Opini
Jejak Cahaya di Ujung Jalan
Napak tilas pembangunan Vihara Nanasamvara di Bontang

Oleh: Rendy H. Kuncoro, Ketua Panitia Pendirian Vihara Nanasamvara
"Perjalanan seribu mil dimulai dari satu langkah." – Lao Tze
Kutipan bijak ini menggambarkan perjalanan panjang yang penuh perjuangan dalam mewujudkan sebuah mimpi. Mimpi yang lahir dari keyakinan, tumbuh dalam tantangan, dan akhirnya terwujud dengan kebersamaan serta keteguhan hati. Sejarah berdirinya Vihara Nanasamvara adalah kisah tentang harapan, pengorbanan, dan kerja keras umat Buddha di Kota Bontang.
Saya, Rendy Kuncoro, ingin mengisahkan perjalanan ini. Perjalanan yang tak hanya menguras tenaga dan pikiran, tetapi juga air mata. Air mata dari mereka yang berjuang, air mata dari mereka yang berharap, dan air mata kebahagiaan ketika akhirnya tempat ibadah yang didambakan sekian lama dapat berdiri megah.
Saya ingin menggunakan puisi dari Teguh Asha seorang penyair asal indonesia yang karya karya sangat menginspirasi saya dalam menulis, yang tertulis sebagai berikut:
Apakah yang mereka tahu tentang kesedihanku,
bukan rasa sedih yg mereka rasai tapi sedihku yang mereka tidak pahami.
apa yang mereka tau tentang kerinduan,
bukan kerinduan yang mereka rasakan tapi rinduku akan jalanmu.
apa yang mereka tau tentang air mata, wahai pujaanku,
bukan air mata yang mereka teteskan tapi tetes air mata ku yang belum bisa saya persembahkan tempat untuk pujaanku.
yang merupakan penggalan puisi Post Scriptum dari Teguh Asha yang sangat mewakili perasaanku yang tidak bisa saya prosakan.
Awal Sebuah Perjalanan
Dalam ajaran Buddha, terdapat syair indah dari Dhammapada yang mengatakan bahwa pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin dan pikiran adalah pembentuk. Begitu pula dengan perjalanan ini. Langkah-langkah kecil yang diambil dengan niat tulus akan membawa dampak besar dalam kehidupan. Layaknya benih yang tumbuh setelah hujan, langkah-langkah kecil ini perlahan membentuk momentum yang terus berkembang hingga mencapai puncaknya.
Perjalanan spiritual saya dimulai dari sebuah ketidaksengajaan. Saya baru mengenal agama Buddha saat kuliah di Pulau Jawa. Awalnya, keinginan saya sederhana—mencari mata kuliah agama yang mudah agar mendapatkan nilai A. Seorang teman menyarankan saya untuk mengambil mata kuliah agama Buddha. Dengan pemikiran pragmatis, saya pun mengambilnya. Saat itulah saya bertemu dengan dosen saya, Yudha, yang mengajarkan ajaran Buddha dengan penuh kebijaksanaan.

Di situlah saya pertama kali mendengar kata Ehipassiko—"datang, saksikan, rasakan, dan buktikan sendiri." Kata-kata ini terpatri di benak saya dan perlahan membawa saya ke perjalanan spiritual yang lebih dalam. Saya mulai pergi ke vihara, belajar meditasi, membaca kitab Dhamma, dan mendengarkan ceramah Dhamma.
Titik Balik Kehidupan
Pertama kali saya ke Kota Bontang yang waktu itu masih merupakan kota administrasi Bontang sekitar tahun 1996, untuk mengisi libur sekolah sebelum Ujian Nasional. Kota Bontang merupakan kota industri yang dikenal sebagai kota pengolah gas alam di Indonesia dan Pupuk Kaltim penghasil pupuk bagi petani indonesia. Sebagai kota industri, tentunya banyak sekali perantauan yang mengadu nasib di kota ini.
Kota Bontang pada tahun 90-an sangat sepi, tidak seramai sekarang. Status kota administrasi Bontang berubah di akhir tahun 1999, tepatnya tanggal 12 Oktober 1999 menjadi Daerah Otonomi yaitu Kota Bontang disahkan melalui undang undang No 47 tahun 1999. Aku telah jatuh cinta pada Kota “TAMAN” Bontang pada pandangan pertama, pada kuliner khas Bontang dan pulau Beras Basah yang mempunyai air laut yang jernih. Setelah selesai kuliah, saya kembali lagi ke kota Bontang yaitu pada tahun 2002. Kota ini berubah demikian drastis, tak seperti dulu, kini kendaraan lalu lalang, jalan-jalan sudah dua jalur dan perkembangan kota lainnya.
