Paser
Jalan Panjang Masyarakat Adat Kaltim Mencari Pengakuan: Mulai Penolakan hingga Ancaman Kekerasan
Di tengah carut-marut perkembangan zaman dan campur tangan para penguasa, masyarakat adat di Kaltim harus menelan pil pahit menanti perjuangan panjang untuk mendapatkan hak dan pengakuannya.
Tak hanya pergantian hari, belasan bahkan puluhan tahun mereka lalui untuk menjaga alam, wilayah, tradisi, di samping teror serta ancaman menghantui isi kepalanya.
Masih sedikit Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kaltim yang terjamin hak-hak adatnya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Ditambah 14 tahun Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat tak kunjung disahkan, menjadi hiasan semata di meja wakil rakyat dan pemerintah.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mencatat setidaknya terdapat 301 kasus
yang merampas 8,5 juta hektar wilayah adat dan mengkriminalisasi 672 jiwa masyarakat adat.
Bahkan, sekurangnya sudah ada 248 produk hukum daerah di seluruh Indonesia tentang masyarakat adat, dan masih didorong terus untuk hadir di berbagai wilayah lain di Indonesia. Meski banyaknya perda tentang masyarakat adat di daerah, masih juga belum menjamin perlindungan dan hak-hak masyarakat adat itu sendiri.
Di Kabupaten Paser, baru ada dua pangakuan tentang komunitas masyarakat adat, diantaranya Mului dan Muara Andeh. Faktanya, masih ada komunitas masyarakat adat lain yang tersisih, bahkan terancam kehilangan tempat tinggal aslinya sendiri.
AMAN berkolaborasi dengan Kaltimtoday.co dan TEMPO, mengulik perjalanan hidup masyarakat adat di hutan Kalimantan, serta membongkar aktor-aktor di balik terhambatnya pengakuan masyarakat adat, dan mandeknya implementasi peraturan daerah masyarakat adat.
Perjalanan Panjang Masyarakat Adat Mului Dapatkan Pengakuan Pemerintah untuk Jaga Hutan dan Tradisinya
Dimulai dari Masyarakat Hukum Adat (MHA) Mului, Desa Swan Slutung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, Kaltim, yang mempunyai rekam jejak perjalanan mendapatkan pengakuan masyarakat adat dari puluhan tahun silam.
Sekitar tahun 1970-an, masyarakat adat Mului hidup dan tinggal di wilayah adat mereka. Beberapa masyarakat di sana percaya jika wilayah mereka secara turun-temurun diwariskan oleh para leluhurnya.
Hari demi hari, mereka hidup di tengah hutan belantara pedalaman Paser. Mencukupi seluruh kebutuhan mereka dengan cara berburu, berladang, dan aktivitas bertahan hidup yang telah mereka lakukan.
Di tengah kehidupan mereka yang terus berjalan, tak jarang masyarakat adat Mului risau dan takut akan ancaman-ancaman dari luar. Kebanyakan, ancaman tersebut datang dari perusahaan, kelompok tertentu, hingga masyarakat lain yang ingin memanfaatkan sumber kekayaan alam masyarakat adat Mului.
"Ancaman itu datang dari luar, bahkan kami sempat tidak boleh hidup di wilayah kami sendiri," kata Kepala Masyarakat Adat Mului Tuo Kampung Jidan.
Kehidupan masyarakat adat Mului yang terancam, menjadi atensi serius dari sejumlah organisasi lingkungan seperti AMAN, PADI, hingga WALHI. Mereka mengawal perjuangan masyarakat adat Mului, untuk mendapatkan pengakuan serta perlindungan dari pemerintah.
Pengawalan tersebut didasari atas pertemuan antar tokoh, diskusi, hingga perdebatan panjang agar masyarakat adat Mului bisa hidup damai dari ancaman-ancaman tadi.
"Kurang lebih tahun 1995, kami lakukan pemetaan partisipatif sampai selesai di tahun 1999. Tujuannya, agar masyarakat adat Mului punya batas wilayah, dan mengangamankan wilayah asli kami," sebutnya.
