Lipsus
Perusahaan Adik Prabowo di IKN: Klaim HGB Dulu, Gusur Menggusur Kemudian

Polda Kaltim resmi menetapkan empat orang warga Desa Telemow-- sebuah desa yang berjarak sekitar 15 kilometer dari IKN-- sebagai tersangka pengancaman dan penyerobotan tanah Hak Guna Bangunan (HBG) PT ITCHI Kartika Utama. Sejumlah dan organisasi masyarakat sipil menilai, penetapan ini diduga sebagai bentuk kriminalisasi terhadap warga yang berusaha memperjuangkan hak atas tanahnya sendiri.
Bagaimana Mulanya?
Dugaan kriminalisasi dan pencaplokan lahan milik warga Desa Telemow, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU) oleh PT ITCHI Kartika Utama setidaknya mulai terpantik oleh kejadian pada 2017 silam. Kala itu, sejumlah perwakilan perusahaan berkeliling mendatangai kediaman warga di Desa Telemow, untuk menandatangani formulir atau surat yang mereka buat. Isi formulir itu, menurut penuturan sejumlah warga, perusahaan meminta warga mengakui bahwa tanah yang ditempati atau dimiliki adalah tanah Hak Guna Bangunan (HGB) milik PT ITCHI. Gambaran lokasi dan luasan lahan yang dimaksud semua berdasarkan peta HGB versi perusahaan.
Warga yang diminta menandatangani formulir itu— tak sedikit dari mereka adalah warga asli setempat, atau suku Paser— kaget dan tidak terima dengan "klaim sepihak" perusahaan. Warga menilai, lahan yang diklaim sebagai HGB perusahaan justru mencaplok tanah-tanah warga, yang sudah mereka miliki sejak turun temurun, jauh sebelum perusahaan milik adik Prabowo Subiato itu hadir di PPU. Setidaknya, ada 88 Kepala Keluarga (KK) yang lahannya masuk dalam klaim HGB milik PT ITCHI.
Salah seorang warga Desa Telemow, Yudi Saputra, ketika ditemui Desember 2024 lalu menjelaskan, mulanya warga tak pernah tahu keberadaan HGB ini. Tiba-tiba saja di tahun 2017, perusahaan datang dan memaksa warga tandatangani persetujuan klaim HGB. Seandainya kejadian 2017 itu tak ada, barangkali hingga detik ini warga tak pernah tahu ada persoalan tumpang tindih klaim kepemilikan lahan antara warga dan perusahaan.
![Surat pernyataan yang pertama kali PT ITCHI KU bagikan ke warga Desa Telemow yang dianggap menempati HGB mereka. Pertama kali dibagikan pada 2017, perusahaan meminta warga menyepakati 5 poin dalam surat pernyataan itu. Salah satunya, sebagaimana tercantum di poin pertama, mengakui lahan yang mereka tempati ialah HGB PT ITCHI. [Istimewa.]](/storage/photos/6/Surat pernyataan yang pertama kali PT ITCHI KU bagikan ke warga Desa Telemow yang dianggap menempati HGB mereka..png)
Surat pernyataan yang pertama kali PT ITCHI KU bagikan ke warga Desa Telemow yang dianggap menempati HGB mereka. Pertama kali dibagikan pada 2017, perusahaan meminta warga menyepakati 5 poin dalam surat pernyataan itu. Salah satunya, sebagaimana tercantum di poin pertama, mengakui lahan yang mereka tempati ialah HGB PT ITCHI. [Istimewa]
Masih di tahun yang sama, tindakan perusahaan terhadap warga makin agresif. Bukan saja minta tandatangan dan mendesak warga mengosongkan lahan, perusahaan pun mulai menyebar papan pengumuman di sejumlah titik di Desa Telemow. Papan pengumuman itu tertulis, berdasar HGB Nomor 00001/Desa Telemow, tanah yang diplang adalah milik PT ITCHI. Padahal, di atas tanah yang dipasangi plang itu, ada rumah-rumah warga yang sudah berdiri puluhan tahun, ada perkebunan milik warga suku asli setempat yang telah dikelola secara turun temurun. Klaim HGB ini bahkan sampai merembet ke lahan Puskesmas dan Kantor Desa Telemow, dan jalan desa yang didanai menggunakan APBD.
Kejadian ini kemudian memantik kekesalan warga. Pertama, warga tak terima lahan mereka diklaim sepihak oleh perusahaan. Kedua, tidak pernah ada informasi kepada warga setempat, terkait bagaimana proses HGB itu, kapan HGB dibuat, dan bagaimana isi HGB. Klaim seketika hadir, warga diminta akui, diminta kosongkan lahan dan hidup warga kini dalam bayang-bayang ketidakpastian.
"Waktu 2017 itu warga bingung, kok, tiba-tiba perusahaan klaim tanah mereka masuk HGB-nya perusahaan. Tanah itu sudah lama mereka tempati. Apalagi daerah perkebunan itu, banyak milik warga asli suku Paser," kata Yudi.
![Plang yang dipasang perusahan untuk menandai klaim konsesi HGB mereka. Plang ini tersebar di sejumlah titik di Desa Telemow. (Foto Muhibar Sobary)]](/storage/photos/6/Plang yang dipasang perusahan untuk menandai klaim konsesi HGB mereka. Plang ini tersebar di sejumlah titik di Desa Telemow. (Foto Muhibar Sobary)].jpg)
Plang yang dipasang perusahan untuk menandai klaim konsesi HGB mereka. Plang ini tersebar di sejumlah titik di Desa Telemow. [Foto: Muhibar Sobary]
Perusahaan tetap bersikukuh bahwa kawasan yang telah ditandai adalah bagian dari HGB mereka. Pada 2019, perusahaan kembali meminta warga menandatangani dokumen serupa pada 2017, kali ini dengan tambahan intimidasi dan intrik. Warga, yang sebagian besar tak berpendidikan tinggi dan hanya bekerja di kebun, buruh harian, diancam akan diseret ke jalur hukum bila tak mau tanda tangan. Ada juga intrik lain, dengan sedikit tipuan. Misalnya, perusahaan meminta istri seorang warga untuk menandatangani dokumen tanpa sepengetahuan suaminya-- yang lebih paham perkara lahan.
"Ada juga warga didatangi, dibilang ibu atau bapak saja yang belum tandatangan, yang lain sudah. Padahal, masih banyak warga yang menolak (tanda tangan,red)," sebut Yudi.
Banyak persoalan muncul usai penolakan warga menandatangani surat pernyataan pengakuan HGB perusahaan. Mulai Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPRD PPU; PT ITCHI yang diwakili kuasa hukumnya, Nicholay Aprilindo; dan perwakilan warga yang berakhir buntu.
Adu mulut antara perwakilan PT ITCHI dan warga dalam RDP yang terjadi di tahun 2018 itu berujung laporan kepolisian pada warga atas nama Saparuddin. Pemortalan jalan oleh PT ITCHI yang membuat warga tak bisa masuk ke kebunnya sendiri. Rentetan somasi yang dilayangkan perusahaan ke warga.
Hingga 2023, setidaknya sudah 4 kali PT ITCHI mengirim somasi, misalnya somasi yang dikirim pada 2020 kepada Martin Sulo dan 27 orang lainnya. Sampai laporan ke kepolisian pada sejumlah warga atas dugaan penyerobotan lahan pada 2023 awal.
"Ada 19 warga sempat dimintai klarifikasi oleh kepolisian, sebelum akhirnya 4 orang ditetapkan sebagai tersangka," sebut pemuda asli Desa Telemow ini.
Keempat orang yang ditetapkan tersangka ialah Saparuddin atau akrab disapa Acok, Sadin, Rudiansyah, dan Hasanuddin. Namun dari 4 orang itu, hanya ada 2 orang yang ditetapkan tersangka dalam dua tuduhan berbeda; pengancaman dan penyerobotan, yakni Saparuddin dan Sadin. Mereka ditetapkan tersangka akhir tahun 2024.
Menurut Yudi, berlarutnya persoalan tumpang tindih kepemilikan lahan ini lantaran informasi terkait HGB pada dasarnya sangat terbatas. Perusahaan tidak pernah memberikan informasi cukup terkait HGB, selain berbagai klaim tanpa pembuktian konkret pada warga. Pemerintah setempat, baik Pemkab PPU, ATR-BPN PPU, hingga ATR-BPN Kaltim, sama saja, tidak menunjukkan transparansi.
