Opini
Menanggapi Kasus Malaria pada Masa Pandemi Covid-19
Oleh: Grace Sisilia Panjaitan (Mahasiswi Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta)
Malaria bukanlah suatu penyakit baru di Indonesia. Besarnya dampak dari malaria menyebabkan penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan dari Indonesia. Hari Malaria Sedunia tiap tahunnya diperingati pada 25 April, yang bermanfaat untuk mengingatkan masyarakat di berbagai belahan dunia mengenai penyakit berbahaya ini.
Meskipun telah lewat beberapa bulan dari hari peringatan tersebut, bukan berarti pembahasan pencegahan penyebaran malaria padam begitu saja. Penyebaran penyakit oleh vektor nyamuk ini berada di hampir seluruh wilayah Indonesia, termasuk Kalimantan Timur. Kaltim termasuk salah satu provinsi endemis malaria dengan peringkat ke- 15 di Indonesia dengan nilai API sebesar 0,46 per 1.000 penduduk dan Case Fatality Rate malaria 0,21%.
race
Sayangnya, peringatan hari malaria tidak banyak diketahui sehingga masih banyak individu yang belum peka tentang kewaspadaan terhadap malaria. Ditambah, adanya pandemi Covid-19 menyebabkan perhatian terhadap penyakit dengan vektor penyebaran nyamuk ini kurang mendapatkan sorotan. Di masa pandemi Covid-19, penyakit malaria tetap perlu diwaspadai sama seperti penyakit menular lainnya.
Kesamaan gejala di antara kedua penyakit ini perlu diperhatikan lebih lanjut agar tidak terjadi kesalahan diagnosis penyakit yang bisa saja terjadi. Untuk lebih memahami malaria, perlu mengetahui terlebih dahulu apakah penyakit itu sendiri. Mari bersama-sama menyimak bahasan mengenai malaria selanjutnya.
Malaria tergolong ke dalam penyakit tular vektor (PTV) dan zoonosis, yang berarti penyakit yang disebabkan hewan sebagai vektor penyakit dan berdampak ke manusia. Untuk lebih jelasnya, vektor adalah istilah untuk menyebutkan suatu organisme (biasanya termasuk dalam kelompok arthropoda) yang menyebabkan penyakit karena membawa patogen atau agen penular kepada inang yang tergolong rentan terserang penyakit. Vektor dari penyakit malaria yaitu nyamuk Anopheles. Pada kondisi paling buruk, seseorang yang menderita malaria mengalami kematian. Penyakit ini berisiko tinggi pada beberapa kelompok tertentu seperti bayi, anak balita maupun ibu hamil.
Malaria disebabkan adanya parasit Plasmodium yang berkembang biak pada tubuh nyamuk, kemudian akan berkembang biak menjadi sporozoit dengan gametosit jantan dan betina yang berasal dari individu yang telah digigit dan akan terjadi penyebaran penyakit. Plasmodium malariae, Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale adalah beberapa spesies Plasmodium penyebab malaria di Indonesia. Parasit-parasit ini akan menghasilkan suatu zat beracun pada peredaran darah individu yang digigit oleh nyamuk. Selanjutnya, terbentuk tropozoit-tropozoit non-infektif dan gametosit jantan dan betina yang bersifat infektif.
Malaria memiliki faktor utama yang berupa keadaan geografis yang membantu perkembangbiakan Anopheles. Lokasi-lokasi seperti hutan, kebun, daerah pesisir pantai, genangan-genangan air yang tidak mengalir, disertai kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik seperti keluar rumah di malam hari memperbesar kemungkinan terkena malaria.
Gejala umum yang muncul pada saat seseorang terkena malaria adalah memiliki demam, sakit otot atau sendi, kelelahan, batuk, pernapasan dan detak jantung sangat cepat, menggigil, sakit kepala, mual atau muntah, dan diare disertai sakit perut. Perubahan lingkungan yang terjadi juga mempengaruhi keberadaan malaria.
