Opini
Literasi Digital Bagi Pendidik dan Anak Didik di Era Digital
Oleh: Syainal, S.Pd (Ketua P2G Kabupaten Berau)
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika meluncurkan program Literasi Digital Nasional. Program ini merupakan tindak lanjut mengenai percepatan transformasi digital nasional, khususnya terkait pengembangan sumber daya manusia (SDM) digital. Kementerian Kominfo menargetkan 50 juta masyarakat Indonesia memiliki literasi digital pada 2024. Tahun 2021, Kementerian Kominfo menggelar program literasi digital melalui 20.000 pelatihan di seluruh Indonesia. Targetnya, ke depannya program literasi digital dapat menjangkau 12,4 juta peserta pelatihan di 514 kabupaten/kota di 34 provinsi setiap tahunnya (https://aptika.kominfo.go.id).
Dalam kagiatan yang digelar di Berau pada 22 Juli 2021, saya diberikan kesempatan sebagai narasumber yang berbicara tentang budaya literasi khusunya literasi digital bagi pendidik dan anak didik di era digital. Sebelum berbicara lebih jauh megenai literasi digital, alangkah baiknya kalau terlebih dahulu kita kaji apa itu literasi digital.
Ada banyak pendapat mengenai literasi digital, tapi dalam tulisan ini saya akan mengutip beberapa saja. Pertama, dikutip dari buku Peran Literasi Digital di Masa Pandemik (2021) karya Devri Suherdi, literasi digital merupakan pengetahuan serta kecakapan pengguna dalam memanfaatkan media digital, seperti alat komunikasi, jaringan internet dan lain sebagainya. Kedua, menurut Paul Gilster dalam bukunya yang berjudul Digital Literacy (1997), literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas, yang diakses melalui piranti komputer. Ketiga, Bawden (2001) menawarkan pemahaman baru mengenai literasi digital yang berakar pada literasi komputer dan literasi informasi. Dengan demikian, mengacu pada pendapat Bawden, literasi digital lebih banyak dikaitkan dengan keterampilan teknis mengakses, merangkai, memahami, dan menyebarluaskan informasi.
Dari ketiga pengertian di atas maka, cakupan lterasi digital saya bagi menjadi tiga, yakni pengetahun, kemampuan mengakses dan kemampuan memanfaatkan. Pertama, pengetahuan. Dalam hal ini mencakup tentang pemahaman dasar mengenai apa itu digital, medial digital, konten digital dan lain-lain yang berkaitan dengan digital.
Kedua, kemampuan mengakses. Kemampuan mengakses ini saya bedakan menjadi dua, yaitu: 1) kemampuan mengakses perangkat digital dalam hal ini kemampuan masyarakat untuk memiliki perangkat digital. Latar belakang ekonomi masyarakat kita yang beragam juga berdampak pada kemampuan/daya beli mereka terhadap perangkat digital. Bagi masyarakat menengah ke atas mungkin semua sudah mampu mengkases tapi, masyarakat kalangan bawah masih banyak juga yang belum memiliki perangkat digital. 2) Kemampuan mengakses konten digital. Hal ini sangat berkaitan erat dengan ketersediaan jaringan internet. Sebab di era digital ini masih banyak juga daerah yang belum tersentuh oleh akses internet.
Ketiga, kemampuan memanfaatkan. Menurut saya tahapan akhir dalam literasi digital adalah Ketika kita sebagai masyarakat sudah maampu menggunakan media dan perangkat digital secara bijak dalam menunjang aktivitas keseharian kita. Sebab tujuan akhir dari upaya untuk meningkat literasi digital adalah untuk menciptakan masyakat Indonesia yang tidak hanya cakap dalam bermedia digital tetapi, juga bijak dalam bermedia digital. Karena, kemajuan teknologi seperti sekarang ini selain membawa dampak positif juga membawa dampak negatif, sikap bijak dalam media digital adalah kuncinya.
Kemampuan literasi digital adalah hal yang paling mendasar dan paling krusial dalam menghadapi perkembangan teknologi saat ini. Tujuannya tentu, untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang tidak hanya mengenal teknologi namun juga cermat dalam menggunakan teknologi pada era sekarang ini. Lalu, bagaimana indeks literasi digital masyarakat kita? Kemkominfo bersama Katadata melakukan survei status read literasi digital nasional mengacu kepada kerangka literasi digital UNESCO.
Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa, indeks literasi digital Indonesia ada pada angka 3,407 dari skala 1 sampai 4. Hal ini menunjukkan bahwa, indeks literasi digital kita hanya ada sedikit di atas sedang, namun belum mencapai tingkat baik. Artinya, perlu ada peningkatan yang berkesinambungan sebab perkembangan teknologi berjalan dengan begitu cepat.
Selanjutnya, mengenai budaya literasi masyarakat Indonesia yang mencakup tentang bagaiaman para pengguna media digital atau netizen kita berinterasi di dunia maya. Berdasarkan survei Microsoft, warganet atau nitizen Indonesia menjadi yang paling tidak sopan di Asia Tenggara. Perihal survei Microsoft, Pakar Budaya dan Komunikasi Digital, Firman Kurniawan menilai kehidupan netizen bermedia sosial di Indonesia mengerikan. Dia mengatakan bahwa, hal ini terjadi karena banyaknya praktik yang merugikan pengguna seperti doxing hingga scamming jika seorang tidak setuju dengan pendapat tertentu di medsos. Firman menjelaskan, hal tersebut selaras dengan survey yang dilakukan oleh Microsoft pada 32 negara di dunia, termasuk di Indonesia. Microsoft menilai, kegiatan bermedia sosial di Indonesia kerap diwarnai dengan keberadaban yang buruk. Penyebaran hoax, ujaran kebencian dan lain-lain sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia. Dengan melihat fakta di atas, memang literasi digital ini menjadi penting ditingkatkan sebagai upaya menjawab tantangan zaman dalam hal kemajuan teknologi.
Dalam kaitannya dengan pendidik dan anak didik, literasi digital adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik/guru. Sebab, kita memang sudah memasuki era digital, bukan saja karena pandemi. Pandemi ini membawa pesan kepada kita tentang betapa pentingnya literasi gitital (kecakapan memanfaatkan digital). Dengan literasi digital yang baik, maka guru mampu merancang dan melaksanakan pembelajaran yang menyenangkan dengan berbagai macam metode, yang dapat mengikuti kecenderungan peserta didik yang menyukai hal-hal yang berbau digital, sehingga tidak lagi hanya menggunakan metode-metode yang sudah usang, dan memang begitulah faktanya. Pandemi mengharuskan kita melaksanakan PJJ dalam jangka waktu yang lama sehingga banyak guru yang kewalahan bahkan tak jarang hal itu mengakibatkan tidak maksimalnya pembelajaran.
Sejak diberlakukan pada 16 Maret 2020 hingga saat ini, pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring nampaknya masih menjadi beban berat bagi guru maupun siswa. Kendala yang dihadapi mulai dari kompetensi guru menggunakan perangkat TIK hingga ketersediaan jaringan internet maupun telepon yang tidak stabil. Kemudian, problem kepemilikan sarana belajar berupa gadget oleh para siswa. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sebanyak 60 persen guru mengalami permasalahan dalam pembelajaran yang melibatkan TIK (Sumber: https://fin.co.id/2020/10/24/60-persen-guru-kesulitan-pjj/).
Berdasarkan fakta di atas maka, solusinya saat ini adalah senantiasa belajar dan menghadirkan inovasi. Dalam hal kemampuan literasi yang masih rendah, khususnya dalam melaksakan pembelajaran daring, pemerintah telah banyak menggelar berbagai macam pelatihan. Oleh sebab itu, ini kembali kembali kepada kita apakah kita memiliki keinginan untuk mengasah kemampuan. Selanjutnya, guru juga dituntut untuk senantiasa menghadirkan inovasi dalam pembelajaran, sehingga pembelajaran dapat maksimal dan bermuara pada efektivitas pembelajaran.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- DPK Kaltim Gandeng Novelis Dee Lestari, Sebut Kompetisi Literasi Harus Masif untuk Stimulasi Minat Baca Kalangan Muda
- IPLM Kaltim Capai Angka 67.57, Pj Gubernur Akmal Malik Serukan Giat Gemar Membaca Sedari Dini
- Program TPBIS: Mewujudkan Perpustakaan sebagai Ruang Terbuka bagi Masyarakat Berau
- Kepala Dispusip PPU Tekankan Pentingnya Literasi dalam Kehidupan Masyarakat
- Labeling Pegiat Literasi