Pada 2023, Yudi dibantu masyarakat dan organisasi sipil setempat, berusaha mengulik sendiri informasi terkait HGB perusahaan. Dari hasil penelusuran, baru diketahui rupanya PT ITCHI mengklaim telah mengantongi HGB di Desa Telemow sejak 1993. HGB itu, menurut versi perusahaan, berlangsung selama 20 tahun. Mulai 1993 dan berakhir di 2013.
"Tahun 2013 habis (masa HGB), 2017 diperpanjang. Itulah kemudian warga diminta tandatangan mengakui HGB mereka. Tapi sepanjang 4 tahun itu, dari 2013-2017, dari yang saya perhatikan dan keterangan warga, di lahan yang diklaim HGB itu tidak ada aktivitas perusahaan," beber Yudi. Usai diperpanjang, perusahaan mengklaim berhak atas konsesi HGB hingga tahun 2037.

Surat somasi yang sempat diajukan PT ITCHI kepada warga Desa Telemow. [Istimewa]
Informasi ini masih tak cukup. Detail dokumen HGB yang selama ini dijadikan landasan perusahaan mendesak warga mengosongkan lahannya sendiri belum dikantongi. Warga, aparat desa, tak satupun dari mereka pernah diperlihatkan isi dokumen HGB.
Hal ini juga dibenarkan Kepala Desa Telemow, Muhammad Munip.
"Warga tidak pernah lihat fisiknya, makanya warga ajukan gugatan ke KI itu," kata Muhammad Munip ketika ditemui di kantornya, Desember 2024.
Perjuangan warga untuk mendapatkan dokumen HGB PT ITCHI berlanjut. Gugatan informasi atas nama Yudi Saputra, dilayangkan terhadap Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Timur (Kanwil ATR/BPN Kaltim) terkait dengan Dokumen Hak Guna Bangunan (HGB) PT. ITCI Kartika Utama pada Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Timur (KI Kaltim). Pada 13 Mei 2024 putusan KI terbit melalui Putusan Nomor: 014/REG-PSI/KI-KALTIM/IX/2023. Komisi Informasi memutuskan menerima sebagian Permohonan Yudi Saputra terkait dengan Salinan HGB PT.ITCI Kartika Utama.
Namun ATR-BPN Kaltim menolak putusan KI dengan alasan dokumen yang diminta termasuk dokumen yang dikecualikan. ATR-BPN lantas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda pada tanggal 22 Mei 2024 dengan Register Nomor: 21 G/KI/2024/PTUN.SMD.
"Hasilnya, sebagian besar permohonan kami ditolak," ujar Yudi.
Walhasil, hingga Desember 2024, warga masih belum juga melihat isi dokumen HGB yang menjadi dasar PT ITCHI mendesak warga mengosongkan tanahnya sendiri. Bayang-bayang tercerabut dari tanah kelahirannya sendiri makin kuat, makin mengerikan, makin merongrong-rong warga.
Klaim HGB Terbit, Penggusuran Datang
SAPARUDDIN (53) menunjukkan sejumlah kayu ulin tua yang berdiri di kebun milik keluarganya, terletak di Desa Telemow, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Kayu ulin tua yang posisinya sudah tidak simetris itu adalah puing-puing tersisa dari rumah orangtuanya, dibangun sekitar tahun 1970-an.
Di rumah panggung itu, ia tinggal bersama seluruh anggota keluarga; ibu, ayah, dan enam orang saudara lainnya. Mereka bermukim di sana selama 24 tahun.
Tahun 1994, mereka pindah ke Tanjung Harapan, Maridan. Alasannya, karena orangtua sudah menua, sering sakit-sakitan, dan butuh dekat dengan fasilitas kesehatan.
![Saparuddin (53) menunjukkan kayu ulin yang merupakan puing tersisa dari rumah lama orangtuanya di kebun yang sekarang masuk dalam klaim HGB PT ITCHI. Dia mengaku, rumah tua itu mulai ditempati sejak 1970-1996. [Foto: Muhibar Sobary]](/storage/photos/6/Saparuddin (53) menunjukkan kayu ulin yang merupakan puing tersisa dari rumah lama orangtuanya di kebun yang sekarang masuk dalam klaim HGB PT ITCHI..jpg)
Saparuddin (53) menunjukkan kayu ulin yang merupakan puing tersisa dari rumah lama orangtuanya di kebun yang sekarang masuk dalam klaim HGB PT ITCHI. Dia mengaku, rumah tua itu mulai ditempati sejak 1970-1996. [Foto: Muhibar Sobary]
Tak jauh dari sisa puing bangunan rumah lama orangtuanya, berdiri tegak pohon-pohon buah lai-- tanaman buah khas Kalimantan yang bentuknya mirip durian. Pohon buah lai berukuran puluhan meter itu masih hidup dan berdiri kokoh. Di dekatnya, ada juga pohon cempedak, rambutan, dan tanaman rotan.
Pohon buah lai itu, kata Saparuddin, sebagian mulai ditanam oleh kakeknya-- yang biasa ia panggil 'kai'-- sekitar tahun 1922. Itu menandai awal mulai sang kakek, yang bernama Datuk Kitik, mulai menggarap lahan perkebunan ini.
Setelah sang kakek meninggal, pengelolaan diwariskan secara turun temurun ke anak-cucunya. Sekarang, tanah seluas 20 hektar itu kini dikelola Saparuddin sebagai generasi ketiga. Luasan lahan, kata warga suku Paser ini, sejak dulu hingga kini dalam pengelolaannya tak pernah berubah, masih 20 hektar.
"Makanya namanya Selong Titik (nama kawasan ini), Datuk Kitik itu adalah kai kami yang menggarap di situ. Ada juga sungai namanya Selong Titik, namanya dari datuk kami," sebut Saparuddin ketika menemani kami meninjau kebunnya di Desa Telemow, awal Desember 2024.
Namun, setidaknya dalam 5 tahun terakhir, Saparuddin mulai tak tenang. Hatinya gusar. Tanah warisan leluhur, tanah yang menjadi saksi hidup tempat ia bertumbuh, kini di ambang perampasan. Pasalnya, PT ITCHI, sebuah perusahaan yang terafiliasi dengan petinggi negeri ini, mengklaim tanah itu masuk dalam penguasaan HGB mereka.

Saparuddin tak tinggal diam ketika lahannya diklaim masuk konsesi HGB PT ITCHI. Dia, bersama warga, khususnya warga suku asli setempat, berorganisasi, memperjuangkan hak atas tanah mereka. Walau perjuangan ini tak mudah dan ia menghadapi tantangan tak mudah, upaya kriminalisasi.
"Saya tidak pernah takut, kalau saya salah silahkan tangkap, kalau memang saya salah," katanya.
Sabtu, 4 Desember 2024, jadi momen yang tidak akan dilupakan Saparuddin. Empat orang anggota kepolisian, dengan pakaian serba hitam dan tanpa tanda pengenal, menyambangi kediamannya di Jalan Kuari, RT 08, Desa Telemow.
Mulanya, ketika keempat polisi yang seluruhnya laki-laki itu datang, Saparuddin tak ada di rumah. Dia tengah meninjau pembangunan jalan di dekat kebunnya, di Jalan Provinsi RT 06 atau warga setempat menyebutnya daerah Sabut. Tiba-tiba, sang istri, Ramayani, menelpon "Pak, tolong pulang ada tamu."
Panggilan itu tak berlangsung lama, pun tak ada penjelasan siapa "tamu" yang dimaksud. Namun, secara naluriah Saparuddin menangkap ada hal yang aneh. Ini terasa dari nada bicara istrinya yang menegang.
Ketika bersiap memacu motornya ke rumah, panggilan baru kembali masuk.
"Pak, bisa kita ketemu pak. Saya ada perlu dengan bapak," kata seseorang di ujung sambungan telepon.
"Saya ada di jalan tanah (jalan yang belum diaspal dekat kebunnya)."
"Tolong share lokasi."
"Saya nggak tahu masalah, enggak tahu saya shareloc-shareloc-an itu," kata pria kelahiran Pantai Lango ini, menerangkan bahwa ia tak mengerti soal fitur berbagi lokasi yang ada di ponselnya.
Dia melanjutkan "kalau begitu oke, saya ke rumah tunggu saja di situ, saya pasti kembali." Hingga panggilan itu diakhiri, Saparuddin masih tak tahu siapa pria yang menelponnya.
Butuh waktu sekitar 15 menit bagi Saparuddin sampai di rumah. Di sana, sudah ada 4 pria dan istrinya menunggu di ruang tamu. Salah seorang pria itu, tanpa memperkenalkan diri, menunjukkan sejumlah dokumen. Dia tak paham dokumen apa saja itu. Saparuddin mengaku cukup kaget, tapi berusaha bersikap tenang.