Singkat cerita tahun 2004, saya menikah dengan seorang wanita Buddhist bernama Linli—pintar, cantik, dan multitalenta. Linli adalah seorang Buddhist sejak lahir, dan perbedaan pemahaman kami seringkali memicu perdebatan. Namun, seiring waktu, saya mulai belajar lebih banyak darinya, meskipun ego sebagai kepala keluarga membuat saya enggan mengakui kekalahan dalam perdebatan kami.

Oh iya, dulu jika kami ingin beribadah ke vihara, kami harus ke Samarinda atau Balikpapan. Sebagai pasangan muda yang masih energik, perjalanan jauh tidak pernah menjadi masalah. Sebab kami pikir, kami juga perlu refreshing otak sejenak, mencari hal-hal yang belum tersedia di Bontang, termasuk Vihara.
Saat anak-anak kami lahir pada tahun 2005 dan 2006, tantangan baru muncul. Kami harus menunjukan bagaimana perilaku agama yang akan mereka anut. Sayangnya, di Bontang saat itu tidak ada tenaga pengajar sekolah atau guru agama Buddha, bahkan vihara pun belum berdiri. Saya merasa bagaikan terjebak dalam dilema tanpa solusi. Kemana saya harus mengadu? Apa yang harus saya perbuat?
Namun, dalam ajaran Buddha, kita diajarkan untuk tidak menyerah pada keadaan. Dari sinilah muncul mimpi untuk memiliki tempat ibadah sendiri. Sebuah mimpi yang pada awalnya terasa jauh dari kenyataan.
Langkah Pertama Menuju Perwujudan Mimpi
Saya memulai langkah pertama dengan mendirikan Cetiya Punnabhavana di rumah kami sendiri. Pada tahun 2009, setelah perayaan Imlek, saya bertemu dengan sesama umat Buddha di Bontang: Pavel Brillian Ang, Yenni Suciatmaja, Jeany Angela, Saptono, Anita Sari, ibu Chai lan, keluarga Bapak Samidi serta keluarga ibu Christin dan Bapak Sonny Lesmana. Kami mengadakan puja bakti pertama pada 18 Agustus 2011, pukul 19.00 WITA. Meski sederhana, puja bakti ini menjadi titik awal dari perjalanan besar kami. Mereka semua merupakan penggagas pendirian Vihara Nanasamavara, yang selalu saling menguatkan dan mengingatkan satu sama lainnya.
Kehadiran Ibu Anita Sari, seorang guru agama Buddha, menjadi angin segar bagi kami. Beliau membantu mendidik anak-anak kami sesuai dengan ajaran Buddha. Namun, perjuangan belum selesai. Masalah demi masalah terus bermunculan, seperti ombak yang tak henti menerjang pantai.
Mimpi yang Mulai Tumbuh
Sering kali, setelah puja bakti, kami bercanda dan melontarkan mimpi-mimpi besar. "Kapan kita punya vihara sendiri?" Pertanyaan ini terus bergema di antara kami. Namun, dari sekadar canda, mimpi itu perlahan berubah menjadi tekad.
Peran besar dalam perjalanan ini diberkahi oleh Bhikkhu Sri Subbhapanno MT dan Bhikkhu Adhikusalo MT. Mereka selalu memberikan pencerahan dan keyakinan besar dalam perkembangan agama Buddha di Bontang. Bhikkhu Subbhapanno merupakan seorang bhikkhu yang bervassa Mahavihara Buddha Manggala Balikpapan, yang juga merupakan Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia dan Bhikkhu Adhikusalo yang bervassa di Pusdiklat Kusala Arama di muara badak Samarinda.
Namun, karena aturan Sangha yang ketat, para bhikkhu tidak dapat tinggal lama di rumah-rumah umat. Setiap kunjungan mereka selalu singkat, padat, dan penuh makna, yang merupakan moment untuk merefresh batin kami agar selalu fokus akan kesadaran diri dan pikiran dalam menghadapi problematika kehidupan. Mereka berdua selalu bergantian memberikan dhammadesana, ada banyak bhikkhu yang datang selama periode ini, Bhikkhu Thitthaviriyo yang juga merupakan Sanghanayaka Kalimantan Timur, Bhikkhu Nandaviro, dan bhikkhu-bhikkhu lainnya, yang saya tidak hapal namanya. Mohon saya dimaafkan, oh ya, ada juga Romo Padma, Romo Afan, dan para silacarini juga hadir memberikan wejangan kehidupan. Semua berperan sesuai porsinya.
