Opini
Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga dengan Puasa
Oleh : Rifqi Rosyidi, Lc, M.Ag. (Pengasuh Pondok Pesantren Istiqamah Muhammadiyah Samarinda)
Ibadah puasa merupakan satu-satunya ibadah yang secara langsung dinyatakan oleh nabi Muhammad saw beriringan dengan perintah nikah. Puasa ditawarkan sebagai solusi sosio-spiritual bagi para pemuda yang belum memiliki kemampuan secara psikis maupun finansial untuk menikah; “Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang sudah memiliki kemampuan untuk menikah, maka menikahlah. Karena sesungguhnya nikah itu dapat mengendalikan pandangan dan menjaga kehormatan (untuk tidak berbuat zina). Barang siapa yang belum mampu (menikah) maka hendaklah ia berpuasa karena (puasa itu) akan berfungsi sebagi perisai baginya”.
Ibnu Hajar al-`Asqalani menjelaskan bahwa logika yang bisa dipahami dari hadis tersebut adalah bahwa ibadah puasa yang digambarkan sebagai perisai (harusnya) mampu menghancurkan syahwat dan mengendalikan hasrat seksual, tetapi faktanya puasa malah meningkatkan kehangatan suhu tubuh yang bisa memengaruhi timbulnya syahwat dan kuatnya kepekaan hasrat seksual. Tetapi gejala ini hanya muncul pada permulaannya saja, karena apabila seseorang memiliki komitmen berpuasa dan dilakukan secara benar dan berkelanjutan, maka gejolak hawa nafsu dan kepekaan hasrat seksual akan mereda dan mudah dikendalikan.
Efek puasa yang sedemikian hebatnya itu tidak akan dihasilkan dari sekedar melaksanakan puasa sekali atau dua kali kali. Kalau benar kita ingin menjadikan ibadah puasa sebagai pengendali syahwat, maka harus dilakukan secara kontinyu dengan cara yang benar dan niat ibadah yang tulus. Dengan demikian puasa yang diniati sebagai ibadah dan dilakukan dengan cara yang benar dan berkelanjutan sebenarnya tidak hanya solusi bagi para jomblo untuk mengendalikan hawa nafsunya agar tidak terjerumus ke dalam perzinahan, tetapi juga cara ampuh bagi para suami istri untuk menghindari terjadinya perselingkuhan dan mempertahankan hubungan keluarga yang harmonis.
Al-Quran juga memberikan penekanan yang sama tentang adanya hubungan yang erat antara ibadah puasa dengan harmoni kehidupan keluarga. Penekanan itu bisa dipahami dari adanya isyarat yang kuat pada kalimat yang terdapat di dalam ayat 187 surat al-Baqarah; konkritnya ayat ini menggunakan kata libâs (pakaian) sebagai ungkapan simbolik tentang kehalalan senggama bagi suami istri di malam hari pada bulan Ramadan. Ungkapan majâz ini sebenarnya tidak boleh hanya dipahami sebatas keterangan tentang halalnya senggama bagi suami istri di malam bulan Ramadan, tetapi keterangan tambahan dengan menggunakan majâz tentang hubungan dan peran masing-masing pasangan layaknya pakaian: hunna libasun lakum wa antum libâsun lahunna (mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagi kamu, dan kamu juga menjadi pakaian bagi mereka). Harus dipahami lebih dari itu dengan pemahaman yang holistik sehingga nilai-nilai ajaran al-Quran lebih aplikatif.
Yang harus diperhatikan dari keterangan tambahan atas halalnya hubungan badan suami istri di malam hari pada bulan Ramadan dengan ungkapan majaz yang menjelaskan fungsi dan peran suami istri layaknya seperti pakaian bagi pasangannya; ungkapan Majâz ini bisa dijadikan indikasi bahwa ibadah puasa yang dilakukan dengan benar mampu memengaruhi kualitas keharmonisan rumah tangga. Terlebih lagi ungkapan majâz yang mengandung muatan hak dan kewajiban suami istri ini disisipkan di tengah-tengah rangkaian ayat-ayat shiyâm.
Dengan kata lai, bahwa ibadah puasa (tidak hanya puasa Ramadan) yang dilakukan dengan cara yang benar dan berkesinambungan sangat berpengaruh terhadap kelanggengan dan keharmonisan hubungan suami istri. Hal ini terjadi karena ibadah puasa yang benar mampu mempertajam instuisi dan menghancurkan keakuan dan egoisme, sehingga muncul kekuatan spiritual (malakah) yang mendorong seseorang untuk lebih memahami perasaan orang lain (pasangannya) dan mengorbankan kepentingannya demi terpenuhinya kepentingan orang lain. Dan itu bisa dipelajari dari filosofi fungsi pakaian bagi tubuh manusia.