"Bahasannya saya ditangkap. Diminta ikut mereka ke Balikpapan. Katanya nanti dipulangkan setelah memberikan keterangan," katanya.
Polisi minta Saparuddin bergegas ikut mereka ke Balikpapan. Namun Ramayani minta polisi memberi waktu bagi suaminya untuk mandi dan berganti pakaian.
"Mereka minta cepat, tapi ibu bilang 'bapak mandi dulu.’” Belakangan, ketika mendengar cerita lain, Rudiansyah— salah seorang "tersangka" penyerobotan lahan lainnya—, bahkan tak sempat mandi dan berganti pakaian karena kaget didatangi polisi di rumahnya, juga di Desa Telemow.
Proses penangkapan itu berlangsung cukup singkat. Setelah mandi dan berganti pakaian, Saparuddin-- yang dengan setia terus didampingi istrinya-- mulai digelandang ke mobil petugas saat hari mulai petang. Di luar rumah, sudah berjejer 4 mobil berjenis multi purpose vehicle (MPV) berjejer.

Adegan penangkapan ini memicu kehebohan warga sekitar. Banyak dari mereka kaget dan tidak menyangka, Saparuddin, yang sejatinya adalah ketua RT sekaligus tetua adat dan cukup disegani warga sekitar, namun diperlakukan bak seorang kriminal lantaran dijemput polisi. Kendati Saparuddin mengaku dia tak diborgol dan diperlakukan cukup manusiawi oleh petugas kepolisian. Tapi kejadian seperti ini tak pernah terjadi di lingkungan rumahnya.
"Masyarakat sini kaget dengan kedatangan mereka (polisi) itu. Kasihannya pak RT, pak kepala kita, kok, sampai begitu. Tiba-tiba (ditangkap), warga kaget," bebernya.
Hari itu juga, sekitar pukul 20.00 Wita Saparuddin tiba Polda Kaltim, Balikpapan. Sebelum diperiksa, polisi memberi waktu untuk istirahat dan makan malam. Saat itulah, Saparuddin menghubungi beberapa orang yang selalu mendampinginya dalam kasus ini, di antaranya Ardiansyah.
"Pak Acok, tolong kalau mau disidik, dimintai keterangan, jangan dulu kalau kami belum datang," kata Saparuddin mengulang percakapan via WhatsApp antara dia dan Ardiansyah. Acok sendiri adalah nama panggilan Saparuddin.
Pukul 21.00 Wita, Saparuddin masuk ke ruang pemeriksaan. Ketika pemeriksaan dilakukan, sudah ada Ardiansyah yang mendampingi.
Dalam proses pemeriksaan, polisi memberikan sejumlah dokumen. Saparuddin tidak membaca dan tidak memahami isinya, semua diserahkan ke Ardiansyah. Selain itu, polisi juga memberondongnya dengan pertanyaan. Paling diingat, pertanyaan mengenai situasi yang terjadi kala rapat dengar pendapat (RDP) antara perwakilan warga Desa Telemow, DPRD PPU, dan perwakilan perusahaan.
Polisi kala itu bertanya, apakah Saparuddin ingat yang dikatakan Haji Sadin-- tersangka lain kasus dugaan penyerobotan lahan-- dalam rapat bersama dewan. Dengan tegas dia menjawab. "Ndak ada saya bilang, ndak ada mengancam-mengancam Pak Haji Sahdin itu.’ Tidak ada pertengkaran apalagi adu fisik selama rapat, hanya adu mulut biasa," kata Saparuddin.
Dalam rapat itu, sebutnya, warga hanya ingin menjelaskan hak atas tanah tanah mereka secara baik-baik. Ingin pemerintah dan perusahaan memahami bahwa tanah tersebut sudah dimiliki secara turun temurun. Namun, dalam rapat itu, warga merasa tak mendapat waktu bicara yang adil dan proporsional. Justru, dewan dan perwakilan perusahaan yang lebih banyak bicara.
Hingga tiba satu momen ketika nada bicara perwakilan meninggi dan menjurus pada warga. Ucapan itu rupanya memantik emosi Saparuddin. Padahal sejak awal rapat, dia mengaku berusaha menahan diri dan tidak terpancing oleh nada bicara serta klaim-klaim yang dilontarkan perusahaan.
"Pak hati-hati pak, bapak tidak tahu di sini. Kalau bapak tahu, kalau bapak enggak tahu anunya di sini, kalau bapak enggak tahu pulang aja, pak. Pulang, pak. Sekalian saya patah-patah tangan bapak, saya lempar kepala bapak, saya bilang, pecahin kepala bapak." Kalimat inilah yang dijadikan dasar bagi perusahaan untuk melaporkan Saparuddin ke polisi dengan tuduhan pengancaman.
"Di sana (perwakilan PT ITCHI) mulai awal rapat memang sudah keras, sampai akhir lebih keras lagi (nada bicaranya). Kami terakhir baru ribut. Itu karena ucapannya mereka," sebutnya.
Saparuddin dengan tegas merasa dua tuduhan yang disangkakan pada dia; penyerobotan lahan dan pengancaman, sangat tidak berdasar. Menurutnya, dia tak pantas dituduh menyerobot lahan karena ia menilai, keluarganya lebih dulu mendiami lahan yang diperebutkan.
Keluarganya mulai menggarap lahan tahun 1920-an, perusahaan datang tahun 1969. Ini bisa terlihat dari tanam tumbuh dan sisa puing bangunan yang berdiri di atas lahan. Sementara untuk pengancaman, jelas ucapannya itu terlontar secara spontan karena dipicu ucapan perwakilan perusahaan.
Hal lain yang juga dirasa aneh, kata Saparuddin, bila lahan warga masuk HGB PT ITCHI, mengapa baru belakangan perusahaan menyoal. Sejak dahulu warga sudah menggarap kebun, mendirikan rumah di lahannya, semua baik-baik saja, tidak ada ribut-ribut. Bahkan ada beberapa warga yang rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan memiliki segel tanah– pada 2021 nomor registrasi surat penguasaan tanah (SKT) 20 warga belakangan dicabut. Belum lagi di atas lahan yang diklaim itu, pernah dilakukan pemekaran wilayah dua desa. Pada 2010, Desa Maridan dimekarkan ke dua wilayah lain; Desa Telemow dan Desa Binuang.
 atau segel milik.jpg)
Surat keterangan yang diterbitkan Kecamatan Sepaku, PPU, yang menyatakan pencabutan nomor registrasi Surat Pernyataan Tanah Negara (SKT) atau segel milik 20 warga Desa Telemow. Ada dua alasan penarikan nomor SKT ini, di antaranya karena adanya aduan dari PT ITCHI perihal penguasaan lahan HGB oleh pihak-pihak yang dianggap tidak bertanggungjawab. [Istimewa.]
"Di sini kejanggalannya. Sudah diperdakan, jadi desa tapi bermasalah dengan perusahaan. Saya pegang perdanya ini." Sekarang, sejak perusahaan terang-terangan klaim HGB, akses ke kebun warga kini diportal, warga yang kedapatan beraktivitas di lahannya sendiri kerap mendapat larangan oleh perusahaan, mau memperbaiki rumah pun tak bisa.
Klaim lahan yang dilakukan perusahaan hingga berujung pada upaya kriminalisasi membuat hidup warga Desa Telemow jadi tak tenang. Masa depan yang tak menawarkan kepastian makin diperburuk dengan kondisi yang terjadi di desa beberapa tahun ini. Apakah warga akan terusir kampungnya sendiri? Apakah mereka masih mendapat tempat di antara masifnya pembangunan IKN dan proyek yang tengah direncanakan PT ITCHI. Kegelisahan inilah yang menggelayuti Muna (55), warga lain dari Desa Telemow yang tanahnya masuk klaim PT ITCHI.
"Kami gelisah, seperti tidur itu nggak nyenyak," kata Muna, menggambarkan hari-hari yang terasa gelap ketika PT ITCHI mulai mengklaim tanah milik keluarganya.
Muna menceritakan, tanah yang dimiliki saat ini adalah sisa peninggalan orangtuanya. Tanah itu sudah digarap ayahnya sejak tahun 1940-an. Sejak awal tanah itu digarap hingga kini, Muna mengaku keluarganya tidak pernah berpindah. Selalu menetap di lahan itu.
"Kami tidak pernah pindah dari sini. Orangtua juga tidak pindah kecuali ke kuburan," tegas perempuan yang juga menjabat ketua RT ini.
