahan, hingga dedaunan yang ditaruh di atas kayu, kemudian dibiarkan mengalir mengikuti aliran sungai.

Ritual ini adalah bagian dari pengobatan tradisional. Mereka meminta bantuan leluhur agar anggota keluarga yang sakit diberi kesembuhan dan dijauhkan dari hal-hal buruk.

Proses melepas jakit tak bisa dilakukan di sembarang tempat, hanya bisa di Sungai Pemaluan. Salah satu seserahan utama dalam ritual ini adalah pucuk pohon nipah yang hanya tumbuh di bibir sungai.

Pemerintah berencana melakukan pelebaran sungai sehingga akan menghabisi vegetasi asli sekitar sungai, termasuk pohon nipah. Bila Sungai Pemaluan rusak atau menghilang, tradisi melepas jakit bisa punah dan tinggal kenangan.

Sejak pembangunan menyentuh wilayah itu, Sungai Pemaluan sudah berubah dan tidak seperti dulu, airnya menjadi kecoklatan. Di waktu tertentu, seperti selepas hujan, air sungai mengandung lebih banyak pasir sehingga dasar sungai tak terlihat sama sekali.

Sungai Pemaluan mengalami sedimentasi dan penyempitan badan sungai. Awalnya, sungai ini memiliki lebar sekitar 25-30 meter dan kedalaman hingga 5 meter. Waktu itu sungai ini bisa disusuri dengan menggunakan perahu nelayan ukuran 8-9 meter dari hilir ke hulu.

Sekarang, lebar Sungai Pemaluan tinggal 10 meter dan kedalamannya hanya tinggal 1-1,5 meter. Di beberapa bagian, bahkan tidak sampai 1 meter sehingga kapal nelayan ukuran 5 meter dan bermesin 5 PK pun tak bisa lewat.

Vegetasi asli sungai seperti waru dan nipah mulai jarang ditemui.

Saya melihat langsung Sungai Pemaluan dua kali. Awal Februari 2024, saat cuaca cukup panas dan kering, volume air sungai jadi lebih sedikit dan warnanya coklatan lebih pekat.

Kedua, akhir Juni 2024, Kelurahan Pemaluan kerap diguyur hujan, sehingga volume air sungai jadi lebih tinggi. Tak lama usai diguyur hujan, air sungai menjadi lebih berpasir dan akan mengendap dalam waktu 3 jam, sehingga permukaan air sungai sedikit lebih cerah tapi bukan berarti jernih.

Kini, aliran air Sungai Pemaluan juga sudah tak lancar, bahkan nyaris terhambat total. Ternyata, ada timbunan tanah yang menyumbat aliran airnya.

Ada terowongan kecil dibuat tepat di bawah timbunan tanah itu, namun tak mampu membuat aliran sungai berjalan lancar dan bisa dilewati perahu nelayan.

Lubang itu bahkan mulai tertutup oleh sisa pembabatan pohon yang hanyut di sungai. Sementara di bagian lain aliran sungai, juga terganggu karena bersisian langsung dengan proyek pembangunan jalan bebas hambatan IKN.

Sebenarnya, proses degradasi Sungai Pemaluan sudah terjadi dalam tiga fase. Pertama, dampak dari PT ITCHI Hutami Manunggal (IHM) yang bergerak di bidang hutan tanaman industri yang menanam akasia mangium dan eucalyptus yang mulai masuk di Kelurahan Pemaluan sekitar tahun 1990-an. Kedua, hadirnya perusahaan kelapa sawit pada 2006. Dan ketiga, pembangunan IKN pada 2021.

Ketika dua perusahaan itu hadir, warga mengaku Sungai Pemaluan masih bisa dimanfaatkan buat kehidupan sehari-hari. Air sungai mengalami perubahan warna dalam waktu tertentu dan warga masih bisa memperoleh berbagai hasil tangkapan di sungai.

Anto mengantarkan saya melihat langsung Sungai Pemaluan di belakang rumahnya. Ia mengatakan ketika PT IHM beroperasi, air sungai berubah menjadi kecoklatan karena hujan membawa lapisan tanah dari lahan yang gundul karena pemanenan. Setelah lahan gundul itu ditanami lagi, air sungai pelan-pelan kembali seperti semula.

"Dulu, air sungai berubah warna itu ada momennya. Kalau sekarang, sepanjang waktu, yah, begitu warnanya. Coklat terus," kata Anto.

Ketua RT 03 Pemaluan, Muhidin, mengatakan hal yang sama. Ketika perusahaan beroperasi, air sungai masih jernih dan bisa digunakan warga. Biotanya masih banyak dan mudah ditangkap karena ekosistem sungai masih terjaga.

"Dulu tanaman akasia berumur 6 tahun sampai belasan tahun baru bisa dipanen. Sepanjang itu jernih, kalau panen apalagi pas hujan baru keruh. Dulu tidak setiap waktu," sebutnya.