Setelah pemetaan, masyarakat adat Mului bersama organisasi lingkungan, terus mencari cara untuk percepatan dalam mendapatkan SK Pengakuan Masyarakat Adat. Mulai dari pengajuan permohonan, analisis keberadaan masyarakat dan tanahnya, sejarah, verifikasi, dan beberapa tahapan lainnya.
Hingga akhirnya, Masyarakat Adat Mului secara resmi mendapatkan SK Bupati No. 413.3/Kep-268/2018, dan didampingi oleh PADI dan HuMA. Kegiatan penyerahan SK diberikan langsung oleh Bupati Paser Yusriansyah Syarkawie kepada Kepala Masyarakat Adat Mului Jidan, (02/08/2018).
"Kini sudah ada statusnya, jadi sudah tidak ada lagi ancaman-ancaman seperti dulu," tegas Jidan.
Menurut Jidan, kelompok masyarakat adat lain pun harus mendapatkan pengakuan serta perlindungan dari pemerintah, untuk mejamin hak-hak hidup mereka dan pelestarian masyarakat adat. Ada banyak manfaat ketika kelompok masyarakat adat mendapatkan pengakuan dari pemerintah, hingga ditetapkannya SK masyarakat adat.
"Sebelum SK keluar, hidup runyam dan sulit. Tapi setelah adanya SK, lebih ringan hidup ini. Masalah pengelolaan aman, tidak ada tekanan dan larangan. Yang terpenting, sesuai dengan kearifan yang ada, tidak berlebihan," ucapnya.
Di samping kehidupan yang aman, masyarakat adat Mului juga mendapatkan bantuan dari pemerintah setempat. Mulai dari pembangunan rumah, hingga dibuatkan PLTS atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya untuk memasok listrik ke rumah-rumah warga.
Berdirinya PLTS tak jauh dari pemukiman masyarakat adat. Pembuatan PLTS merupakan bantuan dari Pemprov Kaltim, melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral PLTS Terpusat 30 kWp. Untuk pembangunan PLTS tersebut, pemerintah provinsi menggunakan APBD Kaltim Tahun Anggaran 2023.
"Kurang lebih satu tahun listrik baru masuk ke sini. Dulunya pakai genset dengan bahan bakar, sekarang sudah ada PLTS," sebutnya.
Sulitnya Akses Kesehatan Masyarakat Adat Mului, dan Alternatif Ramuan Herbal
Beberapa masyarakat adat Mului, masih menggunakan pengobatan tradisional. Tumbuhan yang hidup alami di hutan adat Mului, diracik menjadi ramuan herbal alternatif untuk pengobatan orang sakit di sana.
Kepala Masyarakat Adat Mului Tuo Kampung Jidan menyampaikan, penyakit yang kerap kali menyelimuti masyarakat ialah panas demam yang berkepanjangan.
"Ada dua jenis untuk pengobatan. Tradisional atau pergi ke rumah Sakit. Kalau tradisional ya dari tumbuh-tumbuhan sekitar, diracik jadi obat," bebernya.
Apabila tidak mempan, masyarakat adat akan pergi ke Puskesmas, melewati hutan dan akses jalan yang rusak. Jalan setapak yang hanya bisa dilalui motor, menjadi salah satu jalan menuju puskesmas terdekat. Kurang lebih sekitar 12 kilometer, masyarakat baru bisa mendapatkan akses kesehatan ketika sakit.
"Di sini juga ada bidan kampung untuk melahirkan. Lalu ada juga bidan dari puskesmas yang datang ke sini, tapi enggak menentu. Kadang beberapa bulan sekali," sebutnya.
Salah satu masyarakat adat, Umi membagikan kisahnya ketika anak-anak di dusun terserang penyakit. 'Sembur', istilah dari pengobatan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
"Itu pengobatan tradisional dari tumbuh-tumbuhan, yang dikunyah oleh orang pintar di sini, kemudian ada mantra-mantra khusus lalu disemburkan ke anak yang sakit," jelas Umi.
Sejalan dengan Tuo Kampung di sana, Umi menyebut bahwa akses kesehatan dari pemerintah sangat minim. Bidan yang datang dari kecamatan, sangat jarang sekali untuk memeriksa kesehatan anak-anak di dusun Mului. Salah satu alasannya, karena akses jalan yang sulit dan sangat jauh.