, salah satu warga desa yang tanahnya masuk dalam klaim HGB PT ICHI. Muna mengaku hidupnya terasa tak tenang sejak klaim HGB itu hadir pada 2017.jpg)
Muna (55), salah satu warga desa yang tanahnya masuk dalam klaim HGB PT ICHI. Muna mengaku hidupnya terasa tak tenang sejak klaim HGB itu hadir pada 2017. Bayang-bayang terusir dari tanah dan kampungnya sendiri terasa begitu mengerikan. [Foto: Kartika Anwar]
Di atas lahan itu, orangtua Muna menanam berbagai tanaman buah-buahan, sayur dan umbi-umbian. Tanam tumbuh semuanya masih terlihat. Tahun 2012, didirikan rumah keluarga miskin (gakin) milik Muna yang hingga kini masih ditempati. Bahkan, sebagian lahan milik keluarganya dihibahkan untuk lahan pembangunan gedung puskesmas dan kantor desa.
Dahulu, warga bebas saja beraktivitas di lahannya sendiri. Entah untuk berkebun atau pembangunan. Tidak ada teguran. Tidak ada yang mengganggu. Warga saling paham batas-batas kepemilikan. Namun semua buyar sejak klaim HGB hadir. Jangankan ingin mendirikan bangunan baru, memperbaiki rumah yang mulai reyot dimakan usia pun bisa berujung teguran perusahaan.
"Rumah saya saja mau runtuh dilarang membangun, dilarang memperbaiki. Asal bunyi palu bangunan langsung didatangi humasnya. Dilarang membangun pokoknya," kesalnya.
Inilah yang menjadi kebingungan warga. Bila PT ITCHI mengklaim lahan warga masuk HGB perusahaan, mengapa baru sekarang disoal. Mengapa setelah 2017. Mengapa tak dari dulu. Padahal, jauh sebelum 2017, pembangunan dan aktivitas di lahan yang diklaim perusahaan sudah terjadi. Ada puskesmas dan kantor desa dibangun, pemukiman warga, perkebunan, rumah gakin. Bahkan, keluarga Muna masih membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan memegang surat keterangan batas wilayah. Logika sederhana warga menilai ini janggal. Sekarang, aktivitas kecil saja mendapat larangan perusahaan, mengapa dulu aktivitas lebih besar dibiarkan.
"Kami punya PBB-nya, kami bayar. Bahkan ketika saya dipanggil ke Polda, saya lihatkan itu semua pembayaran PBB. Makanya kami bingung penyerobotan dari mana," sebut perempuan kelahiran 1969 ini.
Selama menceritakan kisahnya, ada nada lirih dalam suara Muna. Perempuan yang hari-hari bekerja sebagai buruh penghancur batu ini berusaha tegar, berdiri kokoh memperjuangkan hak atas tanahnya, namun tak jarang dia bergulat sendiri dengan keyakinannya. Sampai kapan dia akan kuat? Kendati tak menempuh pendidikan tinggi, Muna paham benar bahwa pihak yang dihadapinya ini bukan sembarangan.
"Kami tidak menuntut apa-apa, kami ini tidak punya uang. Kami cuma memohon agar ini (lahan) dilepaskan. Kalau mau main keras, kan, kami enggak punya uang. Sekarang yang berbicara adalah uang. Kalau kami mau berkeras malah jadi tersangka nanti. Sedangkan enggak keras saja sudah dijadikan tersangka," tandasnya.
Konflik HGB dan Keterasingan Desa Telemow
Kehidupan di Desa Telemow mulanya berjalan baik-baik saja. Warga, yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, pedagang, dan pekerja serabutan, menjalani kehidupan yang tenang, jauh dari kebisingan dan penuh kesederhanaan. Desa yang memiliki luas sekitar 344,65 hektar ini mulanya bagian dari Desa Maridan. Namun pada 2010, Pemkab Penajam Paser Utara memekarkan Desa Maridan, dan memecahnya menjadi 2 desa tambahan; Desa Telemow dan Desa Binuang.
Desa yang terletak sekitar 15 kilometer dari Titik Nol IKN ini juga merupakan satu dari sembilan desa di kawasan Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara yang masuk kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) berdasarkan UU No 3 tahun 2022.

Peta wilayah klaim HGB PT ITCHI Kartika Utama. [Istimewa]
Sebelum ada tumpang tindih klaim lahan, warga bisa membangun rumah dan menanam berbagai tumbuhan di atas tanah warisan keluarga. Sebagian besar perkebunan warga ditanami sawit, kebun karet, tanaman buah-buahan dan sayur-sayuran.
Tak semua dari warga memiliki surat atau legalitas lain yang diakui negara untuk menandai kepemilikan lahan mereka. Dahulu warga hanya merintis, menggarap lahan, tidak begitu peduli dengan legalitas atau surat menyurat yang diakui negara.
Legalitas kala itu belum dianggap penting sebab warga saling paham batas tanah masing-masing orang. Tidak khawatir juga tanah dirampas orang lain. Mengingat, lahan mereka berdampingan dengan keluarga atau kenalannya sendiri. Praktik seperti ini sejatinya umum terjadi di Kalimantan Timur.
Namun, sejak klaim HGB hadir, warga sudah tidak bisa lagi bebas menggarap lahan di kebun. Bila warga kedapatan menggarap atau beraktivitas di lahannya sendiri, petugas bisa datang dan melarang kegiatan itu. Warga juga tak bisa memperbaiki apalagi membangun rumah, karena bila aktivitas itu dilakukan, lagi-lagi petugas perusahaan melarang.
Konflik lahan yang berlarut juga berimbas pada pembangunan desa. Akses utama warga desa, hingga kini belum diaspal. Hanya ada batu kerikil yang disebar di sepanjang jalan untuk menghindari jalan licin, utamanya ketika hujan. Namun di sisi lain, saat siang atau hari sedang panas-panasnya, sepanjang jalan justru berdebu dan membuat desa terlihat kumuh. Sementara Desa Marindan– desa yang berbatasan langsung dengan Desa Telemow– secara infrastruktur lebih bagus, jalanan warga juga diaspal.
Kepala Desa Telemow, Muhammad Munip menjelaskan, pihaknya tak bisa bebas membangun desa karena kerap mendapat teguran dari perusahaan. Contoh sederhana, sepanjang jalan desa, penerangan cukup terbatas. Pihak desa pernah memasang tiang lampu penerangan jalan. Namun perwakilan perusahaan justru mencopot tiang tersebut karena dianggap berada di areal klaim HGB mereka.
Contoh lain, pada 2024 petugas desa merevitalisasi sebuah halte tua milik PT ITCHI. Halte ini sudah puluhan tahun tak difungsikan dan penuh ilalang. Pihak desa membersihkan halte, merapikan, mengecat ulang, lantas menambahkan beberapa pot bunga agar ia terlihat cantik. Ini dilakukan, tak lain, kata Munip, hanya untuk memperbaiki lingkungan desa. Mengingat, posisi halte itu berada di kawasan strategis yang ramai dilalui warga. Ia terletak di simpang tiga jalan, perbatasan Desa Telemow dan Desa Maridan.

Namun ketika perbaikan rampung, halte sudah cantik dan ditanami berbagai tanaman bunga, perwakilan perusahaan justru datang dan menghancurkan semua. Alasannya lagi-lagi sama, tidak boleh ada aktivitas di lahan perusahaan.
"Patoknya kesenggol, mereka merasa itu masih masih HGB perusahaan," katanya.
Tak berhenti di situ, perusahaan rupanya melaporkan Munip ke Polres PPU dengan tuduhan penyerobotan lahan. Bagi Munip, laporan ini aneh dan bagi sejumlah orang, ini merupakan bentuk kriminalisasi.
Munip menjelaskan, bagaimana mungkin ia dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penyerobotan sementara yang ia lakukan hanya membersihkan halte tua. Pembersihan ini tujuannya bukan untuk mengklaim halte jadi miliknya, tapi untuk memperindah lingkungan desa. Luas halte juga tidak seberapa, hanya 4x2 meter.
"Saya nyerobot apa, cuma 4,2 meter itu mau diapain. Yang ada saya rugi, sudah capek-capek dibersihkan, keluar uang untuk perbaikan, malah mereka (perusahaan) bongkar," jelasnya.
Akhir tahun 2024 lalu, Munip mengaku sudah memberi klarifikasi ke kepolisian. Semuanya sudah jelas. Seluruh unsur dalam penyerobotan lahan yakni menjual, menyewakan, dan menggadaikan lahan demi kepentingan pribadi yang dituduhkan padanya tidak terbukti.
