Opini
Imunitas Penjaga Lingkungan
Oleh: Ali Kusno (Widyabasa, Kepakaran Linguistik Forensik Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Timur)
"Bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak untuk keserakahan," Mahatma Gandhi.
Kutipan itu relevan untuk kondisi saat ini. Bencana alam di Sumatra rupanya telah menampar kita. Dalam konteks Kaltim, kita tengok saja kejadian di Kutai Timur, hujan ekstrem memicu banjir di tiga kecamatan (Karangan, Muara Wahau, dan Telen). Peristiwa ini, yang bahkan diprediksi akan berlangsung hingga pertengahan 2026. Tidak menutup kemungkinan juga akan terjadi di wilayah lain di Kaltim. Ini alarm keras yang menyingkap kerapuhan ekosistem di Kaltim. Ini bukti bahwa ancaman lingkungan bukan lagi ilusi, melainkan realitas yang merenggut hak masyarakat. Momen ini merupakan titik balik penting.
Isu pelindungan lingkungan telah bertransformasi dari sekadar wacana menjadi urgensi nasional yang menuntut tindakan. Suara publik menggema menyerukan kesadaran lingkungan. Sebuah perlawanan etis terhadap kerusakan. Sejarah pembangunan telah terlalu lama mendiamkan eksploitasi. Menciptakan jurang antara profit korporasi dan keberlangsungan lingkungan. Oleh karena itu, penegakkan hak publik untuk bersuara telah menjadi imperatif moral.
Publik didorong untuk berperan aktif menjaga lingkungan, tidak lagi hanya menjadi penonton. Kesadaran baru ini mendorong masyarakat di berbagai wilayah, termasuk di Kalimantan, untuk berani bersuara dan melaporkan dugaan kerusakan lingkungan. Dalam konteks Kalimantan, masyarakat adat merupakan guru terbaik dalam menjaga alam.
Mereka bukan sekadar penghuni, melainkan penjaga yang terikat secara spiritual dan komunal dengan alam. Sebuah keharmonisan sejak zaman leluhur. Hutan dipandang sebagai ibu kehidupan (mother nature), sumber pangan, obat, dan identitas budaya.
Suara masyarakat adat wajib dilindungi. Ironisnya, masyarakat adat sering menjadi korban penggusuran dan kriminalisasi. Kini, saat perusakan lingkungan masif dilakukan, publik wajib berani bersuara lantang. Ini didasari fakta bahwa dampak kerusakan ekologis pada akhirnya dirasakan masyarakat.
Memang, partisipasi aktif publik dihadapkan dengan ancaman kriminalisasi. Korporasi atau pihak yang merasa dirugikan reputasinya kerap menggunakan hukum sebagai ‘alat’ intimidasi. Strategi ini dikenal sebagai Gugatan Strategis Melawan Partisipasi Publik (GSMPP) atau Strategic Lawsuit Against Public Participation. GSMPP bertujuan membungkam kritik publik dan mengalihkan perhatian dari substansi kerusakan lingkungan itu sendiri.
Satu contoh kasus yang pernah saya analisis dari aspek linguistik forensik, pelaporan tokoh masyarakat terhadap dugaan pencemaran lingkungan kepada instansi pemerintah daerah. Tokoh itu menghadapi risiko tuntutan pidana akibat bahasa yang digunakan dalam surat pengaduan. Kasus ini mengajarkan pentingnya meninjau batas-batas hukum berbicara isu lingkungan melalui perspektif linguistik forensik.
Linguistik forensik membongkar niat dan konteks tuturan kasus itu. Pertama, terkait niat jahat (dolus malus) secara sosiopragmatik, tokoh itu bertindak dalam kapasitasnya sebagai representasi komunitas. Bahasa yang digunakannya adalah tindak tutur pelaporan. Tujuan surat tersebut bersifat direktif, yakni meminta investigasi dan pengawasan resmi. Niat komunikatif ini didasarkan pada kepentingan umum. Tujuan luhur ini secara mutlak menggugurkan unsur ‘sengaja merusak kehormatan’. Niat baik demi pelindungan lingkungan menggugurkan dugaan niat pidana menista.
Kedua, dari perspektif semantik, fakta penggunaan kata kunci seperti ‘diduga’ sangat krusial. Kata ini merujuk pada persangkaan atau praduga yang perlu diverifikasi. Secara linguistik, ini menunjukkan adanya keraguan epistemik. Tokoh itu tidak mengklaim kepastian faktual. Diksi ini melemahkan bobot tuduhan. Klaim diposisikan sebagai informasi awal yang membutuhkan verifikasi, bukan tuduhan final.