"Kadang bisa beberapa bulan sekali. Mereka juga susah ke sini. Harapannya bisa seminggu atau sebulan sekali kesini," kata Umi.
Pengakuan Masyarakat Adat Rangan Dijegal Kepala Desa
Komunitas Masyarakat Adat Rangan Paser Kaltim juga punya cerita tersendiri atas pengajuan pengakuan masyarakat adat dan hutan mereka. Rupanya, ada aktor yang menolak pengakuan masyarakat adat di sana selama beberapa tahun kebelakang.
Mereka mencoba melakukan pengajuan untuk pengakuan masyarakat adat, diawali dengan penggalian data etnografi pada 2017-2019. Pengajuan tersebut atas kesepakatan bersama, dengan tujuan mendapat perlindungan dari pemerintah setempat.
"Tahun 2020, kita sudah melengkapi berkas berkas. Mulai dari sejarah kampung, revitalisasi kelembagaan adat, dan lain sebagainya," ucap salah satu masyarakat adat Rangan yang enggan disebutkan namanya.
Berbagai upaya sosialisasi hingga pemenuhan persyaratan pun sudah dilakukan. Bahkan berkas mereka pun juga masuk di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Paser. Namun, hingga kini juga belum ada kejelasan terkait tindaklanjut pengakuan masyadakat adat Rangan.
"Sudah lima kali ganti kepala dinas beberapa tahun terakhir, tapi masih juga belum ada tanda-tanda kami bisa mendapatkan pengakuan," sebutnya.
Belum lagi adanya penolakan dari oknum pemerintahan desa, membuat masyarakat adat Rangan masih berkutat pada administrasi yang tak kunjung ditindaklanjuti.
"Informasi yang saya dapatkan, ada penolakan dari kepala desa setempat, atas pengakuan masyarakat adat Rangan," imbuhnya.
Mendengar hal tersebut, AMAN tidak tinggal diam. Mereka memberikan saran dan masukan kepada masyarakat adat Rangan, untuk terus mencoba beragam upaya serta penguatan kelompok masyarakat adat di sana.
"Diusahakan agar kelompok masyarakat adat Rangan tetap satu tujuan. Jangan sendiri-sendiri. Perjuangan pengakuan masyarakat adat akan lebih mudah apabila penguatan terus terjaga," kata Ketua PD AMAN Paser, Fadli.
Bisnis Batu Bara Telan Korban, Mulai Pendeta hingga Tokoh Masyarakat Adat di Muara Kate
Praktik bisnis hauling batu bara kian meresahkan warga Muara Kate, Kabupaten Paser, Kaltim. Pasalnya, sejumlah warga telah menjadi korban atas lalu-lalang truk bongkat muat batu bara di sana.
26 Oktober 2024, merupakan akhir hayat pendeta Veronika atas insiden tergulingnya truk batu bara yang diduga berasal dari PT MCM, sebuah perusahaan pertambangan yang beroperasi di Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.
Kronologi insiden bermula saat truk tidak mampu menanjak, dan mendadak mundur melindas pendeta yang genap berumur 20 tahun tersebut. Dari pantauan di lapangan bersama AMAN, masih tergambar jelas TKP meninggalnya sang pendeta di sebelah kiri jalan, kawasan Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser.
Dalam catatan Polres Paser, setidaknya ada lima insiden akibat operasi hauling baru bara yang melintas di kawasan tersebut. Selain korban jiwa, juga mengakibatkan kerugian materi atas pengoperasian hauling baru bara.
Warga Muara Kate mengambil langkah tegas, membangun posko penjagaan untuk menghadang aktivitas hauling batu bara. Tak berjalan mulus, insiden pembacokan leher dua warga setempat pun terjadi satu bulan setelah kepergian pendeta Veronika.
Tepat pada 15 November 2024, Anson dan Rusel menjadi korban penyerangan orang tak dikenal saat dini hari. Keduanya bersimbah darah. Berteriak kesakitan, dan meminta pertolongan. Nahasnya, Rusel yang merupakan tokoh masyarakat adat terenggut nyawanya atas peristiwa itu.