Peristiwa besar dan penting di dalam sejarah ini yaitu peristiwa penentuan vihara yang akan dibangun dan penentuan nama vihara yang akan dibangunkan. Pada peristiwa ini ada 3 Bhikkhu yang hadir pada saat inisiasi lokasi vihara, yaitu bhikkhu Dhammasubho, bhikkhu Subbhapanno dan bhikkhu Adhikusalo, yang merupakan awal dari percikan api semangat yang selalu kami jaga setiap saat, agar selalu menyala dan membara di hati para umat Buddha Kota Bontang. Peristiwa ini terjadi di tahun 2011, yang tidak pernah terlupakan dalam sejarah perjalanan panjang pendirian vihara ini.
Di sisi lain, Bapak Sonny Lesmana menjadi sosok yang mewujudkan mimpi kami. Beliau dengan penuh kemurahan hati menyediakan lahan terbaik di Kota Bontang, sebuah lokasi bukit yang memiliki pemandangan laut biru yang menawan, diapit oleh dua ikon besar: Pelabuhan PT Pupuk Kaltim dan Pelabuhan PT Badak LNG. Tak hanya itu, beliau juga membangun vihara dengan arsitektur khas Dayak Kalimantan, mencerminkan budaya setempat. Bapak Sonny Lesmana juga merupakan Komisaris Utama PT. Black Bear Resourses Indonesia yang selalu menginspirasi kami dalam perjuangan panjang ini.
Ada satu orang lagi yang sangat berjasa dalam proses ini yaitu Bapak Wali Kota Bontang, Basri Rase. Sosok Wali Kota Bontang yang sangat mendukung dan memberikan izin untuk pembangunan Vihara Nanasamvara. Kota Bontang yang kala itu dipimpin beliau sering disebut sebagai miniatur Indonesia, di mana Kota Bontang memiliki keberagaman suku bangsa, bahasa, dan agama. Oleh karena itu dengan berdirinya Vihara Nanasamvara, melengkapi keberagaman umat beragama di kota Bontang. Vihara yang kami impikan juga merupakan mimpi Bapak Sonny Lesmana sejak menjadi anggota FKUB Kota Bontang di awal tahun 2000, ya hampir 25 tahun kami nantikan.
Bukit lahan tempat berdirinya vihara nanasamvara diberi nama Kompleks Bumi Nusantara Permai, dan vihara ini kami beri nama Vihara Nanasamvara, yang berarti "Pengendalian diri melalui pandangan terang”, nanasamvara merupakan usulan dari ibu Christin yang gemar sekali bermeditasi dan sekali sekali memberikan pencerahan dhammanya, Nanasamvara sendiri merupakan nama seorang bhikkhu sangharaja di thailand, seorang bhikkhu yang lahir pada tanggal 3 oktober 1913 dan wafat pada tanggal 24 oktober 2013, yang mempunyai gelar Somdet Phra Sangharaja Chao Krommaluang Vajirananasamvara yang memiliki nama buddhist suvaddhano, dimana perjuangan dan pelayanan beliau selama hidup di jalan Dhamma, sangat memberikan inspirasi umat buddha di seluruh dunia.
Vihara Nanasamvara ini mempunyai lima orang Bhikkhu STI sebagai Pembina yaitu:
- Bhikkhu Sri Subbhapanno MT,
- Bhikkhu Maha Dhammadhiro, MT,
- Bhikkhu Adhikusalo MT,
- Bhikkhu Thittayanno, MT,
- Bhikkhu Nandaviro, Thera.
dan Ketua Yayasan Nanasamvara Bapak Sonny Lesmana. Semoga dengan adanya dewan Bhikkhu pembina dari Sangha Theravada Indonesia dan bhikkhu bhikkhu STI lainnya ini kelak bisa menghasilkan generasi muda buddhist yang berkarakter, bermoral dan siap membangun negeri Indonesia yang tercinta ini.