Gugurnya unsur pidana berdasarkan analisis Linguistik Forensik ini diperkuat landasan pelindungan hukum. Pelindungan ini dijamin oleh Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal tersebut secara tegas menyatakan, "Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata."
Perlindungan ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 119/PUU-XXIII/2025. Putusan MK tersebut menegaskan bahwa perlindungan ini bersifat absolut, mengakui secara yudisial bahwa perjuangan lingkungan adalah perwujudan ketaatan warga negara terhadap konstitusi. Inilah tugas penegak hukum sebagai penjaga moral lingkungan, menolak setiap upaya GSMPP yang hanya berkedok perlindungan reputasi.
Dalam konteks ini, partisipasi publik perlu dilihat proporsional. Berbagai kritik dan laporan merupakan masukan konstruktif. Partisipasi aktif publik sesungguhnya bentuk pelibatan tata kelola lingkungan. Peran pengawasan didukung oleh masyarakat karena keterbatasan sumber daya pemerintah. Prioritas hukum perlu dialihkan dari pelindungan citra korporasi menjadi pelindungan kepentingan publik. Keberanian publik cerminan dari peran yang seharusnya lebih dominan dilakukan oleh negara.
Untuk ‘keamanan partisipasi publik’ linguistik forensik menawarkan rambu-rambu strategis. Pertama, laporan sebagai tindakan yang didasarkan pada kepentingan umum. Fokus tertuju pada dampak komunal, kerusakan ekosistem, atau potensi kerugian bagi publik. Ini menguatkan unsur niat baik dan menihilkan unsur niat jahat.
Kedua, dalam memilih leksikon, gunakan verba yang menunjukkan ketidakpastian faktual seperti ‘diduga,’ ‘disinyalir,’ atau ‘berdasarkan laporan.’ Hindari bahasa yang tegas dan final. Klaim harus diposisikan sebagai informasi untuk diverifikasi oleh pihak berwenang. Ketiga, saluran komunikasi harus dijaga agar tertutup dan terbatas.
Laporan wajib ditujukan kepada otoritas berwenang yang memiliki fungsi pengawasan, menghindari penyebaran masif. Terakhir, gunakan format dokumen resmi, seperti surat berkop, berstempel, dan beralamat jelas. Ini menguatkan fungsi dokumen sebagai administratif prosedural dan bukan selebaran fitnah.
Dalam konteks media sosial, rambu-rambu linguistik forensik menjadi lebih ketat. Masyarakat harus fokus pada tujuan advokasi dan bukan pada penghinaan pribadi terhadap oknum atau korporasi. Penggunaan bahasa yang tidak netral atau yang bersifat menuduh secara langsung (tanpa kata ‘diduga’) dapat lebih mudah memenuhi unsur publikasi dan niat jahat. Media sosial harus digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan fakta, menyajikan data, dan menyerukan perhatian otoritas, bukan sebagai ruang untuk menghakimi. Risiko hukum tetap tinggi jika publikasi dilakukan tanpa dasar data dan dengan bahasa yang agresif.
Prioritas Pelindungan Partisipasi Publik
Tindakan GSMPP tidak boleh dibiarkan membungkam partisipasi publik. Hukum wajib mengutamakan pelindungan bagi publik. Nilai hak publik jauh melampaui kepentingan reputasi korporasi yang patut diduga merusak lingkungan. Kegagalan menindak GSMPP sama artinya dengan membuka pintu bagi perusakan ekosistem yang tak terpulihkan. Saatnya kita menyadari bahwa menjaga hak bersuara merupakan bentuk mitigasi bencana. Suara publik merupakan perwujudan tanggung jawab sosial, bukan tindak pidana.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp
Related Posts
- DPRD Kaltim Desak Penertiban Aset Tidur, Pemprov Diminta Tegas Ambil Alih dan Optimalkan PAD
- Baharuddin Muin Dorong Peningkatan Kualitas Hidup Warga PPU di Tengah Laju Pembangunan IKN
- BKSDA Aceh Kerahkan Gajah untuk Bersihkan Puing Banjir Bandang di Pidie Jaya
- SMAN 10 Samarinda Genjot Penguatan Manajemen untuk Cetak Siswa Berdaya Saing Global
- BNPB Rilis Update Korban Bencana Sumatera: 929 Tewas, 274 Orang Masih Hilang








