Opini

Tragedi Banjir di Indonesia: Alarm Alam dari Dampak Keputusan Politik Tata Kelola Lingkungan yang Buruk

Kaltim Today
03 Desember 2025 10:57
Tragedi Banjir di Indonesia: Alarm Alam dari Dampak Keputusan Politik Tata Kelola Lingkungan yang Buruk

Oleh: Adjie Valeria Christiasih (Mahasiswa Pascasarjana IPB University)

Sudah menjadi rahasia umum bahwasannya tragedi banjir adalah dampak dari deforestasi besar-besaran (pengalihfungsian hutan menjadi proyek ekstraktif: logging/mining/mass tourism/etc, atas nama pertumbuhan ekonomi negara di hadapan dunia internasional). Apalagi deforestasi dilakukan di area yang seharusnya menjadi resapan air hujan seperti hulu sungai, perbukitan dan gunung-gunung.

Namun sayangnya, pemerintah dari pusat hingga daerah tingkat kabupaten/kota sekalipun, ketika ditanya perihal penyebab tragedi banjir maka alasannya yang paling klise yakni pertama adalah curah hujan yang tinggi. Kemudian alasan klise kedua yakni kebiasaan masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Kedua alasan tersebut mengkonstruksi pikiran masyarakat umum di Indonesia agar lekas percaya atas apa yang dituturkan oleh pejabat masa kini perihal tragedi banjir. 

Adapun level alasan yang dinaikkan seperti drainase (parit) sebagai koridor air hujan maupun sanitasi pemukiman yang di-setting selama ini, dianggap terlalu kecil sehingga perlu dilebarkan alias proyek baru seperti pelebaran drainase dimunculkan.

Selain itu, karena informasi mengenai krisis iklim telah sampai kemanapun, ada beberapa pejabat secara serius mengakui kondisi krisis tersebut. Namun, langkah solusi yang mengakar dari penyebab utama krisis iklim seperti berkurangnya area resapan air, kenaikan suhu hingga meningkatnya emisi karbon belum pula diakomodir oleh negara secara sistematis.  

Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak 1 Januari hingga 28 November 2025 tercatat ada 2.942 kejadian banjir di Indonesia1. Dengan mengetahui jumlah tersebut, dan mari kita kembali merenungi dan mencari tau secara lebih mengakar perihal penyebab tragedi banjir di Indonesia: apakah benar alasan utama adalah kebiasaan membuang sampah sembarangan yang menyumbat drainase? Atau curah hujan yang semakin tinggi? Atau, jikalau deforestasi di Indonesia masih berlangsung sedemikian massif berujung krisis iklim skala global, apakah kita sudah memperoleh informasi yang transparan tentang siapa yang mengizinkan pembongkaran hutan di Indonesia dan siapa saja yang memiliki kepentingan atas proyek tersebut? 

Jawaban yang hampir mutakhir atas keadaan itu semua yakni keputusan politik tata kelola lingkungan yang buruk di Indonesia. Keputusan itu terpapar dalam regulasi sedari pusat pemerintahan negara ini, dan semuanya diakibatkan atas ketok palu para pejabat di kantor pemerintahan, baik dalam ranah eksekutif, legislatif hingga yudikatif. Mengingat dalam logika sebab-akibat, maka penyebab banjir adalah bagian dari keputusan politik. Padahal, hujan adalah bentuk pola alam untuk memberi sumber air bagi ekosistem yang ada di bumi. Sehingga, perlu evaluasi secara serius dan secepatnya seperti penghentian deforestasi meskipun merelakan pertumbuhan ekonomi yang masih mengandalkan proyek ekstraktif.

Selain itu, perlu memperhatikan wilayah tangkapan air selain hutan seperti area rawa, gambut, sungai hingga lautan. Kemudian, untuk wilayah hutan yang terlanjur dirusak maupun hilang, maka perlu pemulihan besar-besaran dengan metode penanaman kembali dengan tanaman hutan yang beragam, seperti sedia kala.

Pemulihan alam mesti segera dikerjakan tanpa menunggu tragedi banjir yang lebih besar di masa depan negara, bahkan bumi yang kita huni ini. Adapun hal yang perlu diingat, dalam penyelesaian permasalahan lingkungan, semua itu tidak bisa selesai hanya dalam ruangan (konferensi/FGD/dll.), melainkan juga yang paling eksplisit yakni implementasi di lapangan.

