Balikpapan
Aktivis Peringatkan Pemerintah Terkait Risiko Teknologi Carbon Capture Storage yang Bakal Perparah Krisis Iklim
JAKARTA, Kaltimtoday.co - Beberapa aktivis lingkungan memperingatkan pemerintah untuk tidak menerapkan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilisation and Storage (CCUS) sebagai salah satu upaya menekan emisi gas rumah kaca. Teknologi CCS/CCUS yang melibatkan penangkapan dan penyimpanan karbon dioksida (CO2) dari berbagai sumber industri seperti PLTU batubara, PLTG, industri baja, dan industri migas, dikritik karena potensinya menambah beban lingkungan dan sosial.
Mareta Sari dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim mengkhawatirkan dampak negatif yang mungkin timbul jika teknologi CCS/CCUS diterapkan. Menurutnya, teknologi ini akan memperburuk kondisi masyarakat sekitar yang sudah menderita akibat aktivitas pertambangan seperti polusi dan pencemaran lingkungan.
"Penambahan titik-titik penyimpanan karbon dengan regulasi yang ada saat ini justru akan menambah titik-titik pencemaran, kematian, dan krisis di kawasan masyarakat adat," ungkap Mareta.
Ia juga menyoroti risiko kesehatan yang akan dialami oleh perempuan dan anak-anak yang tinggal di dekat wilayah pertambangan. "Perusahaan akan terus melakukan penggalian dan melipatgandakan operasi, sehingga masyarakat semakin merasakan dampak negatif seperti pencemaran air, tanah, udara, dan kematian," tambahnya.
Situasi di Kaltim, khususnya terkait pertambangan batubara, tidak menunjukkan perbaikan meskipun jumlah izin pertambangan menurun dari 1.404 pada 2018 menjadi 319 pada 2022-2023. "Sejak 2011, ada 49 kematian yang tidak bisa dihentikan, dan dari 80 ribu lubang tambang di Indonesia, 44 ribu ada di Kaltim," jelas Mareta.
Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Dwi Sawung mengungkapkan bahwa teknologi CCS/CCUS sangat kompleks dan mahal. "CCS/CCUS memerlukan alat khusus dan penyimpanan CO2 di lapisan batuan yang stabil selama ratusan atau ribuan tahun. Kebocoran akibat gempa bumi bisa menyebabkan bencana ekologis yang parah," papar Sawung.
Ia menambahkan bahwa lebih murah bagi pemerintah untuk membangun dan mengembangkan energi terbarukan daripada menggunakan teknologi CCS/CCUS. "Desain yang kompleks dan biaya operasional serta perawatan yang mahal membuat CCS/CCUS menjadi solusi yang tidak efisien," katanya.
Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira menegaskan bahwa biaya operasional dan investasi PLTU dengan CCS/CCUS jauh lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik energi fosil atau terbarukan. "Biaya tambahan jika menggunakan CCUS sebesar Rp30,2 juta per kwh, dan meski diperkirakan turun menjadi Rp22,01 juta per kwh pada 2050, tetap mahal," ungkap Bhima.
Bhima juga menjelaskan bahwa penggunaan teknologi CCS/CCUS bisa membebani konsumen dengan tarif listrik yang lebih mahal. "Subsidi energi dari pemerintah akan semakin menyempit karena dialihkan untuk biaya investasi dan operasional CCS/CCUS," katanya.
Ia juga menyebut penerapan CCS/CCUS sebagai taktik penundaan untuk melanggengkan penggunaan energi fosil. "CCS akan meningkatkan konsumsi energi fosil hingga 65 persen pada 2100, menjadikan dunia tidak bebas dari penggunaan energi kotor," jelasnya.
Bhima juga mempertanyakan mengapa pemerintah ingin menerapkan teknologi yang terbukti menimbulkan bencana di negara lain, seperti kebocoran pipa gas CO2 di Mississippi, AS pada 2020 yang menyebabkan evakuasi dan rawat inap.
"Sudah jelas dampaknya, kebocoran pipa CO2. Jika ada yang bilang CCS aman, fakta tidak menunjukkan itu," tegas Bhima.
Ia menekankan bahwa risiko ini harus diperhitungkan oleh pemerintah sebelum memberikan kerangka hukum regulasi. "Apakah sudah dihitung dampaknya jika terjadi kebocoran yang menimbulkan korban di masyarakat sekitar? Pemerintah harus menjawab ini," pungkasnya.
[TOS | VOA INDONESIA]
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Sambut Kemerdekaan RI, Puan Lestari Jadi Forum Penggerak Perempuan untuk Lawan Krisis IklimĀ
- 63 Walikota Berkumpul di Jakarta untuk Percepat Pembangunan Berkelanjutan
- IESR: Mempertahankan Batubara Meningkatkan Risiko Kerugian Ekonomi di ASEAN
- AJI Gelar Kongres XII di Palembang, Bahas Tantangan Pers di Era Digital hingga Krisis Iklim
- 4 Prinsip Penanganan Krisis Iklim