Beberapa studi menunjukkan bahwa deforestasi, pola perubahan dalam penggunaan lahan, dan biodiversitas berpengaruh dalam adanya vektor penyakit dan perubahan pola penyakit. Nyamuk sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan akibat deforestasi seperti suhu, kelembapan dan ketersediaan habitat larva nyamuk yang bisa saja berpengaruh pada distribusi spesies, kelangsungan hidup dan densitas nyamuk.
Contoh kasus penyebaran malaria yang terjadi di Kaltim salah satunya disebabkan karena pekerja yang bekerja dan menetap di daerah perbatasan dekat Malaysia terjangkit malaria dan menyebar pada saat melakukan pengobatan di layanan kesehatan Penajam Paser Utara. Wilayah yang menjadi calon pengganti ibu kota negara ini sayangnya menjadi daerah tertinggi kasus malaria di Kaltim. Kondisi lingkungan di daerah PPU yang dipenuhi hutan dengan kelembapan yang tinggi memudahkan penyebaran vektor nyamuk berkembang biak karena ketersediaan reservoir tersebut.
Berdasarkan WHO, standar yang digunakan untuk diagnosis malaria masih menggunakan pemeriksaan mikroskopis. Pandemi COVID-19 yang belum berakhir menyebabkan adanya perubahan penggunaan metode lain yaitu Rapid Diagnostic Test sebagai pertimbangan untuk pemeriksaan di daerah endemis malaria. Selain memperhatikan dari segi individu penderita malaria saja, tetapi alur pemeriksaan mengutamakan pula keselamatan dan keamanan dari petugas kesehatan.
WHO memberi saran kepada petugas kesehatan penanganan malaria dilaksanakan dengan menggunakan APD level-3. Malaria dan Covid-19 memiliki kemiripan lainnya, kedua penyakit ini masih belum memiliki obat penyembuh. Klorokuin (hydroxychloroquine) dipilih sebagai obat terapi bagi malaria dan Covid-19, yang apabila ditinjau lebih lanjut memiliki beberapa masalah untuk penggunaannya.
Beberapa plasmodium penyebab malaria ada yang bersifat resistan terhadap obat tersebut, seperti Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Informasi terbaru dari WHO pun mempertegas bahwa penggunaan klorokuin sudah tidak direkomendasi bagi pasien penderita COVID-19 karena tidak muncul perbedaan signifikan dengan penggunaan obat.
Maka, program pengendalian vektor nyamuk perlu dilaksanakan dan dibuat lebih baik lagi dengan menyesuaikan kondisi di tengah pandemi Covid-19. Selain peran pemerintah dan organisasi kesehatan, peran tiap masyarakat dalam pemberantasan malaria sangat mempengaruhi hingga eliminasi dapat terjadi. Kegiatan pencegahan penyakit adalah salah satu contoh dari pengendalian suatu penyakit.
Penggunaan obat anti nyamuk berbagai tipe dan repellent adalah solusi mudah dan murah yang dapat diterapkan setiap individu dalam upaya pencegahan malaria. Warga Kaltim perlu menahan diri untuk tidak terlalu sering keluar rumah pada malam hari dan menggunakan kelambu jika berada di daerah dengan tingkat kasus malaria yang tinggi. Hal ini seharusnya tidaklah sulit dilakukan mengingat saat ini masih pada masa pandemi, sehingga pembatasan kontak dari luar sudah menjadi normal baru di tengah masyarakat.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Upayakan Berbagai Program, Dinkes PPU Klaim Berhasil Turunkan Kasus Malaria
- Pecah Rekor! Kucuran Dana Bansos 2024 Lebih Besar Dibanding Era Pandemi, Benarkah? Cek Fakta Berikut Ini
- Jangan Khawatir, Vaksinasi Gratis Covid-19 untuk Kelompok Rentan Masih Berlanjut
- Mulai 1 Januari 2024, Imunisasi COVID-19 Ditetapkan Menjadi Program Rutin! Apakah Gratis? Berikut Penjelasannya
- Wisatawan Diprediksi Meningkat, Pemkab Berau Terapkan Prokes Bagi Pengunjung