Perlindungan atas wilayah hutan yang tersisa adalah hal yang tak boleh diabaikan di Indonesia. Mengingat sebagian besar wilayah hutan berada dalam lingkar ruang hidup masyarakat adat dari Sabang sampai Merauke.

Adapun hal yang sangat diperlukan yakni proses advokasi lingkungan dan kebudayaan tradisi adat-istiadat di Indonesia demi pengakuan serta perlindungan wilayah hutan adat. Jika hutan adat telah diakomodir seluruhnya untuk diakui selekas mungkin oleh negara, maka masyarakat umum akan menilai itikad baik pemerintah Indonesia.

Oleh sebab itu, merekalah (baca: masyarakat adat) aktor utama dalam mendukung pengelolaan wilayah hutan yang lebih bijak dan berkelanjutan. Selain itu, dengan mengakui dan melindungi maka langkah ini adalah langkah terbaik untuk memitigasi tragedi banjir di Indonesia secara menyeluruh. 

Tahap selanjutnya, yang terpenting lagi yakni proses pemulihan ruang hidup warga: selama dan pasca proyek ekstraktif adalah bagian yang tidak bisa diabaikan. Mengutip rilisan Kementerian Kehutanan RI2: SP.031/HKLN/PPIP/HMS.3/03/2025 yang memperkirakan jumlah luasan dari daratan di Indonesia menggunakan citra satelit Landsat yang disediakan oleh Badan Riset dan Inovasi Indonesia (BRIN) berkisar 187 juta hektar dan hutan yang tersisa yakni 95,5 juta hektar. Dengan demikian, maka lebih dari 80 juta hektar daratan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke perlu pemantauan serius. Khususnya kondisi bentang alam di hulu daerah aliran sungai hingga hilir di garis pesisir yang menampung hutan mangrove seluruh daratan, di lingkar kepulauan Indonesia. 

Kemudian, hal paling umum yakni masih timpangnya perhatian pemerintah antara kota dan desa. Misal area perkotaan saja yang dipantau atas nama proyek peduli lingkungan (seperti yang tercantum dalam UU. No.26, Tahun 2007 tentang aturan ruang terbuka hijau/RTH3 sejumlah 30%). Namun, masih terjadi deforestasi yang massif di wilayah selain perkotaan maka pemulihan ruang hidup masyarakat di Indonesia masih terhitung memiliki PR yang sangatlah besar.

Upaya-upaya pemulihan ruang hidup ini perlu gerakan kolektif tersistematis yang diakomodir pemerintah Indonesia sebagai bentuk kepedulian mengakar atas kondisi sosial-lingkungan di bumi bagian Indonesia. Bukan sekedar simbolik reboisasi, dengan metode penanaman tiap bibit yang tertanam di wilayah tertentu, namun tidak terpantau perawatannya hingga kadar kualitas tanah yang perlu dicek kesuburannya.

Mengingat tidak perlu menunggu alarm alam lanjutan melalui bencana ekologis yang mestinya bisa dimitigasi. Perlindungan sejak dalam regulasi hingga implementasi untuk pergerakan masyarakat yang berbesar hatinya di masing-masing komunitas adalah bagian yang sangat penting di Indonesia.

Tanpa perlindungan, apalagi dihalang-halangi dan dikriminalisasi atas nama pertumbuhan ekonomi negara yang mengandalkan proyek ekstraktif, maka keputusan politik lingkungan di Indonesia masih terhitung buruk dan perlu evaluasi besar-besaran. Secara durasi waktu pun butuh penanganan secepat mungkin agar keadaan bumi bagian Indonesia benar-benar membaik kedepannya.(*)

Sumber refrensi:

  1. Data banjir di Indonesia terbaru per 28 November 2025:  https://databoks.katadata.co.id/lingkungan/statistik/6929073762d6b/banjir-bencana-yang-paling-banyak-terjadi-di-indonesia-per-28-november-2025
  2. Pers Release Kementerian Kehutanan: https://www.kehutanan.go.id/news/article-10
  3. Peraturan BPK tentang RTH 30% https://peraturan.bpk.go.id/details/39908/uu-no-26-tahun-2007

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp 



Berita Lainnya