Bagaimana sebenarnya fungsi dan peranan pakaian bagi tubuh manusia yang harus diaplikasikan di dalam kehidupan berkeluarga?. Bertolak dari kata libâs (pakaian) yang digunakan untuk simbolisasi hubungan kehidupan suami istri, kita akan menelusuri bentuk-bentuk eksplorasi linguistik di dalam al-Quran tentang fungsi pakaian itu sendiri.
Pertama, al-Quran menyebutkan pakaian dengan ungkapan zînah (perhiasan); “Hai anak Adam, pakaialah pakaianmu (yang indah) di setiap memasuki masjid…” (Q.S. al-A`raf [7]: 31). Salah satu bentuk pengejawantahan fungsi ini di dalam kehidupan berkeluarga adalah masing-masing dari suami istri harus berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi perhiasan bagi pasangannya dengan mengembangkan perilaku dan etika yang baik, dan jangan sampai melakukan tindakan yang memalukan diri dan pasangan dengan perilaku yang tidak terpuji.
Kedua, al-Quran menjelaskan bahwa pakaian itu berfungsi untuk menutupi aurat; “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu …” (Q.S. al-A`raf [7]: 26). Artinya di dalam kehidupan berkeluarga jangan mencari pasangan yang sempurna, tetapi carilah pasangan yang mampu melengkapi kekurangan dan menutupi aib. Menjadi pasangan suami istri harus mampu menahan diri untuk tidak mudah mengekspose privasi kehidupan keluarga, apalagi sampai mengumbar kekurangan dan aib pasangannya.
Ketiga, pakaian disebutkan dengan ungkapan sarâbîla; “…dan Dia jadikan bagimu pakaian (sarâbîla) yang memeliharamu dari panas, dana pakaian (baju besi) yang memeliharamu di dalam peperangan” (Q.S. an-Nahl [16]: 81). Peran aplikatif yang bisa diambil dari fungsi pakaian sebagai pelindung adalah masing-masing dari suami dan istri harus mampu melindungi pasangannya dari segala sesuatu yang mengganggu kenyamanan dan membahayakan keselamatannya dalam bentuk perhatian, tutur kata yang baik, pembelaan dan lain sebagainya. Termasuk dalam fungsi ini, setiap pasangan harus mampu melakukan kontrol sosial bagi pasangannya supaya tidak terjerumus kepada perilaku yang merusak kehormatan dan tindakan yang membahayakan keselamatan hidupnya.
Keempat, al-Quran mengungkapkan bahwa malam juga berfungsi sebagai pakaian: “Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian” (Q.S. al-Furqan [25]: 47; “dan Kami jadikan malam sebagai pakaian” (Q.S. an Naba` [78]: 10). Kita ketahui bahwa malam adalah waktu untuk istirahat (tidur) untuk melepas kepenatan dan kelelahan sehingga terjadi recovery kekuatan untuk melajutkan aktivitas esok hari. Dan pesan moralnya untuk kehidupan rumah tangga adalah masing-masing dari suami dan istri harus mampu menjadi suplemen kekuatan bagi pasangannya; setiap pasangan harus mampu menjadi pendengar yang baik dan bijak bagi pasangannya ketika menumpahkan curahan hati dan kegelisahannya, yang kemudian memberi solusi yang mencerahkan, untuk menghindari pasangan kita mencari “hati” yang lain untuk menumpahkan isi hatinya, apalagi kalau sampai masalah keluarga ditumpahkan di media sosial, karena pasangannya tidak memahami fungsinya sebagai “malam” yang memberi kenyamanan.
Prinsip hubungan suami istri dalam ungkapan ayat al-Qur`an “Hunna libâsun lakum wa antum libâsun lahunna” yang disebutkan di sela-sela rangkaian ayat-ayat tentang puasa Ramadan merupakan indikasi kuat adanya korelasi antara keharmonisan hubungan keluarga dengan kualitas ibadah puasa. Rasa tanggung jawab untuk menjadi pasangan yang baik akan semakin terasah dengan ibadah puasa yang berkualitas dan berkesinambungan. Wallâhu a`lam.(*)
*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Bolehkah Penderita Penyakit Jantung Puasa di Bulan Ramadhan? Berikut Penjelasan dan 5 Tips Puasa untuk Penderitanya
- Perangi Narkoba, Kenakalan Remaja, dan Kebakaran, Polresta Balikpapan Siaga di Bulan Ramadan
- Antisipasi Kebakaran di Bulan Ramadan, Disdamkar Samarinda Beri Tips Pencegahan dan Tanggap Darurat
- Dispora Kukar Bakal Gelar Festival Kreatif Pemuda Ramadan selama 5 Hari
- H-1 Ramadan, Pedagang Bunga di Samarinda Raup Jutaan Rupiah dari Tradisi Ziarah