Sekarang situasinya berubah. Air Sungai Pemaluan selalu berwarna coklat.

"Tidak separah sekarang, keruh terus. Di atas sudah banyak proyek, pohon habis. Kalau hujan mau menyerap ke mana, karena pohonnya sudah dibabat semua."

Pria yang sudah tinggal di Kelurahan Pemaluan sejak 1998 ini bilang, ketika perusahaan sawit beroperasi pun, sungai tak terlalu terganggu. Sebab limbah sawit tidak dibuang ke sungai.

Sementara sejak IKN hadir, ini benar-benar mendegradasi ekosistem sungai dan sekitarnya. Sungai dibuat makin sempit sebab dorongan lahan itu sampai lari ke sungai. Kayu sisa pembabatan hutan banyak berjatuhan ke sungai.

"Kalau mau dibandingkan kondisi dulu dan sekarang, jelas beda sekali," tegasnya.

Muhidin berkisah, dulu sejak muda dia sering turun ke sungai buat cari ikan. Tak ada ruginya turun ke sungai, sebab ia tidak akan pulang dengan tangan kosong. Ada saja yang bisa dibawa pulang, entah itu ikan, udang, atau kepiting.

Namun sejak proyek pembangunan IKN dimulai, terutama ketika proyek pembangunan jalan tol mendekati Sungai Pemaluan, Muhidin hanya turun seminggu sekali, itu juga tidak rutin. Alasannya, mencari ikan susah. Kendati memancing cuma sekadar hobi, tentu dia tidak ingin pulang dengan tangan kosong.

Lokasi pembangunan jembatan tol 1 6B yang bersisian langsung dengan Sungai Pemaluan. Akses untuk menuju lokasi ini cukup sulit. Selain karena posisinya berada di tengah hutan, juga kala itu baru Kelurahan Pemaluan baru diguyur hujan. Praktis jalan jadi becek, dan agak sulit masuk ke lokasi ini bila tidak menggunakan kendaraan double cabin 4x4. (Fitri Wahyuningsih/Kaltimtoday.co)

Lokasi pembangunan jembatan tol 1 6B yang bersisian langsung dengan Sungai Pemaluan. Akses untuk menuju lokasi ini cukup sulit. Selain karena posisinya berada di tengah hutan, juga kala itu baru Kelurahan Pemaluan baru diguyur hujan. Praktis jalan jadi becek, dan agak sulit masuk ke lokasi ini bila tidak menggunakan kendaraan double cabin 4x4. (Fitri Wahyuningsih/Kaltimtoday.co)

Tetapi ada alasan lain yang lebih penting. Turun ke Sungai Pemaluan, tak ubahnya menantang maut karena belakangan buaya di sungai itu makin ganas dan sering menerkam manusia. Padahal dulu buaya tak pernah menerkam warga setempat.

Sejumlah laporan, seperti yang dilaporkan jurnalis Mongabay Indonesia pada Desember 2023 lalu, disebutkan buaya mulai sering menyerang warga lantaran ekosistem hidupnya di muara dirusak sehingga mangsa alaminya jadi berkurang. Sumber perusakan itu adalah pembangunan pelabuhan IKN di muara sungai.

Pembangunan IKN diduga kuat mengakibatkan degradasi ekosistem sungai. Pada April 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana pemindahan ibu kota negara, namun belum diputuskan lokasinya. Baru pada Agustus 2019, Jokowi dalam rapat bersama DPR RI memutuskan ibu kota baru terletak di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).

Kawasan yang menjadi lokasi IKN, baik darat dan laut, membentang di dua daerah, yaitu Kabupaten PPU dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Ada 5 kecamatan yang masuk wilayah IKN di Kukar dan 1 kecamatan di PPU yang terdiri dari wilayah hutan dan tanah masyarakat.

Namun, Kawasan Inti Pusat Pemerintahan, atau jantung pembangunan IKN berpusat di Kecamatan Sepaku, Kelurahan Pemaluan, PPU. Berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pembentukan Ibu Kota Negara, luas wilayah darat IKN adalah 252.600 hektar dan luas wilayah laut adalah 69.769 hektar.

Presiden Joko Widodo membuat keputusan agar pembangunan IKN tidak terganggu. Pertama, menetapkan IKN sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) pada September 2022 lalu. Ini artinya, pembangunan IKN mesti menjadi prioritas dan diberi berbagai kemudahan.

Berdasarkan PP Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan PSN, proyek jenis ini bisa mendapat banyak keistimewaan dari pemerintah. Misalnya, mendapat jaminan dari pemerintah, kemudahan perizinan, hingga kemudahan penyelesaian hukum bila ada kasus.

Kedua, menyiapkan UU IKN sebagai payung hukumnya. Proses pengesahan UU itu dilakukan secara singkat, tidak transparan, bahkan tanpa konsultasi publik.

