Opini
Paradoks IKN: Pembangunan yang Membawa Asa atau Nestapa
Oleh: Wisnu Agung Juniarto (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fisip Unmul)
Terlihat ironi yang signifikan dalam lingkungan sosial Desa Pemaluan di IKN, khususnya terkait dengan proses pembangunan infrastruktur IKN yang menimbulkan dilema yang kompleks bagi penduduknya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh dosen saya di kampus, Dr. Muhammad Arifin, M. Hum, akademisi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman.
Melalui sumber berita resmi yang diterbitkan oleh Warta Kaltim, menjelaskan bahwa Ibu Kota Nusantara (IKN) adalah sebuah tatanan sosial baru melalui rekonsiliasi ekososial, politik dan ekonomi, sehingga akan melahirkan segregasi dan ketimpangan sosial yang baru di dalam masyarakat. Beliau juga menjelaskan dampak yang dihasilkan dari pembentukan struktur sosial baru adalah terbangunnya relasi sosial yang bisa seimbang atau pun timpang dan resistensi sosial secara horizontal antara warga ibu kota baru dan masyarakat sekitar, sehingga melahirkan segregasi dan ketimpangan sosial yang baru.
Meskipun tujuan IKN adalah untuk pemerataan pembangunan, namun surat edaran yang baru-baru ini beredar di masyarakat, di mana pihak Otorita meminta sekitar 200 warga untuk merobohkan rumahnya justru menimbulkan paradoks. Hal ini seolah-olah memarjinalkan masyarakat adat di sana, terlebih karena tidak adanya payung hukum yang cukup jelas mengenai kehidupan masyarakat adat dan hutan adat.
Gejolak dan tuntutan pun cukup memanas akhir-akhir ini, bahkan hingga BEM KM Unmul menyelenggarakan kegiatan “Mimbar Bebas“ di depan pintu gerbang utama Unmul. Dengan melihat surat edaran tersebut menjadi pemicu utama. Namun, pada akhirnya pihak otorita IKN sadar akan potensi kerugian lebih lanjut, dan mencabut surat edaran tersebut guna menghindari kemelut di masyarakat. Inilah yang kemudian membuat saya menganggap bahwa ini seperti dua sisi mata pisau.
Guna mengatasi konflik yang kompleks ini, penting bagi kita untuk merujuk pada peraturan yang ada, seperti Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Pada BAB V Pasal 9 Permendagri Nomor 52 Tahun 2014. Ayat (2) berbunyi Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat kabupaten/kota di wilayahnya. Sedangkan ayat (3) berbunyi Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengakuan dan perlindungan kesatuan masyarakat hukum adat di wilayahnya.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa juga memberikan dasar untuk memastikan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan desa, serta peningkatan kualitas hidup mereka, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 bagian (d) dan Pasal 82 ayat (5).
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tersebut, pemerintah dapat memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan dan hak-hak masyarakat adat.
Akan tetapi, jika berkaca pada kedua aturan tersebut, tentu akan menjadi masalah kompleks karena IKN sendiri merupakan daerah otorita yang dipimpin oleh seorang Kepala Otorita yakni Bambang Susantono. Yang dimana pengangkatan kepala otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) ditunjuk langsung oleh Presiden sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3/2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN).
Alhasil peran daripada baik itu Bupati maupun Gubernur kurang atau tidak diperlukan di sini, sehingga menjadi salah satu masalah sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya bahwasanya tidak adanya payung hukum yang cukup jelas.
Surat edaran tertanggal 4 Maret yang dikeluarkan oleh Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN dengan nomor 179/DPP/OIKN/III/2024 perihal Undangan arahan atas Pelanggaran Pembangunan yang Tidak Berijin dan atau Tidak Sesuai dengan Tata Ruang IKN menjadi konteks penting dalam konflik permasalahan ini. Surat tersebut memberikan tenggat waktu 7 hari bagi warga untuk membongkar bangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang IKN dan peraturan perundang-undangan.
Namun, kebijakan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Inilah yang kemudian menimbulkan keresahan dan aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa Unmul khususnya serta beberapa aliansi masyarakat.
Dengan merujuk kepada dua prinsip hukum yang disebutkan, saya percaya bahwa penyelesaian permasalahan di Desa Pemaluan dapat dicapai melalui keterlibatan langsung masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan terkait pembangunan, sambil memastikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka.
Langkah-langkah konkret seperti menyusun perjanjian adat, memberikan kompensasi yang adil, dan mengupayakan pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan kelestarian lingkungan merupakan langkah esensial untuk mencapai perdamaian dan kemajuan bagi semua pihak yang terlibat. Tentunya, solusi tidak hanya terpaku pada dialog.
