Opini
Para Pahlawan Garis Depan Pergi, Negara Kemana?
Oleh: Farhan Namapaji (Mahasiswa Perikanan Universitas Mulawarman)
Senin 6 April 2020, kabar duka tak henti muncul di time line media nasional kita. Bertambahnya pasien Covid-19 mencapai 2.491, meninggal dunia 209, dan yang sembuh 192. Tak ada tanda-tanda penurunan pasien, setiap hari semuanya bertambah terus, semenjak awal diumumkanya 2 orang positif, semuanya meningkat sampai 1.000 kali lipat hari ini. Jadi teringat dengan obrolan Gubernur DKI Jakarta di Podcast Dedi Corbuzier beberapa waktu lalu, bahwa menjadi wajar jika angkanya demikian. Sebab sejak Februari, pasien dalam pemantauan sudah sangat banyak terutama di DKI.
Tapi tak ada respon masif dari Pemerintah Pusat sendiri untuk bekerja lebih cepat sebelum semuanya lebih parah. Yang ada justru para menteri nya menganggap ini sebagai leluconan untuk ditertawakan, bahkan tak sungkan mereka ucapkan itu di medsos pribadi bahkan di media nasional. Seolah menantang tapi yasudah lah saya tak mau lebih panjang membahas yang sudah terjadi, semoga mereka segera sadar dan menyesali semuanya. Dan memang seharusnya ada di antara mereka yang punya tanggung jawab moral, seperti memutuskan untuk mundur mungkin? Ah tapi itu tak mungkin, moral pejabat ku tak seelok itu. Maka benarlah kata para pujangga, "Moral bukan lagi ukuran bagi pejabat, tapi apa di balik dompet".
Tapi bukan itu pembahasan saya, yang ingin saya bahas adalah dari angka kematian yang berjumlah 209 ini, ternyata 24 di antaranya adalah para dokter. Bukan hanya dokter, di antara mereka ada guru besar, profesor, doktor, yang ahli di bidang nya. Bahkan banyak di antara mereka yang paling dinantikan kontribusi nya sebab ilmunya yang begitu melimpah. Dari mereka-mereka yang pergi ini, telah lahir dokter-dokter muda lainya yang hari ini juga berjibaku, dan berjuang menangani pasien Covid-19 di ruang isolasi. Itu baru dokter, belum lagi perawat, tentu saja jumlah mereka lebih banyak.
Puluhan lainya masih terbaring di ranjang yang harusnya mereka jaga, puluhan lainya sudah lebih dulu pergi ke liang lahat untuk dikuburkan juga. Tanpa saudara yang mengantar, tanpa ada tabur bunga, tanpa tangisan di samping jasad yang sudah menghembuskan napas terakhir. Semuanya berjauhan, semuanya dilakukan sesuai prosedur yang sudah ditetapkan. Tak bisa terbayangkan betapa sedihnya, andaikan itu adalah keluarga saya sendiri, sedihnya akan sangat berlipat-lipat.
Negara kemana? Tak ada evaluasi apapun, kalau pun ada, mana bukti nyata evaluasi itu. Tak cukup kalau hanya sekedar ucapan belangsungkawa. Sebab kehilangan orang-orang hebat seperti mereka ini adalah tragedi kemanusiaan bagi saya, sebab ada nilai tak terhingga dari pergi nya mereka semua. Harus ada evaluasi setelah ini. Di China saja, yang menjadi pusat pandemik ini, dari 80 ribuan pasien mereka hanya 6 dokter yang pergi. Tapi apa kabar di Indonesia? Baru 2.000 pasien, 24 dokter sudah pergi. Ada yang salah dan harus ada evaluasi. Terutama evaluasi keselamatan para dokter itu. Terutama kesediaan APD dan juga kesehatan fisik para tenaga medis.
Diskriminasi atau ketidakperhatian dan suport ini juga bukan tidak diberikan oleh negara tapi juga masyakarat di beberapa tempat. Dokter dan para perawat ditolak kembali ke rumahnya, ke kostnya, dan lain-lain. Karena ketakutan masyarakat akan terpapar Corona. Itu ironi teman-teman. Betapa kita tak mampu menunjukan moralitas baik di tengah cobaan silih berganti ini. Tapi mereka maklum tapi juga kesal karena ada diskriminasi ini. Apakah mereka memilih mundur? Tidak. Mereka cari cara lain, menginap di rumah sakit jadi cara awalnya hingga akhirnya Pemprov DKI menyediakan hotel untuk mereka menginap. Itu yang di Jakarta. Saya tak update untuk yang di daerah lain, barang kali teman-teman bisa berbagi juga informasinya. Dengar kabar mengenai mahasiswa yang mengatasnamakan aliansi BEM Jakarta menolak rencana Gubernur DKI ini. Tak ayal, mereka dibully di medsos. Bahkan ada beberapa kampus menyatakan, mereka tak terlibat dan hanya pencatutan semata oleh oknum. Tambah lah lagi daftar bullyan. Ah, negeri saya memang begitu.
Kehilangan tenaga kesehatan itu, tidak hanya kehilangan "orangnya" saja, tapi kita kehilangan ilmu, keahlian dan hasil sekolahnya. Sekolahnya lama dan semuanya seolah hilang begitu saja. Dan untuk menggantikan mereka semua itu tak mudah, dan murah. Jadi untuk kalian yang menimbun APD kalian berperan aktif dalam "Brain Drain" ini. (Sekolah kedokteran itu lama dan mahal sekali teman-teman, kalau tak percaya silahkan tanya teman kalian yang kuliah di sana,) itulah kenapa sedari awal Ikatan Dokter Indonesia, berteriak meminta APD (Alat Pelindung Diri) untuk mereka gunakan sebagai senjata dalam perjuangan.