"Petugasnya (kepolisian) cuma senyum-senyum saja. Hal kecil dibesar-besarkan. Kata teman-teman Walhi, LBH, bisa jadi ini upaya kriminalisasi," sebutnya.
Munip menambahkan "Mungkin karena mereka lagi merasa superpower. Mau tunjukkan, kades saja bisa dilaporkan, apalagi warga."
Pendamping Hukum Sebut Penangkapan Warga Cacat Prosedur
Selama kasus tumpang tindih klaim lahan antara warga Desa Telemow dan PT ITCHI memanas, ada sejumlah organisasi masyarakat sipil dan perhimpunan advokat yang terlibat dalam pendampingan hukum terhadap warga. Mereka adalah Walhi Kaltim, LBH Samarinda, dan PBH Peradi Balikpapan. Ardiansyah, yang merupakan advokat dari PBH Peradi Balikpapan, cukup aktif dalam pendampingan kasus ini.
Ardiansyah membenarkan bahwa pada 4 Desember 2024 sekitar pukul 16.50 Wita, sejumlah anggota kepolisian dari Polda Kaltim menyambangi kediaman warga di Desa Telemow. Kala itu, mereka datang untuk menangkap tiga warga yakni Saparuddin alias Aco, Hasanuddin, dan Rusdiansyah.
Penangkapan tersebut, sebutnya, merupakan satu rangkaian dari pengembangan kasus dugaan penyerobotan lahan yang dilaporkan PT ITCHI ke Polda Kaltim. Sebelumnya, pada 11 Oktober 2024, Polda Kaltim rupanya telah menetapkan 4 orang tersangka dalam kasus ini.
Beberapa hari setelah penetapan, sekitar tanggal 13 atau 14 Oktober 2024, kepolisian meminta keempat tersangka untuk datang ke Polda Kaltim. Dari empat orang, hanya satu yang datang, tiga lainnya tak memenuhi panggilan polisi.
Tiga orang lainnya, Hasanuddin, Rusdiansyah, dan Saparuddin, tak meyanggupi undangan tersebut bukan karena mereka tak mau atau menghindari panggilan polisi. Namun, karena mereka tidak difasilitasi. Sebab bila mereka harus menempuh perjalanan dari kampungnya di Desa Telemow, PPU ke Polda Kaltim yang terletak di Balikpapan, akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Ini dinilai memberatkan bagi ketiganya.
"Sejak saat itu kan tidak ada proses yang terjadi di Polda. Tapi tiba-tiba di tanggal 4 Desember itu datang mereka (polisi) menjemput paksa, membawa 3 dari 4 tersangka," kata Ardiansyah.
Namun dalam proses penjemputan itu, rupanya kepolisian tidak menyerahkan surat penangkapan ke tersangka atau keluarga. Surat penangkapan justru diberikan ketika proses pemeriksaan dengan status baru, tersangka, baru mau dimulai di Polda Kaltim.

Lingkungan Desa Telemow. [Foto: Muhibar Sobary]
Padahal menurut Ardiansyah, surat penangkapan mestinya diberikan sebelum tersangka dijemput di rumahnya, ini sebagaimana termaktub dalam KUHAP. Pemberian surat penangkapan di awal ini untuk menegaskan status hukum seseorang.
"Setelah dilakukan penjemputan, kami dampingi di Polda. Sekitar jam 9 atau 10 malam. Ketika ditanya baru dikeluarkan surat penangkapan. Walau meunurut kami secara prosedur hukum, normatifnya itu salah," tegasnya.
Ardiansyah menjelaskan, ketiga orang yang ditangkap itu ditetapkan sebagai tersangka penyerobotan lahan HGB PT ITCHI KU. Sementara berdasarkan penuturan warga, mereka menilai tak pernah menyerobot lahan siapa pun. Sebab bila ditarik mundur, melihat sejarah desa, warga yang lebih dulu bermukim di sana, jauh setelahnya baru perusahaan datang.
"Tahun 2017 keluar SHGB PT ITCHI dan di kampung itu dipasang plang-plang. Baru warga sadar tanahnya masuk konsesi ITCHI, padahal sudah turun temurun mereka tinggal di situ," sebutnya.
Namun di sisi lain, status hukum tanah di Desa Telemow seharusnya membuat klaim PT ITCI gugur. Berdasarkan informasi resmi dari Kepala Otorita IKN yang Ardiansyah terima, desa ini masuk dalam delineasi IKN. SK Kementerian Kehutanan tahun 2020 juga menyebutkan lahan yang didiami warga telah ditetapkan sebagai Areal Penggunaan Lain (APL), yang berarti tanah itu telah diambil alih oleh negara untuk kepentingan proyek strategis nasional.
"Jadi kami menganggap SHGB PT ITCHI ini sudah gugur secara hukum," sebutnya. Ardiansyah pun menegaskan, dengan dasar ini pula, tuduhan tersangka penyerobotan lahan dari kepolisian ke warga sudah tidak beralasan.
Berbagai upaya hukum terus diupayakan pendamping hukum agar warga Desa Telemow tak kehilangan hak atas tanahnya. Salah satu hal ditempuh, kata Ardiansyah, pihaknya coba mengadukan langsung persoalan ini ke Kementerian ATR-BPN di Jakarta. Saat itu pihak kementerian menyebut menampung dan akan menindaklanjuti laporan yang disampaikan. Selain itu, Ardiansyah juga mendesak Polda Kaltim mencabut status tersangka yang disematkan ke warga dan menahan kasus ini sampai status HGB PT ITCHI benar-benar klir.
"Sudah tidak relevan lagi disebut penyerobotan lahan, karena lahan itu lahan negara. Karena ada SK Kementerian itu."
Lebih jauh, bila mengacu pada SK Kementerian Kehutanan, tanah yang kini dihuni warga sudah menjadi milik negara sebagai bagian dari proyek IKN, dan seharusnya tidak bisa lagi diklaim oleh PT ITCI. Namun, hingga kini, tidak ada kejelasan dari Kementerian ATR/BPN mengenai status sertifikat tersebut. Jika memang HGB masih tercatat secara legal, maka seharusnya ada mekanisme resmi untuk mencabutnya.
"ATR BPN itu harus koordinasi dengan pemerintah PPU, Kanwil, dan Kementerian ATR/BPN untuk mengeluarkan SHGB yang ada dalam APL untuk areal delineasi IKN. Tidak bisa dibiarkan, karena banyak sekali warga yang ada di situ," bebernya.
Dari persoalan ini, kata Ardiansyah, permintaan warga sejatinya tidak muluk-muluk. Mereka meminta negara mengakui hak atas tanah yang sudah secara turun temurun mereka tempati. Beberapa warga bahkan ada mengantongi surat keterangan tanah (SKT) yang dikeluarkan pemerintah setempat.
"Ini juga jadi soal. Kami anggap Polda kriminalisasi warga karena ini sebenarnya hukum perdata yang dikedepankan. Warga tidak ucuk-ucuk menyerobot, mereka punya alas hak, sudah turun temurun di situ," tandasnya.
Siapa PT ITCHI?
PT International Timber International (ITCHI) Kartika Utama adalah perusahaan pengolahan kayu yang dulunya memperoleh hak pengelolaan atas hutan (HPH) seluas 173 ribu hektare. Izin ini diperoleh pada masa Orde Baru. Secara administratif, perusahaan ini terletak di dua lokasi; Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Tapi, lokasi paling besar berada di PPU.
Dikutip dari Kaltimkece.id, awal tahun 2000-an perusahaan ini mulai mengalami kemunduran. Hampir semua pekerja dirumahkan. Keuangan perusahaan yang tidak baik disebut-sebut jadi alasan pemutusan kerja ini. Perusahaan disebut berhenti beroperasi beberapa tahun setelahnya. Sebagian karyawan statusnya digantung. Tuntutan pesangon mencuat, yang akhirnya dibayarkan beberapa tahun kemudian. Dalam kondisi mati suri inilah, kepemilikan perusahaan beralih kepada Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto.
Aktivitas perusahaan kembali meningkat setelah pemerintah menetapkan Penajam Paser Utara sebagai lokasi IKN, meskipun warga menyatakan bahwa sebelumnya mereka jarang melihat aktivitas perusahaan di lokasi tersebut. Area klaim HGB PT ITCHI masuk dalam delinasi IKN.
Adapun berdasar penelusuran, PT ITCHI Kartika Utama kini berada di bawah payung Arsari Group. Arsari Group merupakan konglomerasi bisnis milik Hashim Djojohadikusumo yang menjalankan bisnis di berbagai bidang, seperti di perbankan, agribisnis, perkebunan karet, penambangan timah, pengembangan energi terbarukan, dan pengembangan teknologi pemanfaatan tenaga air.