Selain upaya dialogis, perlunya penegakan hukum yang mengakui hak dan eksistensi masyarakat adat serta hutan adat juga tidak dapat diabaikan. Di samping itu, pembangunan harus dipertimbangkan secara berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan kebutuhan lokal masyarakat setempat.
Untuk menghindari kemungkinan timbulnya permasalahan serupa di masa depan, serta dalam rangka mendorong pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, bagi saya solusi optimalnya adalah dengan menggabungkan pendekatan hukum dan dialogis.
Pemerintah, dengan pendekatan persuasif, perlu berani mengambil langkah-langkah konkret untuk menyelesaikan konflik dengan mengakui hak-hak masyarakat adat dan memberikan kompensasi yang adil, sekaligus tetap memperhatikan kepentingan pembangunan yang sesuai dengan tata ruang IKN.
Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah melalui pengesahan RUU Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat, sebuah rancangan undang-undang yang telah diajukan sejak tahun 2003 dan telah dirumuskan naskah akademiknya pada tahun 2010. Dengan demikian, dapat terwujud keselarasan antara kebutuhan pembangunan, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat lokal, sehingga pembangunan IKN tidak lagi dianggap sebagai dua sisi mata pisau.(*)
Referensi
Agne, Y. (2024). Deretan Masyarakat Adat yang Terkena Penggusuran oleh Otorita IKN. Tempo.co. Diakses dari: [https://nasional.tempo.co/read/1846098/deretan-masyarakat-adat-yang-terkena-penggusuran-oleh-otorita-ikn](https://nasional.tempo.co/read/1846098/deretan-masyarakat-adat-yang-terkena-penggusuran-oleh-otorita-ikn)
Amnesty International Indonesia. (2024). Jangan Gusur Warga di Lokasi IKN. Diakses dari: [https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/jangan-gusur-warga-di-lokasi-ikn/03/2024/](https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/jangan-gusur-warga-di-lokasi-ikn/03/2024/)
Tribun Kaltim. (2024). Respons AHY Soal Nasib Masyarakat Adat Desa Pemaluan, 249 Bangunan di IKN Nusantara Bakal Dirobohkan. Diakses dari: [https://kaltim.tribunnews.com/2024/03/15/respons-ahy-soal-nasib-masyarakat-adat-desa-pemaluan-249-bangunan-di-ikn-nusantara-bakal-dirobohkan](https://kaltim.tribunnews.com/2024/03/15/respons-ahy-soal-nasib-masyarakat-adat-desa-pemaluan-249-bangunan-di-ikn-nusantara-bakal-dirobohkan)
Warta Kaltim. (2024). Pembangunan IKN Melahirkan Segregasi dan Ketimpangan Sosial Baru. Diakses dari: [https://wartakaltim.com/mb-ikn/44-ikn-o/46-pembangunan-ikn-melahirkan-segregasi-dan-ketimpangan-sosial-baru](https://wartakaltim.com/mb-ikn/44-ikn-o/46-pembangunan-ikn-melahirkan-segregasi-dan-ketimpangan-sosial-baru)
Nurul Ulya, Fika & Ihsanuddin. (2024). Otorita IKN Tarik Surat yang Minta Warga Sekitar IKN Robohkan Rumahnya. Kompas.com. Diakses dari: [https://nasional.kompas.com/read/2024/03/15/06472671/otorita-ikn-tarik-surat-yang-minta-warga-sekitar-ikn-robohkan-rumahnya](https://nasional.kompas.com/read/2024/03/15/06472671/otorita-ikn-tarik-surat-yang-minta-warga-sekitar-ikn-robohkan-rumahnya)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. (2014). Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2023). Nomor 4 Tahun 2023.
Undang-Undang Republik Indonesia. (2014). Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Undang-Undang Republik Indonesia. (2022). Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
Salamat, Y. (2016). Pengaturan Mengenai Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat (Studi Kasus Pengakuan Terhadap Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dayak di Kalimantan Tengah). Jurnal Legislasi Indonesia, 13(04).
Hasibuan, R. R. A. (2020). Dampak dan Resiko Perpindahan Ibu Kota terhadap Ekonomi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Islam, Volume V(1).
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp
Related Posts
- Diskusi SIEJ Ungkap Berbagai Dampak Buruk Pembangunan IKN Terhadap Lingkungan dan Masyarakat Lokal
- DKP PPU Butuh Mobil Laboratorium untuk Uji Cepat Keamanan Pangan IKN
- DKP PPU Pastikan Pangan yang Disuplai ke IKN Aman dari Residu Kimia Berbahaya
- PPU Harus Siap Jadi Sumber Utama Pangan IKN, DKP Percepat Persiapan
- DPMD PPU Kaji Usulan Pemekaran Desa di Kecamatan Sepaku, Sinergi dengan IKN