Tapi rasanya lamban sekali para pemangku jabatan tertinggi negeri ini merespon, semuanya sibuk memberi komentar di media, kalau pun ada yang bergerak cepat semuanya terkendala di prosedur. Ahhh ribet sekali, urusan nyawa saja harus seperti ini. Akhirnya masyarakat yang kepeduliannya sangat tinggi di negeri ini, semuanya bergerak dan melakukan swadaya masyarakat berupa galang dana. Ribuan rakyat bergerak dan jutaan rakyat menyumbang, hasilnya triliunan dana terkumpul. Semuanya terkumpul cepat sekali, lebih cepat dari pada pencairan dana dari negara yang ada di Bank Indonesia. Respect saya untuk semua rakyat Indonesia yang menyumbang. Tapi problem baru dihadapi dari dana yang terkumpul ini adalah pencairan dana nya. Yang menurut saya masih kurang merata. Sebab negara kita yang terpisah oleh pulau-pulau ini selain membantu penyebaran Corona tambah membludak juga menjadi kendala adanya sentralisasi di Pulau Jawa. Ada bukti? Iya, tengok saja ke timur negeri. Masih banyak yang APD nya tak terpenuhi. Evaluasi juga untuk pemerintah, agar semuanya jangan hanya berkutat di Pulau Jawa.
Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
Itulah amanat UUD terhadap negara ini. Tugas mulia ini adalah tanggung jawab negara, untuk itulah negara difasilitasi para pejabatnya untuk melakukan semua ini. Sebagai rakyat kita berhak dan punya hak yang tinggi untuk mendapatkan perlindungan dari negara. Itu lah kenapa adanya hukum dan peraturan juga di ciptakan, sebab ia dihadirkan untuk menjaga hak dan kewajiban sebagai warga negara bisa terpenuhi dengan baik. Maka jika mengacu pada UUD ini saja sudah cukup rasanya negara harus bertanggungjawab penuh terhadap kesehatan, dan juga keselamatan warga negara seluruhnya apalagi para pejuang medis di masa pandemik ini. Negara harus bisa memaksimalkan sebagai maksimal mungkin perannya sebagai pelindung hak warga negara. Dan salah satu hal terbesar bagi manusia adalah hak untuk hidup. Sebab, itu adalah nikmat dan pemberian Tuhan yang Maha Esa yaitu Allah untuk kita. Yang bisa kita lakukan adalah menjaga pemberian itu, dan negara harus hadir di sana.
Andaikan saja hak hidup itu bisa kita replay ulang tentu saja semuanya tak perlu khawatir. Tapi ini tidak, hidup hanya sekali dan mati pun hanya sekali, maka menjaganya adalah amanah terbesar kita. Kewajiban bagi setiap individu. Para pejuang medis yang sudah pergi ini adalah bukan sekedar warga negara biasa tapi mereka adalah aset bangsa dan seluruh tanah air kita, maka tugas negara untuk menjaga mereka haruslah lebih dibandingkan dengan warga biasa. Bukan berarti saya menyatakan bahwa warga yang meninggal tak penting. Tapi jika para pejuang medis itu meninggal karena kelalaian negara dalam mengelola ini semua terutama memberikan fasilitas yang mumpuni untuk berjuang, maka sudah sepatutnya negara harus sadar, evaluasi, dan meminta maaf, kepada mereka yang telah pergi ini. Minimal diwakilkan kepada keluarga mereka. Inilah moralitas yang harus ada hari-hari ini.
Saya juga paham bahwa di saat seperti ini tak seharusnya terus menerus menyalahkan negara atas musibah ini, tapi jika kerja negara, lebih khususnya para pejabat negeri ini hanya seperti ini saja maka bagaimana bisa mereka menjamin keselamatan ratusan juta rakyat Indonesia? Untuk memberikan jaminan kepada Para pahlawan di barisan depan saja mereka sudah tak mampu apalagi kepada rakyat kecil ? Sebuah refleksi dan juga teguran keras untuk mereka. Berarti selama ini ada yang keliru dari cara mereka mengelola negara ini.
Jangan pernah sekalipun menganggap kerja para pahlawan medis ini hal biasa. Mulia sekali saya katakan pekerjaan mereka ini, tak terbayang, dan tak bisa terbalaskan dengan apapun. Apalagi hanya ucapan bela sungkawa dari kita, harus lebih daripada itu. Untuk itulah teman-teman, setelah baca tulisan ini mari bantu para tenaga medis yang berjuang ini dengan kemampuan kita masing-masing. Yang punya rezeki berlebih silahkan sumbangkan untuk kebutuhan mereka dan juga kita bisa bantu dengan ikut mengkampanyekan semua anjuran-anjuran baik dari mereka. Tak hanya itu mari kita tundukan kepala sejenak, sambil mengangkat tangan kita. Mendoakan mereka semua yang sudah pergi ini. Insyaallah mereka syahid dan Allah tempatkan mereka di tempat terbaik yakni surga-Nya Allah SWT.(*)
*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Jangan Khawatir, Vaksinasi Gratis Covid-19 untuk Kelompok Rentan Masih Berlanjut
- Mulai 1 Januari 2024, Imunisasi COVID-19 Ditetapkan Menjadi Program Rutin! Apakah Gratis? Berikut Penjelasannya
- Wisatawan Diprediksi Meningkat, Pemkab Berau Terapkan Prokes Bagi Pengunjung
- Asal Usul Varian Covid-19 JN.1 dan Cara Antisipasinya
- Waspada! Muncul Varian Covid-19 JN1: Berikut Definisi dan Gejalanya