Arsari Group tercatat memiliki dua entitas lainnya, yaitu Arsari Enviro Industri, dan Arsari Tambang. Arsari Tambang menjalankan aktivitas eksplorasi, eksploitasi, penambangan, pemrosesan, peleburan, pemurnian, penjualan, dan ekspor timah di wilayah kepulauan Bangka Belitung. Arsari Tambang berdiri sejak 2011, dan kini memiliki empat anak usaha timah terintegrasi melalui PT Mitra Stania Prima, PT Mitra Stania Kemingking, PT Mitra Stania Bemban, dan PT Aega Prima. Sementara itu, tidak banyak yang diketahui mengenai Arsari Enviro Industri. Laman resmi dari Arsari Enviro Industri tercatat tengah berada dalam proses pemeliharaan hingga saat ini.
Sementara di Kalimantan Timur, konglomerasi bisnis ini memiliki dua anak perusahaan, yakni yakni PT Kiani Lestari yang bergerak di bidang kehutanan, terletak di Kabupaten Berau, dan PT ITCHI Kartika Utama. Untuk PT ITCHI Kartika Utama, perusahaan yang kini berkonflik dengan warga Desa Telemow, sebagian besar sahamnya dikuasai keluarga dan orang-orang kepercayaan Hashim. Nama mereka pun menempati posisi strategis di perusahaan ini.
Berdasarkan profil perseroan yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum AHU-AH.01.09.0254071, nama Hashim Djojohadikusumo menduduki posisi direktur. Adik dari Prabowo Subianto ini memang merupakan sosok sentral di balik Arsari Group. Konglomerasi bisnis Arsari mengelola proyek-proyek besar, termasuk ekspor solder melalui pabrik di Batam dan perdagangan gandum melalui Harvest serta Comexindo International.
Nama Hashim Djojohadikusumo memang dikenal sebagai pengusaha ulung di Indonesia. Aktivitas bisnisnya banyak dikaitkan dengan perusahaan-perusahaan seperti PT Arahaya Intan, PT Bali Pasifik Investama, dan PT Petro Nusa Industri, yang melibatkan keluarga dekatnya, termasuk putrinya Sitie Indrawati Djojohadikusumo, dalam posisi strategis.
Selain dikenal sebagai pengusaha, Hashim juga terlibat dalam aktivitas politik Partai Gerindra. Di partai itu, ia menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina. Hashim diketahui banyak berperan dalam menyokong finansial dan strategi partai. Sebagai pendukung utama Prabowo Subianto dalam kontestasi politik, Hashim melibatkan jaringan internasional untuk menggalang dukungan, termasuk menyewa perusahaan lobi di Amerika Serikat pada 2014.
Namun perjalanan karir Hashim tak selalu mulus. Hashim pernah mendapat sorotan karena diduga menghindari pajak sebesar USD154 juta (Rp2,4 triliun) di Swiss. Dokumen pengadilan Swiss pada Januari 2021 mengungkapkan bahwa Hashim mengklaim bangkrut akibat mendanai kampanye pemilu dan usaha bisnis Prabowo. Namun pengadilan memutus Hashim gagal membuktikan dirinya telah menyumbang USD420 juta kepada sang kakak.
Nama selanjutnya yang terafiliasi dengan PT ITCHI ialah Aryo Puspito Setiaki Djojohadikusumo. Anak kandung Hashim, sekaligus keponakan Presiden Prabowo Subianto ini menduduki posisi sebagai wakil direktur utama PT ITCHI. Keterlibatan Aryo dalam beberapa perusahaan di bawah naungan Arsari Group, konglomerasi yang dimiliki ayahnya, memang sudah lama terdengar.
Selain terlibat di bisnis keluarga, Aryo juga tercatat pernah menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2014-2019 dari Partai Gerindra. Selain perannya di legislatif, Aryo juga dikenal sebagai pendiri Tunas Indonesia Raya (TIDAR), organisasi sayap pemuda Partai Gerindra.
Nama lain yang menduduki posisi strategis di PT ITCHI ialah Bambang Sjamsuridzal Atmadja. Pria yang lahir pada 17 Oktober 1950 ini adalah seorang profesional senior yang memegang peran penting dalam struktur manajemen Arsari Group. Berdasarkan data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Bambang menjabat sebagai Direktur di PT Arsari Tambang, sebuah entitas di bawah naungan Arsari Group yang bergerak di sektor pertambangan.
Di PT ITCHI, Bambang menduduki poisisi direktur. Peran yang sama juga ia duduki di PT Arsari Tambang. Ini kemudian menempatkannya dalam posisi strategis untuk mengawasi operasional perusahaan, termasuk proyek-proyek pertambangan yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Keterlibatannya mencakup pengawasan terhadap aktivitas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, yang menjadi fokus utama bisnis Arsari Group.
Selain perannya di PT Arsari Tambang, Bambang juga menjabat sebagai Komisaris di PT Cahaya Intan, sebuah perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki oleh PT Arsari Pratama dan Hashim Djojohadikusumo. Di perusahaan ini, posisi Direktur dipegang oleh Sitie Indrawati Djojohadikusumo, anak dari Hashim.
Kedekatan Bambang dengan keluarga Djojohadikusumo tercermin dari kepercayaannya dalam mengelola perusahaan-perusahaan kunci di bawah Arsari Group. Selain itu, struktur manajemen PT Arsari Tambang menunjukkan adanya kolaborasi erat antara profesional seperti Bambang dan anggota keluarga Djojohadikusumo, seperti Aryo Djojohadikusumo yang menjabat sebagai Direktur Utama, serta A.S. Kobalen sebagai Komisaris.
Nama lain yang ditempatkan Hashim dalam PT ITCHI adalah Sitie Indrawati Djojohadikusumo. Lahir pada 24 November 1991, Sitie merupakan putri kandung Hashim Djojohadikusumo. Dengan alamat terdaftar di The Plaza Residences 35 D, Jakarta, Sitie telah mengambil peran strategis dalam grup bisnis keluarganya, terutama di Arsari Group.
Sebagai generasi muda dalam keluarga Djojohadikusumo, Sitie telah diberi tanggung jawab penting dalam berbagai perusahaan keluarga. Ia diketahui menjabat sebagai Komisaris Utama di beberapa entitas strategis di bawah naungan Arsari Group. Selain itu, Sitie juga terdaftar sebagai direktur di PT Arsari Pratama, salah satu perusahaan utama dalam jaringan grup tersebut, yang memiliki fokus pada sektor kehutanan, tambang, dan energi.
Kedekatan Sitie dengan Hashim dan Prabowo tidak hanya mencerminkan posisi strategisnya dalam bisnis keluarga, tetapi juga menunjukkan peran generasi muda dalam melanjutkan pengaruh ekonomi dan politik keluarga ini. Sebagai Komisaris Utama, Sitie memiliki wewenang untuk mengawasi jalannya perusahaan dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil selaras dengan visi strategis keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatannya bukan hanya simbolik, tetapi memiliki dampak nyata dalam menjalankan bisnis keluarga.
Penelusuran sumber terbuka, nama Sitie juga sering dikaitkan dengan berbagai perusahaan lain yang memiliki keterkaitan dengan keluarga Djojohadikusumo. Salah satunya adalah PT ITCI Kartika Utama, yang terhubung dengan Arsari Group dan memiliki hubungan historis dengan Hashim Djojohadikusumo. Perusahaan ini diketahui berperan dalam pengelolaan kehutanan di Kalimantan dan sering kali menjadi sorotan karena kaitannya dengan politik nasional. Meskipun tidak ada bukti langsung yang menunjukkan bahwa Sitie terlibat secara operasional di PT ITCI Kartika Utama, posisi strategisnya di grup bisnis keluarga memberi indikasi adanya koordinasi antara entitas-entitas di bawah naungan keluarga.
Caplok Lahan Warga, HGB PT ITCHI untuk Apa?
Sejumlah warga mempertanyakan peruntukan konsesi HGB PT ITHCI di Desa Telemow, karena di lahan tersebut mereka melihat aktivitas yang terlihat hanya berupa penanaman pohon sengon. Ini dinilai bertentangan dengan peruntukkan izin HGB yang dipegang.