Peristiwa besar yang kedua adalah peletakan Batu Pertama yang dihadiri oleh Bapak Walikota Kota Bontang Bapak Basri Rase didampingi Dandim 0908 Letkol Choirul Huda, Kalpores Bontang AKBP Hamam Wahyudi, Pembimas Buddha Kaltim I Gede Astana, Bhikkhu Thittaviriyo, Bhikkhu Nandaviro dan tamu undangan lainnya seperti pejabat Forkopimda, Pejabat Kementerian Agama Kota Bontang, teman teman FKUB Kota Bontang, tanggal 23 februari 2022, tiga tahun yg lalu sejak peletakan yang lalu, mungkinkah ini sebuah kebetulan atau apa, tapi kami mengulang lagi peristiwa yang sama untuk peristiwa besar berikutnya.
Peristiwa ketiga adalah peristiwa yang terjadi pada pertengahan Oktober 2024, dimana sejumlah bhikkhu hadir dalam acara abisekha yaitu acara pemasangan Buddha Rupang di dalam ruang dhammasala. Peristiwa ini juga dihadiri juga Pembimas Agama Buddha Kalimantan Timur beserta staf nya, teman teman FKUB Kota Bontang pada tanggal 15 Oktober 2024.
Peristiwa besar keempat ini, artikel yang saya tulis ini sebagai rangkain acara pengukuhan dan pemberkahan Vihara Nanasamvara yang dilaksanakan pada tanggal 22-23 Februari 2025.
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman FKUB Bontang dan umat Buddha Kota Bontang, Umat Buddha Samarinda dan Balikpapan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas bantuan moral dan material sehingga tercapainya cita cita luhur ini. Semua bergerak dan bekerja sesuai porsi masing-masing hingga bangunan vihara berdiri megah. Semoga jasa-jasa ini terus mengalir seperti air yang tiada henti hingga akhir zaman. Sadhu.
Sebuah Warisan untuk Masa Depan
Perjalanan panjang ini membuktikan bahwa keteguhan hati dan kebersamaan dapat mewujudkan impian. Vihara Nanasamvara bukan sekadar bangunan fisik, tetapi simbol dari perjuangan umat Buddha di Bontang. Ia adalah rumah bagi mereka yang mencari ketenangan, tempat belajar dhamma bagi generasi mendatang, dan saksi bisu dari perjalanan panjang yang penuh makna.
Jejak di Bawah Langit Senja
Di bawah langit senja yang bisu,
kutapaki jalan berbatu,
di mana harapan dan keraguan saling beradu,
mengguratkan luka di jejak langkahku.
Tak semua duka bisa diceritakan,
tak semua tanya bisa dijelaskan.
Kadang, dalam diam yang panjang,
hanya air mata yang mengerti kisah yang tak terucap.
Aku berjalan di antara bayang sendiri,
menyusun doa dari kepingan sunyi.
Satu demi satu, langkah terjal kutempuh,
meski dunia hanya melihat tanpa tahu.
Namun lihatlah, di ujung lorong gulita,
cahaya kecil mulai menyala.
Mungkin ia tak bisa menghapus luka,
tapi cukup untuk membuatku percaya,
bahwa perjuangan ini bukan sia-sia.
Bahwa setiap air mata yang jatuh,
setiap ragu yang mencengkeram,
akan luruh bersama pagi yang datang,
membawa harapan dalam cahaya yang tenang.
Saya berharap, napak tilas ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua bahwa setiap langkah kecil yang kita ambil, setiap doa yang kita panjatkan, dan setiap usaha yang kita lakukan tidak akan pernah sia-sia. Semoga vihara ini menjadi pusat spiritual yang memberi manfaat bagi umat Buddha di Bontang dan sekitarnya, serta menjadi warisan yang akan terus dikenang oleh generasi yang akan datang.
Mohon maaf jika ada kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja di dalam penulisan artikel ini. Semoga semua mahluk berbahagia. Sadhu, sadhu, sadhu.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp
Related Posts
- Bontang Dorong Investasi Berbasis Potensi Lokal, DPMPTSP Tawarkan Sektor Unggulan
- Upaya Dukung Kemandirian Industri Nasional, Pupuk Kaltim Bangun Pabrik Soda Ash Pertama di Bontang
- Tak Ada Sengketa Hasil Pemilihan di MK, Neni-Agus Berpeluang Dilantik Lebih Awal
- Ketua Komisi B Bontang Sebut Lapangan Bessai Berinta Belum Layak Ditarik Retribusi
- Reses di 12 Lokasi, Shemmy Komitmen Perjuangkan Aspirasi Warga Bontang di DPRD Kaltim