Menyoroti kasus tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda mengecam keras insiden penyerangan dan pembunuhan yang terjadi di Posko “Masyarakat Stop Hauling Batubara”
"Kami mengecam keras segala bentuk kekerasan, intimidasi, dan pembunuhan terhadap masyarakat yang sedang memperjuangkan hak mereka. Peristiwa ini adalah pelanggaran HAM yang serius,” kata Direktur LBH Samarinda, Fathul Huda.
Insiden ini dinilai sebagai puncak dari pembiaran pemerintah terhadap konflik yang terus terjadi akibat aktivitas tambang ilegal di Kabupaten Paser.
“Kekerasan ini menunjukkan lemahnya perlindungan negara terhadap rakyatnya. Warga yang memperjuangkan ruang hidup dan lingkungan mereka malah menjadi korban kekerasan yang dibiarkan terjadi tanpa tindakan tegas dari pemerintah maupun aparat penegak hukum," ucap Dinamisator JATAM Kaltim, Mareta Sari.
Dua Tuntutan Warga Soal Penyerangan Berdarah Muara Kate, Stop Hauling Permanen hingga Desak Polisi Tangkap Para Pelaku
Warga Muara Kate, Kabupaten Paser terus menyuarakan tuntutan terhadap insiden penyerangan berdarah oleh orang tak dikenal pada 15 November 2024. Dua tuntutan mereka yakni menghentikan operasi hauling batu bara secara permanen, serta meminta aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus tersebut hingga menangkap para pelaku.
Tepat satu bulan penyerangan di Muara Kate, posko penolakan masih tegap berdiri. Warga sekitar tetap ramai berkumpul dan saling menjaga, meski operasi hauling batu bara dihentikan sementara.
"Dua tuntutan kami, perusahaan batu bara harus menghentikan hauling mereka secara permanen. Kemudian untuk kepolisian, segera mengusut tuntas kasus ini dan menangkap para pelaku," tegas Warga Muara Kate, Warta, Minggu (15/12/2024).
Warta mengatakan, aksi penyerangan ke posko satu bulan lalu, diduga melibatkan sejumlah pihak untuk memuluskan pembacokan kepada dua warga sekitar. Meski sampai sekarang masih menjadi tanda tanya, warga tetap menunggu hasil dari pihak kepolisian.
"Kita ini orang umum, tidak terlalu mengerti. Yang kita tau hanya menyetop truk batu bara. Tentu pasti ada yang tidak senang. Tapi tidak kepikiran sama sekali kami bakal diserang," bebernya.
"Akar masalahnya di hauling ini, sudah berberapa kali terjadi orang meninggal hingga tabrak lari, namun kasusnya tidak terungkap," tambahnya.
Di samping itu, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, Saiduani Nyuk bersama sejumlah pengurus AMAN lainnya, juga turut mengunjungi posko penolakan untuk memberikan dukungan dan berduka cita atas kepergian korban, Rusel.
"Kami tetap mendukung, apapun gerakan warga. Termasuk dengan apapun yang diperjuangan masyarakat. Saya harap warga tetap kuat, dan kami terus dampingi perjuangan ini," tutupnya.
Akademisi Unmul: Implementasi Perda Masyarakat Adat Macet, Pemerintah Harus Turun Tangan
Meski perda-perda masyarakat adat di daerah telah dibuat, namun masih belum menjamin perlindungan dan hak-hak masyarakat adat di Kaltim. Sulitnya mendapatkan pengakuan masyarakat adat, hingga meninggalnya salah satu tokoh masyarakat adat di Muara Kate atas penyerangan orang tak dikenal, menjadi bukti bahwa produk hukum yang dibuat pemerintah, tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Akademisi dari Universitas Mulawarman, Sri Murlianti menyoroti hal tersebut dan meminta pemerintah wajib turun tangan dan melakukan pendampingan atas perjuangan hak-hak masyarakat adat yang termarjinalkan.
"Ini kembali ke pada niatnya. Apabila DPRD atau pemangku kebijakan membuat perda, kita seakan-akan naif bahwa itu merupakan suatu bentuk kepedulian, jangan-jangan itu proyek. Karena kalau memang peduli, pasti tidak sulit menjalankannya," ucap Sri Murlianti.