Minimnya informasi peruntukkan lahan, semua berakar dari sulitnya memperoleh salinan dokumen HGB. Warga bahkan sampai harus mengajukan sengketa informasi ke KI untuk memperoleh dokumen ini. Kendati belakangan, ATR-BPN Kaltim kekeh enggan memberikan. Alasannya klasik: permohonan informasi yang diminta termasuk dokumen dikecualikan.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim, Fathur Roziqin Fen mengatakan, pencaplokan lahan warga Desa Telemow sarat akan kepentingan bisnis Hashim dan kelompoknya. Salah satu yang mengemuka, lokasi HGB diduga bakal digunakan sebagai lokasi pengembangan pusat suaka orangutan (PSO).
Dugaan pemanfaatan konsesi HGB untuk PSO datang dari rentetan kejadian yang terjadi di Desa Telemow. Pada 2020, setelah IKN diumumkan, kata Fathul Roziqin Fen, Hashim mulai melakukan pengukuran ulang lahan di sekitar Desa Telemow. Pengukuran ini dilakukan, karena mereka mengklaim telah mengantongi perpanjangan HGB pada 2017. Setelah penandatangan itu, berbagai upaya kriminalisasi semakin kerap menghampiri warga.
"Kami tidak peduli ITCHI mau ngapain. Intinya, mereka berhenti serobot lahan warga," tegas pria yang akrab disapa Iqin ini. Setelah caplok mencaplok lahan dan upaya kriminalisasi dilakukan, pada 2023 Otorita IKN (OIKN) melakukan penandatangan nota kesepahaman (MoU) dengan Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD) tentang konservasi orangutan dengan membangun PSO. Penandatangan MoU ini disaksikan langsung Kepala OIKN kala itu, Bambang Susantono dan CEO Arsari Group, Hashim Djojohadikusumo.

Melalui keterangan tertulisnya, yang dibagikan di laman resmi, YAD mengklaim PSO ini bertujuan untuk menyediakan tempat perlindungan bagi orangutan jantan dewasa dengan fasilitas dan sistem pengelolaan yang mematuhi kaidah kesejahteraan hewan. Proyek PSO ini juga ditargetkan untuk mendukung konsep forest city yang dicanangkan IKN.
Namun, Iqin mempertanyakan transparansi proyek PSO ini, terutama terkait kemungkinan adanya aspek bisnis di dalamnya. Menurutnya, entitas bisnis seperti Arsari Group nyaris tak mungkin beraktivitas tanpa ada tujuan komersil. Terlebih, pelestarian alam, pengembangan kawasan khusus orangutan, membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
"Ingat yah, sebuah yayasan bisnis seperti Arsari Group itu enggak mungkin murni konservasi. Yang mereka bikin itu bisnis," sebutnya. Kecurigaan bisnis berbalut konservasi alam ini menguat, tatkala Hashim datang ke Konferensi Iklim COP29 di Azerbaijan pada November 2024, namun lebih banyak bicara terkait bisnis Arsari Group.

Dilansir dari laporan Tempo, Ketua Delegasi Indonesia Utusan Khusus Presiden Prabowo Subianto untuk COP 29, Hashim Djojohadikusumo, di Paviliun Indonesia pada perhelatan COP 29 di Azerbaijan, 12 November 2024. [Istimewa]
Pada November 2024 lalu, Hashim Djojohadikusumo diketahui menghadiri Konferensi Perubahan Iklim Pererikatan Bangsa-Bangsa Ke-29 atau The 29th Conference of the Parties (COP29) di Baku, Azerbaijan. Kala itu, Hashim memperkenalkan diri sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia dan Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi.
Dilansir dari Tempo, di ruangan khusus untuk Indonesia di konferensi itu, Hashim banyak memamerkan kerja korporasinya, Arsari Group, dalam bisnis berkelanjutan. Diskusi tersebut rupanya juga menghadirkan teman baiknya, Willie Smits, pria keturunan Belanda yang menjadi saintis sekaligus pendiri organisasi nirlaba Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), Gibbon Foundation, dan Masarang Foundation.
"Ini terkonfirmasi dengan kerjaan Hashim di Azerbaijan sebagai Ketua Delegasi Indonesia yang merundingkan pembiayaan iklim di perundingan COP," tegasnya, Iqin menambahkan "Larinya ke sana semua. Jadi kalau ditarik kesimpulan sementara, juga dengan melihat kondisi di lapangan, ya ini bisnis."
Jawaban Pemerintah
Persoalan tumpang tindih klaim lahan ini bermula dari keberadaan Hak Guna Bangunan (HGB) PT ITCI di atas lahan yang selama ini dihuni oleh warga secara turun-temurun. Berdasarkan informasi yang diterima dari pihak ATR/BPN PPU, HGB PT ITCI awalnya terbit pada 7 Juli 1994 dengan luas 4.252.781 m² di Kelurahan Maridan, yang kemudian dibagi menjadi 344,65 hektare di Maridan dan 83,55 hektare di Telemow.
Sertifikat HGB mestinya berakhir 7 Juli 2016, tetapi PT ITCI mengajukan perpanjangan sejak tahun 2014. Permintaan perpanjangan itu kemudian disetujui Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN pada 18 Mei 2017. Durasinya, 20 tahun atau hingga 2037.
Sebelum perpanjangan HGB, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kaltim disebut telah melakukan pemeriksaan lapangan. Dari hasil amatan di lapangan, mereka melihat bahwa PT ITCHI masih memiliki perumahan karyawan, kantor, dan fasilitas lain penunjang perusahaan. Ini kemudian membuat HGB masih berlaku.
Kemudian terkait polemik HGB PT ITCHI, Kepala Kantor ATR-BPN PPU, Zulkhoir, menyebut proses perpanjangan dilakukan berdasarkan evaluasi lapangan, sudah sesuai prosedur.
“Namanya pembaharuan itu kami melakukan pengukuran lagi kemudian ada pemeriksaan tanah, tetapi pakai konstatasi dua orang saja. Dievaluasi lagi, siapa tahu fisiknya ada perubahan, itulah yang diukur, misalnya ada perubahan yah dipotong. Biasanya begitu sih. Biasanya HGB itu 20 tahun perubahan fisik itu pasti ada. Tetapi enggak ada perubahan mereka, karena masih ada mes dan lainnya,” katanya.
Namun, keabsahan HGB PT ITCI mulai dipertanyakan karena adanya SK Kementerian Kehutanan tahun 2020 yang menetapkan Desa Telemow sebagai bagian dari Areal Penggunaan Lain (APL), yang artinya lahan tersebut telah ditetapkan sebagai tanah negara dalam delineasi IKN. Dengan status ini, seharusnya seluruh hak guna yang ada di atasnya otomatis gugur.
Pihak ATR/BPN PPU sendiri mengakui bahwa mereka hanya bertanggung jawab dalam penerbitan sertifikat HGB, sementara kewenangan atas pemanfaatan tanah berada di tangan pemegang haknya.
“Kemudian untuk pemanfaatan atau penggunaan di lapangan kita hanya sebatas penerbitan haknya, kemudian pemanfaatannya diserahkan ke pengguna ataupun pemilik sertifikat,” jelas Zulkhoir.
Ia juga menegaskan bahwa sertifikat yang telah diterbitkan tidak disimpan oleh ATR/BPN, melainkan hanya dicetak satu kali dan diberikan langsung kepada pemiliknya.
“Sertifikat pun enggak dipegang ATR/BPN PPU, sertifikat kita hanya terbitkan cuma satu dan kita berikan ke pemilik. Jadi kita cuma megang data,” tambahnya.
HGB PT ITCHI Diduga Terbit di "Ruang Gelap"
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, Fathul Huda Wiyashadi, menyebut konsesi HGB PT ITCHI diduga terbit di ruang gelap alias cacat secara prosedural. Kecurigaan ini muncul dari minimnya transparansi pemerintah dan perusahaan terkait HGB, baik dalam proses perpanjangan, evaluasi, maupun penunjukkan isi dokumen. Hingga, berbagai pelanggaran yang dilakukan perusahaan selama mengantongi HGB.
Fathul menjelaskan, penggunaan atau penguasaan HGB sejatinya secara rutin terus dievaluasi. Sebab, evaluasi ini menjadi dasar bagi pemerintah untuk memutuskan, apakah penguasaan HGB entitas tertentu layak dilanjutkan, tidak layak, atau bahkan mesti dicabut di tengah jalan– bila tak sesuai peruntukkan.
Hal ini bisa dilihat dari dua regulasi yang diterbitkan pemerintah. Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 tahun 2021 tentang Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah serta Peraturan Menteri (Permen) ATR-BPN tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan Atas Tanah.