Warga yang menerima dampak langsung pembangunan megaproyek itu tak pernah dilibatkan dalam penggodokan UU IKN. Ketika direvisi, lagi-lagi tidak ada transparansi dan partisipasi publik.

Pemerintah mulai mengebut pembangunan IKN sejak 2022. Pembangunan di IKN terbagi dalam sejumlah klaster. Saat ini, fokusnya adalah pembangunan KIPP seluas sekira 6.700 hektar di Kelurahan Pemaluan.

Selain terkesan dipaksakan, prosesnya juga ugal-ugalan. Pembangunan megaproyek ini langsung berdampak terhadap warga setempat.

Contoh, warga di sekitar proyek IKN, khususnya di Desa Bumi Harapan, Kelurahan Sepaku. Banyak warga mengalami sakit pernafasan seperti ISPA dan nasofaringitis akut akibat debu proyek.

Dampak lingkungan, terjadi banjir terbesar dalam sejarah pada Juni 2024. Lingkungan terasa makin panas dan gersang, dan kerusakan Sungai Pemaluan makin parah.

Dari kediaman Anto, letak Sungai Pemaluan kurang dari 5 kilometer dari KIPP. Jarak ini bisa lebih dekat bila dihitung dari sisi lain aliran sungai.

Sungai Pemaluan juga bersisian langsung dengan proyek pembangunan jalan bebas hambatan 1 dan 2. Itu sebabnya sungai ini menerima dampak langsung dari proses pembangunan IKN.

Hutan dan lahan yang luas di sekitar sungai dibabat dan dibersihkan (land clearing). Di atas lahan terbuka, dibangun jalan bebas hambatan. Di sisi lain sungai juga ada pembangunan bendungan.

Aktivitas pembangunan infrastruktur penunjang IKN ini menyebabkan Sungai Pemaluan makin merana. Pembersihan lahan dengan eskavator mengakibatkan tanah berjatuhan ke sungai. Akibatnya badan sungai mengalami penyempitan dan terjadi sedimentasi.

Juni lalu, hujan yang turun menyebabkan kondisi Sungai Pemaluan makin parah. Tidak ada lagi pohon yang menjadi “payung” penahan sehingga air hujan langsung mengenai tanah.

Aliran air hujan ini membawa tanah dari lahan di sekitar sungai yang sudah dibersihkan dan akhirnya masuk ke sungai. Warna air sungai menjadi kecoklatan.

Akibatnya, warga di sekitar sungai tidak bisa lagi menggunakan air sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka harus membeli air bersih seharga Rp65-75 ribu untuk mandi, cuci, kakus (MCK).

Untuk air minum, warga membeli air galon ukuran 19 liter seharga Rp5 ribu per galon. Bila terpaksa harus memakai air sungai karena dana menipis, warga harus menyedotnya beberapa jam setelah hujan turun.

Karena ikan dan biota sungai lainnya makin sulit ditangkap, warga harus membeli di pasar. Apalagi buaya siap mengincar jika ada manusia yang turun ke sungai.

Para nelayan sungai, seperti Anto, juga harus berganti pekerjaan karena hasil tangkapan sungai sudah tidak bisa menghidupi keluarganya lagi. Tentu ini tidak mudah karena Anto hanya punya keterampilan mencari ikan di sungai.

Ironis, Anto terpaksa bekerja di proyek yang selama ini merusak sumber penghidupannya, IKN. Pada 2022 hingga akhir 2023, dia bekerja sebagai wakar.

Tahun 2024, dia pindah ke perusahaan lain, tapi masih di lingkup IKN, bekerja sebagai tenaga keamanan (sekuriti). Menurut Anto, penghasilannya pas-pasan, bahkan sering kurang.

Ketika libur, dia tetap turun ke sungai buat mencari tambahan, kendati ikan yang didapat hanya di kisaran 5-15 kilogram.

"Namanya kami ini terbiasa di sungai, agak lain perasaan kalau tidak turun. Tapi sekarang, jarang. Juga kalau ada didapat tidak banyak, kalau sampai di atas 10 kg, sudah banyak itu," bebernya.

Pembangunan IKN menyebabkan Sungai Pemaluan menjadi rusak. Masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sungai itu harus menanggung akibatnya.

Bagi warga lokal seperti nelayan sungai, kehadiran IKN tidak membuat mereka menjadi makin sejahtera. Mereka justru tercabut dari ruang hidupnya dan harus menanggung beban hidup yang makin berat.


Artikel ini merupakan tulisan pertama dari liputan kolaborasi antara Kaltimtoday.co dan Independen.id, yang terlaksana atas dukungan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Tulisan Kedua dari serial liputan khusus ini bisa dibaca di sini: Tak Ada Upaya Pemulihan, Sungai Pemaluan di IKN Terancam Rusak Permanen. Tulis ketiga dari serial liputan ini bisa dibaca di sini: Sungai Pemaluan Dikeluhkan, Otorita IKN Justru Minta Warga Sabar dan Beri Pemakluman.
 


Berita Lainnya