Daerah

Bangkit dari Keterpurukan, Berkat Jadi Ojol

Kaltim Today
08 Juli 2025 16:50
Bangkit dari Keterpurukan, Berkat Jadi Ojol
Seorang driver ojek online menunjukkan semangatnya saat bersiap mengantar penumpang. Bagi banyak warga, profesi ini menjadi sumber penghidupan yang penuh makna di tengah tantangan ekonomi. (Istimewa)

BALIKPAPAN, Kaltimtoday.co - Di tengah panasnya aspal dan lalu lintas yang kadang tidak bersahabat, tiga pria berdiri tegak di atas roda dua mereka. Mereka bukan sekadar pengantar makanan atau penumpang. Mereka adalah tulang punggung keluarga, pejuang ekonomi, dan saksi hidup bagaimana teknologi membuka peluang saat pintu-pintu lain tertutup.

Rudi (38), pria kelahiran Balikpapan, masih mengingat hari ketika ia kehilangan pekerjaan tetap di sebuah perusahaan tambang. Dengan dua anak yang masih sekolah dan cicilan rumah yang belum lunas, ia mencoba melamar ke lebih dari lima perusahaan—semuanya menolak. Alasannya? Usia dan latar belakang pendidikan.

“Rasanya malu, tapi saya harus tetap jalan. Waktu itu saya coba daftar ojol, dan dalam seminggu langsung aktif,” kenang Rudi.

“Itu pertama kali saya merasa dianggap lagi sebagai orang yang mampu,” sambung Rudi.

Kini, Rudi bekerja dari pukul 06.00 hingga 17.30 setiap hari. Pendapatan bersihnya berkisar antara Rp240.000 hingga Rp310.000 per hari. Baginya, menjadi mitra ojek online bukan hanya tentang mencari uang, tetapi bentuk syukur dan perjuangan demi keluarganya.

“Saya tahu kerjaan ini capek, kadang hujan, kadang panas. Tapi saya merasa dihargai. Ada penghasilan, ada bonus, dan saya nggak perlu lagi nunggu panggilan kerja yang belum tentu datang,” ujarnya.

Sementara itu, Arman (32) memulai perjalanan sebagai driver ojol setelah istrinya mengalami keguguran karena tekanan ekonomi. Sebelumnya ia bekerja serabutan, mulai dari buruh pasar hingga satpam. Namun tak satu pun pekerjaan itu memberi penghasilan yang pasti.

“Saya daftar ojol karena lihat tetangga bisa bawa pulang uang tiap hari. Nggak kaya, tapi cukup buat makan dan cicilan motor,” katanya.

Kini, Arman menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Setiap hari ia mengantar makanan dan penumpang dengan satu tekad: agar ibu dan istrinya melihat bahwa ia tidak menyerah.

“Saya ingin mereka bangga. Mungkin saya nggak kerja kantoran, tapi saya kerja jujur dan halal,” ungkap Arman.

Lain halnya dengan Dede (29) asal Samarinda. Sebelum menjadi ojol, ia adalah tukang ojek pangkalan dengan penghasilan yang tak menentu. Kadang, dalam sehari, ia hanya membawa pulang Rp30.000. Pendidikan pun menjadi penghalang utama.

“Saya nggak punya ijazah SMA. Siapa juga yang mau terima saya kerja di kantor?” kata Dede sambil tersenyum getir.

Kini, dengan sistem aplikasi ojol yang memungkinkan dia menawar tarif langsung dengan penumpang, Dede merasa lebih bebas mengatur waktu dan bisa menyisihkan uang untuk masa depan.

“Bulan lalu saya beli motor sendiri. Kredit sih, tapi atas nama saya. Buat saya, itu pencapaian besar,” ungkap Dede.

Meski menggunakan aplikasi berbeda dan berasal dari latar yang beragam, ketiganya memiliki benang merah yang sama: rasa syukur atas peluang yang tersedia hari ini. Di tengah stigma, tekanan, dan tuntutan, mereka membuktikan bahwa pekerjaan apa pun bisa menjadi sumber harga diri—asal dijalankan dengan hati.

Beberapa waktu lalu, Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Seno Aji, menyuarakan aspirasi para driver ojol terkait promo berbayar, mitra jarak dekat, dan tarif aplikator yang masih di bawah ketentuan regulasi. Namun di lapangan, suara mereka kerap tak terdengar. Ketiganya berharap agar perubahan kebijakan tidak semakin mempersulit masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan ini.

[TOS]



Berita Lainnya