Dia menilai, masyarakat adat perlu pendampingan khusus dari pemerintah, apabila kesulitan dalam memproses pengajuan pengakuan masyarakat adat.
"Pemerintah harus turun tangan. Misal soal administrasi masyarakat adat sudah sampai mana untuk mendapat pengakuannya, jika mereka bingung bisa dibantu," ujarnya.
Upaya Percepatan Pengakuan Masyarakat Adat
Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Kaltim punya tolak ukur dalam melakukan percepatan pengakuan masyarakat adat. Namun, tidak hanya soal kuantitas, tetapi kualitas masyarakat adat juga menjadi pertimbangannya.
Menyoroti soal masyarakat adat Rangan Kabupaten Paser yang belum mendapatkan pengakuan, DPMPD perlu meninjau kembali dan memverifikasi persyaratan mereka, agar bisa mendapatkan pengakuan serta perlindungan dari pemerintah setempat.
"Rangan itu masih ada beberapa yang belum dilengkapi, tapi sudah berproses. Khususnya soal tanah adat yang mereka klaim, karena ditakutkan masih ada kepemilikan wilayah atau tanah dari orang lain," sebut Kepala DPMPD Kaltim, Chandra Irwanadhi.
Chandra menilai, masyarakat adat harus punya eksistensi, serta asal muasal yang jelas untuk menunjukkan keberadaan mereka di Bumi Daya Taka. Apabila penguatan masyarakat adat kurang, tentunya menjadi masalah untuk mendapatkan pengakuan.
"Kita terbuka urusan begitu, tidak ada niatan kami untuk menghalang-halangi, justru kami membantu," imbuhnya.
Untuk itu, pihaknya menunggu masyarakat adat Rangan agar bisa melengkapi berkas-berkas persyaratan pengakuan masyarakat adat.
"Soal situs sejarah, wilayah, hingga masyarakat adatnya harus jelas. Jangan dibuat-buat, kesannya nanti gimana. Nanti kami akan telusuri lagi," ungkap Chandra.
"Selain Rangan ada masyarakat adat Tiwei juga yang sedang berproses, tinggal batas wilayah adatnya lagi," tambahnya.
Beragam konflik pengakuan masyarakat adat, tentunya membutuhkan wadah dalam penyelesaiannya. DPRD Paser sendiri siap menjadi fasilitator, untuk menjembatani masyarakat adat, pemerintah, hingga pihak-pihak luar yang terlibat.
Anggota DPRD Paser Syukran Amin menilai, pengakuan Masyarajat Hukum Adat (MHA) di Paser sendiri, perlu ditekankan pada penyelesaian internal, baik dari masyarakat adatnya sendiri maupun pemerintahan desa.
"Masyarakat adat perlu mengakui diri mereka sendiri dan wilayah adatnya, sebelum meminta pengakuan dari pihak lain. Kami dari DPRD siap menjembatani," pungkasnya.
Berkaitan dengan terhambatnya pengakuan masyarakat adat Rangan, ia menyebut bahwa permasalahan harus diselesaikan dengan mediasi yang positif. Sehingga, tidak ada lagi perkara yang merembet terlalu panjang, dan mengantisipasi konflik lanjutan yang terjadi.
"Mediasi antara pemerintah, masyarakat adat, hingga pihak yang merasa memiliki wilayah harus duduk bersama," kata Syukran.
[TOS]
Related Posts
- Isran-Hadi Ajukan Gugatan Hasil Pilgub Kaltim ke MK, Refly Harun Jadi Kuasa Hukum
- Belajar dari Inggris: Indonesia Dorong Integrasi Energi Terbarukan di Sistem Kelistrikan
- Baca Puisi hingga Demo Masak, Cara Kelompok Aksi Pejuang HAM di Samarinda Sindir Pemerintahan Prabowo-Gibran
- DPK Kaltim Apresiasi Dinas Tanaman Pangan Raih Nilai Audit Kearsipan Terbaik
- Pilot Proyek Filing Cabinet, Solusi Baru untuk Meningkatkan Nilai Audit Kearsipan OPD