Namun, dalam kasus PT ITCHI, evaluasi penggunaan HGB tak jelas. Tidak pernah ada pihak yang membuktikan, menunjukkan, atau menjelaskan evaluasi penggunaan HGB. Dokumen evaluasinya pun tak ada. Ujug-ujug, PT ITCHI bisa mendapat perpanjangan HGB pada 2017 silam.
"Evaluasinya mana, dokumen evaluasinya mana, tidak ada semua," kata Fathul.

Kecurigaan soal ganjinya proses perpanjangan HGB PT ITCHI makin menguat berdasarkan hasil fakta persidangan pada 2024 lalu. Kala itu, dalam sidang sengketa informasi yang diajukan Yudi Saputra, warga Desa Telemow, di Komisi Informasi Kaltim terhadap ATR-BPN Kaltim, terungkap fakta bahwa sebelum perpanjangan HGB, rupanya tidak pernah dilakukan pengukuran ulang di lapangan. Yang dilakukan sebelum perpanjangan HGB, kata saksi dari pemerintahan yang dihadirkan, perwakilan ATR-BPN dan PT ITCHI hanya menunjuk patok. Selain itu, warga setempat juga tidak pernah dimintai tanda tangan terkait pengukuran. Padahal, ini merupakan hal wajib dilakukan sebelum memutuskan apakah HGB layak diperpanjang atau tidak.
"Pengukuran tidak ada. Tetangga kanan kiri kami tanyakan gimana, pernah tidak diminta tandatangan soal pengkuran ini, ternyata tidak ada. Jadi, kami menduga ini cacat secara formil," tegasnya.
Selain diduga cacat secara formil, Fathul menyebut perusahaan juga melanggar aturan yang termaktub dalam PP 18 Tahun 2021. Berdasarkan regulasi tersebut, katanya, mestinya perusahaan segera memfungsikan lahan sebagaimana peruntukannya. Karena yang dikantongi adalah HGB, maka seperti namanya, mestinya perusahaan mendirikan bangunan di lahan yang dipegang izinnya. Dan ini sudah harus dilakukan maksimal 2 tahun setelah izin dikantongi. Bila tidak, menteri bisa mencabut konsesi HGB yang dipegang perusahaan.
"Fakta lapangan, kan, tidak ada bangunan yang didirikan perusahaan. Mereka justru menanam pohon sengon. Ini jelas melenceng dari peruntukan HGB yang telah diterbitkan," tegas Fathul.
Atas berbagai kecurigaan ini, pada Oktober 2024, Saparuddin, seorang warga Desa Telemow, bersama organisasi masyarakat sipil, mengadukan dugaan cacat administrasi HGB PT ITCHI ke Ombudsman RI. Namun hingga 2025, belum ada kejelasan, kapan atau apakah laporan ini akan diproses atau tidak.
"Baru aduan yang masuk, belum diproses Ombudsman RI. Kalau melihat dari segi politiknya, perlu dipertanyakan, sepertinya Ombudsman takut juga ini," tegas Fathul.
Dia menambahkan "Patut diduga, berarti tanah ini, surat HGB ini bermasalah. Kami asumsikan begitu."
Selain berbagai pelanggaran dan dugaan cacat administrasi dalam proses perpanjangan HGB PT ITCHI, sulitnya memperoleh salinan dokumen HGB semakin membuat warga dan organisasi masyarakat sipil yang mendampingi kasus ini curiga. Sulitnya memperoleh dokumen ini diduga kuat sebagai upaya untuk menutupi berbagai kejanggalan dalam HGB.
Berdasarkan hasil sidang sengketa informasi di KI Kaltim, warga mestinya diperkenankan memperoleh salinan HGB PT ITCHI. Namun ATR-BPN Kaltim menolak, dan mengajukan banding ke PTUN. Yang juntrungnya, menolak permintaan warga. Alasan dokumen tak diberikan, karena HGB PT ITCHI dianggap sebagai dokumen yang dikecualikan. Putusan ini berdasar pada Permen ATR-BPN Nomor 18 tahun 2021. Di sana, ada disebutkan daftar dokumen yang dikecualikan, termasuk HGB.
Namun menurut Fathul, untuk membuktikan dokumen itu dikecualikan atau tidak, mestinya dilakukan uji konsekuensi. Nyatanya sampai saat ini dokumen hasil uji konsekuensi nihil, argumentasinya pun pernah dipaparkan.
"Sebenarnya ini juga aturannya ngawur. Kok, ujug-ujug ada di Permen," tegasnya.
Fathul menjelaskan, memang ada beberapa dokumen yang dikecualikan, tidak bisa diakses terbuka oleh publik, sebab ini terkait dengan kedaulatan negara. Berdasarkan UU Keterbukaan Informasi, dokumen yang dirahasiakan misalnya yang membahayakan rahasia negara, penting bagi negara, atau dokumen pertahanan.
Tidak ada masalah bila dokumen yang terkait dengan rahasia dan pertahanan negara dikecualikan. Namun mestinya, ini tak berlaku untuk dokumen HGB. Selama ini pemerintah berdalih, tak memberi dokumen HGB dengan alasan persaingan usaha tidak salah. Menurut Fathul itu bukan legal standing pemerintah, karena urusan usaha tidak sehat atau tidak menjadi urusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. (KPPU).
"Jadi sebenarnya, dari segi informasi saja sudah dihalang-halangi. Padahal menurut hemat kami, yang dikecualikan itu bersifat privat (kepentingan bisnis/korporat), entah itu SHM atau HGB. Alasannya karena tanah negara. Justru dalam konteks PT ITCHI, karena ini tanah negara, artinya ini dokumen terbuka untuk publik. Publik berhak mengetahui," tandasnya.
Perusahaan Enggan Berkomentar
Minimnya keterbukaan PT ITCHI Kartika Utama dalam kasus dugaan penyerobotan lahan warga Desa Telemow juga tergambar dari sulitnya meminta konfirmasi perusahaan terkait kasus ini. Padahal, keterangan perusahaan menjadi sangat penting untuk mengetahui sebenarnya bagaimana sikap mereka terkait tumpang tindih klaim lahan ini. Selain juga, karena kami memastikan keberimbangan berita dan verifikasi sesuai Kode Etik Jurnalistik. Namun hingga laporan ini dibuat, seluruh upaya konfirmasi tidak mendapat tanggapan.
Upaya konfirmasi pertama kami lakukan 22 Januari 2025 dengan menghubungi Humas Arsari Group, Taufiq. Dalam komunikasi tersebut, Taufik menyampaikan bahwa wawancara bisa dilakukan apabila pertanyaan dikirimkan melalui alamat surel resminya. Berdasarkan instruksi itu, kami mengirimkan daftar perntanyaan pada 27 Januari 2025 melalui surel [email protected].
Hingga 31 Januari 2025, tidak ada tanggapan yang diterima dari pihak Arsari Group. Untuk memastikan apakah email telah diterima dan diproses, tim redaksi kembali melakukan upaya konfirmasi langsung kepada Taufik. Namun, upaya ini tidak mendapatkan respon.
Enam hari setelahnya, tepatnya 6 Februari 2025, kami kembali menghubungi Taufiq untuk mengetahui tindaklanjut dari permintaan wawancara dan daftar pertanyaan yang telah kami ajukan. Namun, permintaan itu mendapat penolakan. Alasannya, karena permohonan wawancara yang kami ajukan tak disertai kop surat kelembagaan.
Sesuai dengan informasi yang diberikan, maka pada 6 Januari 2025, tim kami kembali mengirim surat resmi atas nama independen.id. Dalam surat resmi itu, kami mencantumkan daftar pertanyaan yang diajukan untuk memperoleh keterangan dari perusahaan. Namun hingga laporan ini siap terbit, tidak ada jawaban, klarifikasi yang diberikan Arsari Group.
Reportase ini merupakan hasil liputan kolaborasi yang dilakukan oleh sejumlah media. Di antaranya Kaltimtoday.co, Kitamudamedia.com, Independen.id sebagai bagian dari program Mengawasi Proyek Strategis Nasional yang didukung AJI Indonesia dan Kurawal Foundation.
Related Posts
- Perusahaan Dinilai Abaikan Hak Pekerja, Buruh Sawit PT Nala Padma Cadudas di Kutim Mogok Kerja
- Koalisi Dosen Unmul Tolak Konsesi Tambang untuk Perguruan Tinggi
- Harga TBS Sawit di Kaltim Turun akibat Penurunan Harga CPO
- Prabowo Pastikan Pembangunan IKN Berlanjut, Anggarkan Rp 48,8 Triliun hingga 2029
- Bontang Dorong Investasi Berbasis Potensi Lokal, DPMPTSP Tawarkan Sektor Unggulan